Pada 1865, penulis dan matematikawan di Oxford University, Charles Lutwidge Dodgson atau lebih dikenal dengan nama Lewis Carroll, menerbitkan novel anak-anak—yang akhirnya menjadi populer di seluruh dunia—bertajuk Alice in Wonderland. Novel ini berkisah tentang seorang anak perempuan bernama Alice yang jatuh ke dalam lubang kelinci menuju dunia fantasi yang dipenuhi banyak makhluk aneh.
Tahun 1955, psikiater Inggris John Todd menggunakan istilah sindrom Alice in Wonderland untuk menjelaskan tentang sebuah gangguan persepsi disorientasi yang ditandai dengan episode ilusi visual yang aneh dan distorsi spasial, yang dikaitkan dengan berbagai kondisi neurologis dan kejiwaan seseorang.
Dilansir dari BBC, kemungkinan Carroll menulis novel Alice in Wonderland terinspirasi dari distorsi persepsinya sendiri, yang barangkali disebabkan aura migrain berupa gangguan penglihatan sementara. Ada juga yang berpendapat, Carroll mungkin menderita sindrom Alice in Wonderland yang dipicu epilepsi, penyalahgunaan zat, atau infeksi virus.
Menurut para peneliti dari Brigham and Women’s Hospital dan Mayo Clinic dalam Sage Journal (2020), sindrom itu melibatkan persepsi yang terdistorsi mengenai ukuran dan bentuk tubuh orang lain atau objek-objek yang ada di sekitarnya. Distorsi tersebut, antara lain mikropsia atau objek tampak lebih kecil, makropsia atau objek tampak lebih besar, serta metamorfopsia atau objek tampak terdistorsi.
“Durasi gejala cenderung singkat, biasanya beberapa menit hingga beberapa hari, dan hilang tanpa gejala sisa,” ujar para peneliti.
BBC menulis, sindrom Alice in Wonderland memengaruhi cara orang memandang dunia di sekitar mereka, serta dapat mengubah cara mereka merasakan tubuh sendiri dan ruang yang ditempati.
“Bayangkan melihat wajah orang-orang berubah menjadi wajah seperti naga sepanjang hidup Anda,” tulis BBC.
Jenis distorsi visual lainnya yang menjadi ciri khas sindrom Alice in Wonderland, antara lain seseorang melihat bagian tubuh orang lain berbeda, seperti lengan terlihat pendek dan menempel di wajah; melihat orang atau benda bergerak lambat, cepat, atau tak bergerak sama sekali; mendengar orang lain berbicara lambat atau cepat secara tak wajar; atau merasa bagian tubuh menyusut atau membengkak.
Penderitanya jarang merasa takut atau bingung dengan ilusi yang muncul. Sindrom ini jarang terjadi. Meski begitu, dijelaskan para peneliti, sindrom Alice in Wonderland meningkat hingga 15%. Penyebab sindrom tersebut, menurut para peneliti, antara lain infeksi virus, terutama virus epstein-barr (EBV); migrain, epilepsi, lesi sistem saraf pusat, dan zat halusinogen. Kecenderungan genetik juga diduga pula menjadi penyebab timbulnya sindrom ini.
“Sebuah penelitian pada anak sindrom Alice in Wonderland menemukan riwayat keluarga migrain atau sindrom Alice in Wonderland pada hampir 50% pasien,” tulis para peneliti.
Menurut para peneliti dari Spienza University of Rome dan University Consortium for Adaptive Disorders and Head Pain (UCADH), antara lain Giulio Mastria, Valentina Mancini, Alessandro Vigano, dan Vittorio De Piero dalam riset yang terbit di jurnal BioMed Research International (2016), infeksi EBV merupakan penyebab paling umum pada anak-anak, sedangkan migrain lebih umum menyerang orang dewasa.
Parents menulis, dalam kasus yang jarang terjadi, sindrom Alice in Wonderland bisa disebabkan oleh tumor otak. Namun, disertai dengan gejala berhubungan dengan tumor lainnya, seperti kesulitan berjalan atau berbicara. Penyakit mata dan gangguan kejiwaan, seperti depresi atau skizofrenia, ditulis BBC, bisa pula menjadi pemicu sindrom Alice in Wonderland.
Menurut ahli saraf kognitif dan Direktur Penn Center for Neuroaesthetics, Anjan Chatterjee, seperti dikutip dari Parents, tak ada pengobatan sindrom Alice in Wonderland. Maka, yang perlu diobati adalah pemicunya.
Di sisi lain, profesor psikopatologi klinis di Universitas Leiden, Belanda, Jan Dirk Blom dalam BBC menekankan perlunya dokter menanggapi pasien yang menggambarkan gejala-gejala sindrom Alice in Wonderland secara serius. Blom mengakui, diagnosis dan pengenalan sindrom Alice in Wonderland hampir tak mengalami kemajuan selama beberapa dekade terakhir. Artinya, kerap kali penyakit ini bisa dialami pasien selama bertahun-tahun.
Arya Shah, Setty M. Magana, dan Paul E. Youssef dalam Sage Journal mengungkapkan, diagnosis penderita sindrom Alice in Wonderland bisa dilakukan secara klinis, dengan mengesampingkan diagnosis lain, seperti epilepsi, lesi sistem saraf pusat, dan gangguan kejiwaan primer. Tes tambahan termasuk tes darah, pencitraan resonansi magnetik otak, dan elektroensefalografi dapat dilakukan.
Blom mengakui, masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk memahami dengan pasti apa yang terjadi di otak pasien dengan sindrom Alice in Wonderland. Akan tetapi, ia peraya, sindrom tersebut dapat memberikan petunjuk penting tentang bagaimana otak menghimpun informasi tentang dunia kita.
“Sindrom ini mengajarkan kita bahwa keseluruhan jaringan persepsi visual mempunyai bagian-bagian yang sangat besar yang bisa dielakkan atau dikompensasi oleh bagian-bagian lain, sedangkan bagian-bagian lain tampaknya sangat penting jika kita ingin mampu memahami dengan baik aspek-aspek yang sangat mendasar, seperti wajah, garis, warna, dan gerakan,” kata Blom.