Mengapa kereta kita kerap celaka?
Empat orang, yang terdiri dari masinis, asisten masinis, pramugara, dan petugas KAI tewas dalam tabrakan yang melibatkan kereta api (KA) Turangga jurusan Surabaya Gubeng-Bandung dan KA lokal Bandung Raya jurusan Padalarang-Cicalengka di antara Stasiun Haurpugur-Stasiun Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Jumat (5/1). Dikabarkan, 30-an orang luka.
Kecelakaan itu membuka insiden tabrakan kereta pertama di tahun 2024. Walau jadi salah satu transportasi publik penting untuk bepergian, kecelakaan kereta terhitung kerap terjadi di Indonesia. Data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebut, pada 2023 ada empat kasus kecelakaan kereta. Dalam 10 tahun, 2013-2023, total terjadi 60 kecelakaan kereta di Indonesia. Terbanyak terjadi pada 2018, yakni 11 kasus.
Berdasarkan penyebab kecelakaan, dari 2013-2023, KNKT menyebut anjlok menjadi insiden terbanyak, yakni 39 kasus. Sedangkan tabrakan, kecuali kasus terbaru pada 2024, ada sembilan kasus. Lainnya, terbakar satu kasus pada 2018.
Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Univesitas Mercu Buana, yakni Hardianto Iridiastadia dan Zulfa Fitri Ikatrinasarib dalam “Indonesian railway accidents: Utilizing human factors analysis and classification system in determining potential contributing factors” terbit di IOS Press (2012) menemukan, personel garis depan, seperti masinis melakukan kesalahan dalam sebuah kecelakaan kereta. Sebagian besar (39%) disebabkan segala kondisi yang memengaruhi para masinis.
“Kelelahan, kantuk, dan kebosanan adalah beberapa kondisi yang terkait dengan tindakan yang tidak aman,” tulis Hardianto dan Zulfa.
Riset ini menggunakan metode human factors analysis and classification system (HFACS). Masalah seperti beban kerja, kelelahan, tingkat kantuk, serta dampak mereka terhadap kinerja, menurut para peneliti, seharusnya ditangani dengan cermat.
“Tidur saat menjalankan tugas bukanlah hal yang jarang terjadi di kalangan masinis di Indonesia,” kata Hardianto dan Zulfa.
“Meski statistik tidak tersedia, salah satu kecelakaan besar pada tahun 2010 jelas disebabkan oleh kantuk saat bertugas.”
Kecelakaan yang dimaksud para peneliti adalah tabrakan KA Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya dengan KA Senja Utama jurusan Jakarta-Semarang di Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah pada 2 Oktober 2010. Akibat kecelakaan itu, 36 orang meninggal dunia dan 50 lainnya luka.
Temuan lainnya, 25% faktor yang menyebabkan kecelakaan berasal dari luar kendali para masinis. Hardianto dan Zulfa menyoroti aspek organisasi perusahaan menjadi lingkungan yang tak kondusif untuk operasi kereta yang aman.
“Mungkin yang disayangkan, para masinis biasanya yang pertama kali disalahkan—dan akhirnya dipenjara. Sementara, tidak ada orang yang lebih tinggi dalam organisasi yang dimintai pertanggung jawaban,” tulis para peneliti.
Mereka menyarankan, intervensi sistematis sebaiknya juga diarahkan terhadap aspek prosedural, kebijakan, serta iklim organisasi. Intervensi misalnya mencakup pemeliharaan lokomotif dan gerbong kereta, evaluasi teknologi sinyal, peningkatan kerja sama dan komunikasi antardepartemen, dan manajemen sumber daya manusia yang lebih baik.
Selain itu, kata Hardianto dan Zulfa, perlu mengatasi masalah usia operator, pelatihan, penjadwalan, perilaku keselamatan, jam kerja, dan manajemen kelelahan. “Dua faktor lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah tindakan operator dan pengawasan,” ujar mereka.
Dalam penelitiannya berjudul “Train derailments in Indonesia: A study using human factors analysis and classification system”, Citra Wanurmarahayu dan Hardianto Iridiastadi dari ITB menganalisis tentang faktor-faktor penyebab kecelakaan kereta karena tergelincir dari rel atau anjlok.
Mereka menemukan, anjloknya kereta disebabkan persiapan tindakan operator (51,6%), kesalahan operator (29,3%), faktor organisasi (9,8%), faktor pengawasan (8,1%), dan faktor eksternal (1,6%).
“Hal ini menunjukkan beberapa kondisi yang memengaruhi operator secara langsung. Penyebab dominannya adalah lingkungan kerja fisik dan teknologi,” ujar Citra dan Hardianto.
Faktor lingkungan kerja fisik mencakup cuaca, cahaya, dan getaran. Sedangkan teknologi terkait desain peralatan, tata letak, dan penggunaan otomatisasi.
“Dalam kasus yang hampir seluruhnya dikategorikan menjadi faktor teknologi, beberapa penyebab utama adalah kondisi fasilitas dan infrastruktur,” tutur para peneliti.
Fasilitas itu berhubungan dengan kerusakan pada poros dan roda, pengereman yang tak berfungsi dengan baik, kelebihan muatan, kurangnya sarana pemeliharaan, dan penggunaan suku cadang non-standar. Sementara kondisi infrastruktur mencakup rel yang tak baik, jembatan yang kurang memadai, dan masalah akibat penyedotan lumpur.
Kemudian, kesalahan operator yang dimaksud berhubungan dengan masinis. Menurut Citra dan Hardianto, kesalahan utama yang dibuat adalah pelanggaran batas kecepatan. Faktor pengawasan dalam hal ini erat kaitannya dengan kondisi infrastruktur.
“Petugas pengawasan kurang rinci dalam melakukan pemeriksaan dan mungkin fasilitas serta infrastruktur kurang diawasi dengan baik,” ucap para peneliti.
Lantas, faktor organisasi salah satunya terkait dengan penjadwalan jam kerja yang tak dilakukan dengan tepat. Hal ini bisa menyebabkan kelelahan fisik pada operator. Terakhir, faktor eksternal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat dan perilaku sosial.
“Untuk kasus anjlok ini terkait langsung dengan faktor-faktor lingkungan, seperti pencurian dan vandalisme yang dilakukan warga setempat di sekitar rel,” tulis Citra dan Hardianto.
Di sisi lain, berhubungan dengan insiden tabrakan KA Argo Bromo Anggrek dengan KA Senja Utama pada 2 Oktober 2010—salah satu kecelakaan kereta terburuk di Indonesia—Muhammad Ragil Suryoputro, Amarria Dila Sari, dan Ratih Dianingtyas Kurnia dari Universitas Islam Indonesia (UII) dalam penelitian mereka berjudul “Preliminary study for modeling train accident in Indonesia using swiss cheese model” di Procedia Manufacturing (2015) menggunakan model swiss cheese untuk menganalisisnya.
Model swiss cheese merupakan salah satu model atau kerangka kerja untuk penyelidikan kecelakaan. Landasan dasar model ini menggunakan sistem lima lapisan irisan “keju Swiss”, yakni pertahanan yang tak memadai, tindakan tak aman, pendahulu tindakan psikologis tak aman, kekurangan manajemen di jalur, dan keputusan yang salah.
Dari analisis menggunakan model tersebut, para peneliti menyimpulkan, penyebab kecelakaan tabrakan kereta pada 2010 bermula dari keputusan yang salah di mana kewenangan masinis dan asisten masinis tumpang tindih.
“Ini mengakibatkan kesulitan dalam mengamati tugas karena ketidakcocokan dengan deskripsi pekerjaan dan memengaruhi faktor manajemen jalur yang kurang sosialisasi peran antara pengawas kereta dan masinis,” ujar para peneliti.
“Kurangnya sosialisasi, menyebabkan komunikasi menjaditak terkoordinasi dengan baik, serta mengakibatkan tindakan tak aman di mana kesalahan komunikasi terjadi karena informasi yang kurang valid dari pengawas.”
Para peneliti merekomendasikan beberapa peningkatan keselamatan untuk menghindari insiden tabrakan kereta. Peningkatan keselamatan, menurut para peneliti, dapat dilakukan dengan komunikasi langsung antara pengawas kereta dan masinis. Harus ada cara komunikasi yang baik, misalnya deskripsi pekerjaan dan peran yang jelas untuk pelaporan serta umpan balik.
Peningkatan keselamatan kedua bisa dilakukan dengan pemeriksaan kondisi kesehatan. Selanjutnya, penjadwalan dan petugas yang bertanggung jawab harus dikelola dengan baik selama shift siang dan malam.
Lalu, peningkatan keselamatan berikutnya adalah sistem otomatis sinyal dan pengereman. Menurut mereka, jarak antara sinyal pengereman dan batas berhenti harus diperpanjang.
“Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk perbaikan sistem manajemen dan layanan kereta dem menghindari terjadinya kejadian serupa,” ujar Ragil, Amarria, dan Ratih.