Muda dan berbahaya: Mengapa remaja punya perilaku jahat?
Pada Jumat (17/11), Polres Metro Jakarta Pusat menetapkan Ghisca Debora Aritonang, 19 tahun, sebagai tersangka kasus penggelapan uang tiket konser grup musik asal Inggris, Coldplay, senilai Rp5,1 miliar. Jumlah itu setara dengan 2.268 tiket.
Ghisca, yang merupakan mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta ini, mengaku kepada para pelanggannya yang notabene reseller tiket konser, kenal dengan seseorang dari pihak promotor.
Ia pun memberikan iming-iming harga miring bagi pembeli yang melakukan transaksi dalam jumlah besar. Kasus ini terbongkar usai polisi menerima enam laporan terkait penipuan itu.
Kasus Ghisca adalah satu dari sekian banyak contoh kejahatan yang dilakukan anak muda. Tindak kriminal lainnya, seperti penggunaan dan peredaran narkoba, tindakan vandalisme, tawuran, pembegalan, pencurian, pemerkosaan, dan penganiayaan.
Menanggapi hal itu, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengungkapkan, kejahatan yang dilakukan anak muda akan semakin meningkat.
“Ada dua kemungkinan kenapa remaja berani melakukan kejahatan. Pertama, karena terbiasa mengikuti pelanggaran yang sudah rahasia umum. Kedua, betul-betul karena ketidaktahuan remaja itu sendiri,” ujar Josias saat dihubungi Alinea.id, Kamis (23/11).
Penyebab dan solusi
Menurut Josias, seorang remaja bisa melakukan kejahatan yang cukup terstruktur, seperti penipuan hingga miliaran rupiah, tergantung sejauh mana pembelajaran kejahatan yang didalaminya.
“Tidak ada terdeteksi penegak hukum karena faktor remaja dan teman mainnya bahwa remaja (dianggap) tidak bisa melakukan kejahatan yang cukup besar,” ujarnya.
Sementara itu, psikolog klinis Adityana Kasandra Putranto melihat, ada beberapa faktor yang memengaruhi anak muda melakukan kejahatan, seperti penipuan dengan jumlah nominal yang besar. Ia menyebut, perilaku individu terbentuk dipengaruhi faktor genetik, pola asuh, lingkungan, dan paparan terhadap konten tertentu.
“Faktor genetik umumnya bertanggung jawab terhadap kemampuan seseorang dalam mengendalikan dorongan emosi, mengembangkan daya nalar, dan kecenderungan bawaan dalam mengadopsi perilaku tertentu,” tutur Kasandra, Kamis (23/11).
Bagi Kasandra, kehadiran orang tua, baik ayah maupun ibu, di masa tumbuh kembang anak sangat berperan dalam proses pengembangan perilaku seseorang. Pola asuh yang khas, semisal terlalu keras ataupun terlalu longgar dari orang tua, kata dia, bisa memengaruhi perilaku mereka.
“Paparan konten negatif di media sosial dan internet, antara lain gaya hidup yang mengandung kesenjangan sosial, juga turut memengaruhi perilaku remaja,” kata dia.
“Internet memberikan akses yang luas terhadap informasi dan interaksi sosial, termasuk kesempatan untuk penipuan dan kejahatan online. Remaja yang terpapar konten negatif di internet, berpotensi memperoleh ide dan terjebak dalam modus dan perilaku serupa.”
Di samping itu, menurut Kasandra, pada beberapa kasus kejahatan, ditemukan indikasi cyberbullying dan riwayat penyalahgunaan zat terlarang atau narkoba. Ia melanjutkan, sebagaimana perilaku kejahatan pada umumnya, faktor pemicu utama dari sebuah kejahatan adalah motif, kesempatan, dan tokoh utama.
“Faktor ekonomi, asmara, dendam, dan ledakan emosi umumnya adalah faktor-faktor yang berperan sebagai motif di balik berbagai tindak kejahatan,” ucap Kasandra.
“Baik untuk tujuan memenuhi kebutuhan diri atau mencapai kehidupan yang lebih baik.”
Dikutp dari The Conversation, dosen senior kriminologi di Anglia Ruskin University, Neema Trivedi-Bateman mengungkapkan, ada hubungan yang signifikan antara emosi moral dan perilaku menyimpang di kalangan remaja.
“Emosi moral dipelajari, dan perhatian lebih perlu diberikan, pada pengajaran moral di masa kanak-kanak untuk mengatasi hubungan antara moralitas dan kejahatan,” kata Trivedi-Bateman.
“Penelitian saya membuktikan, generasi muda lebih cenderung melakukan tindak kekerasan jika mereka memiliki empati, rasa malu, dan rasa bersalah yang lemah. Mereka tidak merasa kekerasan itu salah.”
Trivedi-Bateman melanjutkan, punya moral yang buruk bukan berarti seorang anak muda pada dasarnya buruk. Moralitas dipelajari sejak masa kanak-kanak. Orang-orang yang menghabiskan waktu bersama mereka yang mengajari moral.
“Oleh karena itu, jika perkembangan moral seseorang kurang, jangan langsung dicap ‘buruk’, mungkin mereka mendapat pengajaran yang tidak memadai atau salah arah dari orang-orang penting dalam hidupnya,” ujar Trivedi-Bateman.
Lalu, ia menyoroti soal pergaulan. Kaum muda, katanya, cenderung menghabiskan waktunya bersama orang tua, pengasuh, guru, dan teman sebaya. Menurutnya, jika teman-teman atau orang tua seorang anak tak menganggap tindak kejahatan itu salah, atau kurang empat terhadap orang-orang yang terkena dampak kejahatan, maka kemungkinan akan memengaruhi perasaan anak tersebut.
“Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya rasa bersalah atas perilaku melanggar aturan dapat terlihat sejak usia tiga tahun,” kata dia.
Ia menerangkan, sangat mungkin jendela waktu utama dan kritis bagi perkembangan moralitas dimulai saat masa kanak-kanak awal, dan berlanjut hingga masa remaja. Ia menyebut, generasi muda mencapai puncaknya dalam melakukan pelanggaran pada masa remaja pertengahan hingga akhir, dan mengurangi tindakan melakukan pelanggaran secara signifikan pada awal usia dua puluhan.
“Penelitian menunjukkan, menghabiskan waktu bersama orang-orang yang memberikan contoh moral yang kuat dapat mengarah pada perilaku taat hukum,” tulis Trivedi-Bateman.
Ia mengingatkan, program pendidikan moral harus diajarkan kepada anak-anak untuk mengurangi kemungkinan mereka tumbuh dewasa dengan perilaku kriminal. “Pendidikan moral harus dianggap sama pentingnya dengan gizi, kesehatan, dan pendidikan formal agar generasi masa depan dapat berkembang,” kata dia.
Josias menambahkan, untuk mengatasi permasalahan kejahatan remaja, perlu perhatian semua pihak dan menumbuhkan kesadaran dengan mengarahkan mereka pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya inovatif berbasis milenial. “Melibatkan pihak-pihak terkait,” katanya.
Sedangkan Kasandra menyebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejahatan yang dilakukan remaja. Pertama, menanamkan nilai-nilai moral, hukum, dan ideologi yang menghormati sesama.
“Termasuk segala konsekuensi dari perilaku kejahatan, sangat penting untuk dilakukan sejak dini, baik di rumah maupun melalui program-program sekolah, yang mengajarkan nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab sosial,” tutur Kasandra.
Kedua, pembinaan dari orang tua dan pengasuh, mencakup kualitas hubungan, komunikasi terbuka, pengawasan yang konsisten, dan memberikan perhatian yang cukup dapat membantu mencegah remaja terlibat dalam perilaku kejahatan. Ketiga, sanksi, tindakan tegas, dan rehabilitasi sesuai peran kejahatan yang dilakukan, dengan mengedepankan prinsip restorative justice.
“Dengan melibatkan dukungan psikologis, pendidikan, dan pelatihan keterampilan (diharapkan) dapat membantu mengubah perilaku para pelaku untuk menghindari kembali terlibat dalam kejahatan di masa depan, serta menjadi contoh bagi remaja lainnya untuk tak melakukan hal yang sama,” katanya.