close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kiamat./Foto TheDigitalArtist/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi kiamat./Foto TheDigitalArtist/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 29 Juni 2024 06:13

Mengapa ada orang percaya ramalan hari kiamat?

Selama berabad-abad, ramalan kiamat kerap kali tersiar. Namun, selalu saja hanya bualan semata.
swipe

Hari ini, Sabtu (29/6), menurut prediksi peramal asal India yang berjuluk Nostradamus Baru, Kushal Kumar, dunia bakal kiamat. Beberapa hari belakangan, ramalan itu viral di media sosial. Sebelum dunia berakhir, ia meramal bakal terjadi Perang Dunia III, yang diawali dengan ketegangan antara Israel dan Hamas di Gaza, Korea Selatan dan Korea Utara, China dan Taiwan, serta Rusia dan NATO.

Dikutip dari Daily Star, Kumar mengklaim menggunakan bagan astrologi Weda—yang didasarkan pada budaya Hindu dan menjadi “peta karma” dengan keselarasan planet dan bintang—untuk meramal. Ia menyatakan, pada Selasa (18/6), terjadi perang yang mengakhiri dunia.

Kumar lantas mengklaim beberapa skenario pecahnya Perang Dunia III, di antaranya serangan teror yang menewaskan sembilan peziarah Hindu di Himalaya, tembakan di zona demiliterisasi antara Korea Utara dan Korea Selatan, serta konflik di Israel yang meningkat ketika pasukan Hizbullah di Lebanon melancarkan serangan roket ke negara Yahudi tersebut.

Dari masa ke masa, ramalan hari kiamat menjadi obsesi beberapa orang. Sebagian orang bahkan percaya ramalan itu, walau akhirnya tak pernah terbukti.

Ramalan kiamat paling terkenal adalah akhir dunia yang mengacu kalender kuno Suku Maya di Amerika Tengah dan Semenanjung Yukatan pada 21 Desember 2012. Britannica mencatat, dipercaya skenario akhir dunia terjadi ketika bumi bertabrakan dengan planet imajiner bernama nibiru, jilatan api matahari raksasa, dan penataan kembali poros bumi.

Di antara para peramal modern yang paling terkenal tentang akhir zaman adalah Harold Camping di Amerika Serikat. Dia meramalkan kiamat sebanyak 12 kali, yang diklaim berdasarkan penafsirannya terhadap numerologi alkitab. Misalnya, dia pernah meramal akhir dunia bakal terjadi pada 1994, dalam buku berjudul 1994? yang dia tulis dan terbit pada 1992.

Ramalannya yang paling membuat heboh menyatakan kiamat terjadi pada 21 Mei 2011. Namun, tak ada insiden apa pun. Lalu, dia memundurkan hari kiamat pada 21 Oktober 2011, yang juga tak terbukti.

Masih banyak ramalan tentang kiamat—yang nyatanya gagal—seperti dicatat Britannica, di antaranya ramalan pemimpin agama Taiwan Hon-Ming Chen pada 1988, gaduh bumi bakal ditabrak komet Halley pada 1910, serta ramalan pemimpin agama William Miller pada 1831 yang menyatakan kiamat bakal terjadi pada 1843.

Pada kenyataannya, banyak orang percaya kiamat bakal datang tak lama lagi. Berdasarkan survei lembaga riset yang berpusat di Washington DC, Pew Research Center pada 2022, di Amerika Serikat 39% orang dewasa percaya mereka hidup di akhir zaman.

ABC News menulis, para psikolog dan cendekiawan agama menyebut, orang-orang yang percaya hari kiamat sudah dekat, meski ramalan sudah gagal selama berabad-abad disebabkan dari sejumlah dorongan yang sangat manusiawi, yakni ketakutan akan kematian hingga keputusasaan fatalitas bahwa dunia sudah terlalu rusak.

Menurut penulis buku The Age of Doubt: Tracing the Roots of Our Religious Uncertainty, Christopher Lane, seperti dikutip dari ABC News, bagi sebagian orang, kecemasan yang dipicu bencana alam dan ekonomi membuat pemikiran apokaliptik menjadi lebih menarik.

“Lebih mudah untuk meyakinkan orang-orang, keadaan menjadi lebih buruk dan jawabannya akan datang melalui dispensasi ilahi daripada membiarkan mereka menghadapi kenyataan umat manusia harus memperbaiki masalahnya sendiri,” ujar Lane kepada ABC News.

Profesor sejarah agama dan budaya di Emory University, Gary Laderman mengatakan, ramalan akhir zaman sangat populer dalam teks-teks agama dan budaya populer.

Dilansir dari Live Science, profesor agama di Concordia University di Montreal, Kanada, Lorenzo DiTommaso mengatakan, ribuan prediksi hari kiamat yang gagal sepanjang sejarah merupakan pandangan dunia apokaliptik semata.

Menurutnya, pandangan dunia apokaliptik bukan hal yang aneh. Masa-masa sulit dan krisis ekonomi, sebut DiTommaso, telah meningkatkan minat orang terhadap paham bertahan hidup dan persiapan menghadapi kehancuran dunia yang akan datang.

“Keyakinan apokaliptik telah meningkat selama 40 hingga 50 tahun terakhir,” kata DiTommaso kepada Live Science.

Ia mengatakan, karena orang-orang beriman percaya kitab suci mereka tak akan pernah salah, prediksi hari kiamat yang gagal hanya akan meyakinkan mereka bahwa penafsiran mereka sendiri salah, sehingga membuka pintu bagi ramalan baru.

Ketakutan kiamat pun berkorelasi dengan situasi dunia dan kekhawatiran masyarakat saat ini. Profesor ilmu politik di Middlebury College, Erik Bleich Charles A. Dana dan profesor klasik di Middlebury College, Christopher Star pernah menghimpun artikel yang menyebut kata “apocalypse” atau “apocalyptic” dari The New York, The Wall Street Journal, dan The Washington Post antara 1 Januari 1980 hingga 31 Desember 2023. Setelah menyaring artikel yang berpusat pada rubrik agama dan hiburan, terdapat 9.380 artikel yang menyebut satu atau lebih dari empat kekhawatiran apokaliptik yang menonjok, yakni perang nuklir, penyakit, perubahan iklim, dan artificial intelligence (AI).

“Selama berakhirnya Perang Dingin, ketakutan akan kiamat nuklir tidak hanya mendominasi data surat kabar yang kami kumpulkan, namun juga di media visual, seperti film tahun 1983 The Day After, yang ditonton sebanyak 100 juta orang Amerika,” tulis Dana dan Star dalam The Conversation.

Lalu, pada 1990-an artikel-artikel yang menghubungkan kata kiamat dengan perubahan iklim dan penyakit telah melampaui artikel-artikel yang berfokus pada perang nuklir. Pada 2000-an, dan terlebih lagi pada 2010, perhatian surat kabar beralih ke isu lingkungan hidup.

Kemudian, tahun 2020 dan beberapa tahun setelahnya, pandemi Covid-19 mendominasi artikel yang menghubungkan penyakit dengan kiamat. Di samping itu, pada 2023 terobosan teknologi mutakhir menghasilkan lebih banyak artikel kiamat yang menyentuh AI dibandingkan masalah nuklir.

Dana dan Star menyebut, makna kiamat telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir, dari sekadar gagasan keagamaan hingga mencakup skenario apokaliptik lain yang lebih didorong manusia, seperti “kiamat” nuklir, “kiamat” iklim, “kiamat” Covid-19, atau “kiamat” AI.

“Singkatnya, pemberitaan mengenai kiamat di media memang memberikan sebuah pencerahan. Bukan tentang bagaimana dunia akan berakhir, tetapi tentang bagaimana dunia ini bisa berakhir,” tulis Dana dan Star di The Conversation.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan