Mengapa seseorang memilih melompat dari ketinggian untuk bunuh diri?
Mantan personel grup vokal One Direction, Liam Payne, tewas usai terjatuh dari lantai tiga sebuah hotel di Buenos Aires, Argentina, Rabu (16/10) waktu setempat. Meski masih dalam penyelidikan, diduga Payne bunuh diri dengan cara melompat.
Pada 2021, dalam podcast The Diary of a CEO, Payne sempat mengungkapkan dia pernah berpikir bunuh diri selama menjadi anggota One Direction. Tahun 2019, Payne pun pernah mengeluhkan tentang kesehatan mental orang-orang yang bekerja di industri musik seperti dirinya.
Belakangan ini, beberapa kasus bunuh diri juga dilakukan dengan metode melompat dari ketinggian gedung. Misalnya, seorang warga Jakarta berinisial H, 55 tahun, yang bunuh diri dengan melompat dari lantai 21 di sebuah hotel di Surabaya, Jawa Timur pada Minggu (13/10).
Lalu di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara, seorang pria berinisial EF, 35 tahun, tewas usai jatuh dari lantai 15 sebuah apartemen. Kemudian pada Jumat (4/10), seorang mahasiswi berinisial E, 18 tahun, meninggal dunia usai melompat dari lantai 6 kampusnya yang berada di Jakarta Barat.
Centre for Suicide Prevention menulis, bunuh diri dengan melompat sangat mematikan. Sebab, 85% orang yang melompat dari tempat yang tinggi sudah pasti tewas. Kebanyakan orang yang memilih melompat, menderita gangguan mental yang lebih parah dibandingkan dengan orang yang mengakhiri hidup dengan cara lain.
Bunuh diri dengan cara melompat, jarang terjadi di Barat. Namun, di beberapa negara Asia, misalnya Singapura, hal ini menyumbang sebanyak 60% dari semua kematian akibat bunuh diri. Di Inggris, angkanya hanya 3%, sedangkan di Amerika Utara cuma sekitar 5%.
Biasanya, yang menjadi pilihan adalah gedung tempat tinggal. Orang-orangnya cenderung lebih tua dan laki-laki. Sebuah penelitian yang terbit di American Journal of Public Health (2005) mengungkapkan, di Kota New York dari 1990 hingga 1998 ada kecenderungan metode bunuh diri dengan melompat dari ketinggian dilakukan mereka yang berusia 65 tahun atau lebih. Mereka memilih untuk melompat dari tempat tinggal mereka karena aksesibilitas yang mudah dan dekat.
Lalu, menurut Centre for Suicide Prevention, sebagian besar bunuh diri yang terjadi di area yang lebih publik dilakukan di jembatan atau tebing. Hal ini biasanya dilakukan laki-laki yang lebih muda.
“Mereka tertarik oleh ketenaran dan reputasi suatu lokasi. Tempat-tempat ini dikenal sebagai ‘hotspot bunuh diri’. Seringkali laki-laki muda ini juga menderita gangguan mental yang parah,” tulis Centre for Suicide Prevention.
Dalam American Journal of Public Health (2013), Stephane Perron dan kawan-kawan menjelaskan, tempat menjadi “ikonik” untuk bunuh diri karena kemudahan akses, persepsi mematikan dari lompatan, perhatian media, dan fitur unik seperti pemandangan.
Disebutkan dalam penelitian yang diterbitkan jurnal BMC Psychiatry (2020)—yang meriset fenomena bunuh diri dari tempat tinggi di Jerman—sekitar 80% dari ide bunuh diri terjadi karena dorongan tiba-tiba untuk melompat ketika berada di tempat tinggi.
Para peneliti mengungkapkan, fenomena bunuh diri dari tempat yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan gangguan kecemasan. Dalam analisis regresi hierarkis, menurut para peneliti, gangguan kecemasan dan ide bunuh diri, terbukti menjadi satu-satunya prediktor untuk pengalaman dengan fenomena tempat tinggi.
Para peneliti asal Florida State University dalam Journal of Affective Disorders (2012) menulis, fenomena bunuh diri dari tempat tinggi berasal dari salah tafsir terhadap sinyal keamanan atau keselamatan. Mereka mengatakan, rasa takut memainkan peran dalam salah tafsir sinyal keamanan.
Sebuah penelitian tahun 2014 oleh University of Utah, dikutip dari National Geographic menemukan hubungan antara ketinggian, depresi, dan tingkat bunuh diri.
“Di ketinggian, Anda mengalami penurunan kadar serotonin yang cukup nyata. Serotonin rendah tentu saja dikaitkan secara klasik dengan gangguan suasana hati dan kecemasan,” kata profesor psikiatri di University of Utah, Perry Renshaw, dilansir dari National Geographic.
Ketinggian, tulis National Geographic, juga meningkatkan produksi dopamin—neurotransmiter yang berperan dalam perilaku mencari kesenangan dan mengambil risiko. Karenanya, rata-rata orang barangkali mengalami perasaan senang yang lebih kuat, yang mungkin menjelaskan mengapa kehidupan di pegunungan terasa lebih menyenangkan, sedangkan seseorang dengan gangguan suasana hati merasakan perubahan yang intens, yang bisa mematikan bagi mereka dengan penyakit seperti gangguan bipolar.
Terlepas dari semua itu, sesungguhnya bunuh diri dengan cara melompat punya potensi tambahan membuat trauma orang lain yang menyaksikan, serta membahayakan nyawa orang yang melintas.
Menurut Centre for Suicide Prevention, bunuh diri adalah tindakan paling pribadi. Seseorang, sendirian dalam penderitaan mental yang ekstrem, membuat keputusan terakhir memutus ikatan dengan dunia secara permanen. Namun, saat seseorang tewas dengan cara melompat dari tempat yang tinggi, entah itu gedung, tebing, atau jembatan, secara alamiah hal itu adalah tindakan publik. Rahasia mereka terbongkar, dan citra tragedi terebut menjadi noda yang terbuka untuk dilihat semua orang.
Penghalang bisa saja menyelamatkan nyawa di satu lokasi, tetapi belum tentu mencegah seseorang mengakhiri hidupnya di tempat lain. Efek ini disebut dengan perpindahan lokasi. Penghalang pun kemungkinan gagal mencegah seseorang menggunakan cara lain untuk bunuh diri.
“Bunuh diri memengaruhi kita semua, dan ketika hal itu dilakukan dengan cara yang sangat publik, dampaknya menjadi lebih besar,” tulis Centre for Suicide Prevention.
“Berbagai upaya untuk mencegah bunuh diri mencerminkan masyarakat yang peduli dan dengan begitu, dapat melindungi warga yang rentan.”
---
Peringatan: Artikel ini tidak ditujukan untuk melakukan hal serupa. Jika Anda, teman, atau keluarga Anda memiliki gejala depresi dengan kecenderungan pemikiran untuk bunuh diri, segera berkonsultasi dengan profesional, seperti psikolog, psikiater, atau klinik kesehatan mental.