Mengatasi bahaya gangguan kesehatan mental
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/11), Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkap, satu dari 10 orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa. Pernyataan tersebut berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) pada 2018.
Menurut Budi, banyak kasus yang mengarah ke gangguan jiwa dan belum terdeteksi lantaran tingkat skrining masih lemah. Misalnya, gangguan kecemasan (anxiety) yang masih sulit terdeteksi.
Budi memandang, deteksi dini gangguan jiwa di Indonesia masih sebatas observasi dan manual. Ia berjanji mengupayakan deteksi dini yang lebih canggih.
Alinea.id sudah berusaha menghubungi Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Vensya Sitohang untuk meminta konfirmasi terkait masalah ini. Namun, belum ada tanggapan hingga artikel ini diterbitkan.
Skrining dan edukasi
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, seperti dikutip dari Antara, Selasa (14/11) mengatakan, banyak pasien yang awalnya mengalami gangguan mental emosional, stres, dan ansietas, hingga gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia tak terdeksi secara dini, sehingga terlambat mendapat pengobatan.
Kemenkes kini sedang meningkatkan layanan puskesmas dengan mengikuti siklus usia kehidupan, bukan berdasarkan keluhan. Remaja dengan usia produktif, kata Siti, sekarang bisa melakukan tes kesehatan jiwa atau konseling.
Siti mengatakan, target pada 2023 terdapat 31 juta warga yang bisa diskrining kesehatan jiwa. Hingga kini, ada 6,8 juta orang yang sudah diskrining, dan 406.314 dinyatakan mengalami gangguan jiwa.
Riskesdas 2018 mencatat, prevalensi depresi pada penduduk usia 15 tahun ke atas adalah 6,1%, atau sekitar 12 juta. Gangguan mental emosional pada warga usia 15 tahun ke atas dialami 9,8% penduduk, atau lebih dari 19 juta.
Berdasarkan Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, prevalensi remaja usia 10-17 tahun yang mengalami gangguan cemas sebesar 3,7% dan depresi 1%. Lalu, 1,4% dari remaja punya pikiran bunuh diri dan 0,2% telah melakukan percobaan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir. Ironisnya, skiring masih minim.
“Capaian persentase penduduk usia sama atau lebih 15 tahun dengan risiko masalah kesehatan jiwa yang mendapatkan skrining tahun 2022, berdasarkan data rutin Direktorat Kesehatan Jiwa sebesar 9,89% dari 30% target yang ditetapkan,” tulis Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes dalam Laporan Akuntabilitas Kerja Instansi Pemerintahan Tahun 2022 Direktorat Kesehatan Jiwa.
Menurut psikolog Liza Marielly Djaprie, kesehatan mental masih belum menjadi kesadaran setiap orang. Sebab, gangguan mental tak kelihatan, tidak seperti gangguan fisik seperti terluka.
“Jadi, biasanya memang kalau berbicara gangguan mental itu baru akan kelihatan kalau sudah menumpuk,” ujar Liza kepada Alinea.id, Kamis (16/11).
“Misalnya, orang sudah sangat stres, sudah tidak fungsional, nangis terus, cemas terus, fobia, atau trauma.”
Bagi Liza, bahaya gangguan mental jika tak teratasi dengan baik sangat banyak. Mulai dari stres harian hingga menyakiti diri sendiri. Bahkan, bisa timbul pikiran untuk bunuh diri. Selain itu, bisa pula menyakiti orang lain.
“Bisa saja dia punya halusinasi untuk menyakiti orang lain. Ini kan sudah sangat berbahaya,” ujar dia.
Liza menjelaskan, seseorang yang mentalnya terganggu, tak bisa lagi mengelola emosi dengan baik dan berpikir logis. Akibatnya, banyak keputusan yang menjadi salah, atau bahkan merugikan. Ia khawatir, jika masalah ini tak bisa dicegah, negara bakal terganggu.
“Terbayang tidak, kalau satu sama lain saling menyakiti, kemudian banyak yang tidak bisa berfungsi dengan baik di bidang pekerjaan atau sekolah,” tutur Liza.
“Ini kan makin lama semakin mengganggu sebenarnya. Dampaknya seperti itu.”
Liza mengibaratkan gangguan mental seperti virus di dalam tubuh, yang secara tak sadar, semakin lama fisik semakin akan terganggu. “Mungkin yang tadinya hanya gatal-gatal, kemudian imunitas turun, lalu amit-amit sampai jadi kanker,” kata dia.
“Nah ini kan yang kita cegah sebenarnya dari sisi kesehatan mental juga.”
Ia menyarankan, pemerintah pertama-tama harus memperbanyak edukasi mengenai kesehatan mental kepada masyarakat. Misalnya, bisa ke sekolah-sekolah dengan memberikan pelajaran terkait kesehatan mental.
“Tanda-tanda kalau kita mengalami gangguan kesehatan mental seperti apa, kemudian pendekatannya bagaimana, seperti itu,” ucap Liza.
Di kantor-kantor pun perlu disediakan ruang-ruang konseling dan edukasi mengenai kesehatan mental. Skrining kesehatan mental juga wajib dilakukan. “Nah, tanggal 11-12 November kemarin, Ikatan Psikologi Klinis Indonesia itu melakukan skrining kesehatan mental masif di Gelora Bung Karno,” ujarnya.
“Hal-hal seperti itu dibutuhkan. Mungki sudah perlu ada yang namanya medical check-up kesehatan mental.”
Terlepas dari itu, Liza mengingatkan, kesehatan mental perlu terus diedukasi, sehingga orang menyadari, selain kesehatan fisik ada pula yang namanya kesehatan mental. “Tidak ada yang namanya kesehatan, tanpa kesehatan mental juga,” kata dia.
“Jadi, ada kesehatan fisik, ada kesehatan mental. Itu adalah satu kesatuan yang utuh.”