Di bawah lampu temaram berhadapan dengan kaca meja rias, Roekiah mengawali cerita. Ia mengisahkan perjalanan kariernya di dunia hiburan sejak berusia tujuh tahun.
Ayahnya, Moehammad Ali adalah pemain sandiwara. Sedangkan ibunya, Ningsih merupakan penyanyi di rombongan Operasi Poesi Indera Bangsawan. Namun, kedua orang tuanya tak menginginkan Roekiah kecil mengikuti jejak kesenian mereka.
Roekiah kecil sudah suka mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan ibunya. Begitu pula pertunjukan rombongan sandiwara ayah dan ibunya ketika menggelar pementasan keliling berbagai daerah di Jawa.
“Suatu hari, aku membuat perjanjian dengan ibu. Ibu membolehkanku untuk ikut di salah satu sandiwara. Itulah panggung pertamaku,” kata Roekiah.
Setelah sempat menentang keras, akhirnya orang tuanya luluh dan menyadari tempat Roekiah memang di atas panggung. Tahun 1932, Roekiah bergabung dengan Opera Palestina di Batavia. Usai menyaksikan dunia peran lebih luas, Roekiah menyadari, ia punya impian baru: jadi aktris.
Di Opera Palestina pula ia mengenal pemain musik, Kartolo, yang akhirnya menjadi suaminya. Mereka menikah kala Roekiah baru berusia 15 tahun.
Roekiah dan Kartolo bukan cuma pasangan suami-istri. Lebih dari itu, mereka adalah rekan dalam berkarya. Dalam setiap orkes, banyak lagu yang dinyanyikan Roekiah merupakan ciptaan Kartolo. Mereka pun kerap bermain film yang sama.
Pada 1937, karier film Roekiah dimulai. Ia menjadi pemeran utama film Terang Boelan. Hasilnya, film itu meledak di pasaran.
Kesuksesan Terang Boelan ikut melambungkan nama Roekiah. Namun, perusahaan film Algemeen Nederlandsch Indisch Fimsyndicaat (ANIF), yang memproduksi Terang Boelan, berubah arah bisnis. Tak lagi memproduksi film fiksi.
“Jadi, aku pun kehilangan pekerjaan. Sedih sekali rasanya. Hidup tanpa karya, ibarat hidup tanpa nyawa,” ujar Roekiah.
Meski begitu, kondisi sulit tak berlangsung lama. Kartolo mengumpulkan para pemain Terang Boelan dan membentuk grup musik Terang Boelan Trope. Roekiah dan koleganya itu sempat rekaman di Singapura.
Setelah itu, Roekiah kembali bermain film Fatima, menjadi pemeran utama. “Bahkan, perusahaan film mau membayarku sampai 150 gulden dan aku diberikan tanah serta rumah. Nikmat betul hidupku,” tutur Roekiah.
Roekiah dan Kartolo juga bergabung dengan orkes Lief Java. Grup musik itu pun diisi musikus Betawi dari Kwitang, Ismail Marzuki.
Walau berlabel aktris sohor, nyatanya berkarya di masa kolonial bukan perkara gampang. Terkadang, gaji Roekiah dan Kartolo harus rela dipotong. Ketika sedang mengisi suara di radio pun tiba-tiba dibatalkan dan diganti dengan siaran Belanda. Padahal, saat itu Roekiah dan Kartolo harus menghidupi lima anak mereka yang masih sangat kecil.
Kesulitan hidup Roekiah bertambah parah ketika masa pendudukan Jepang, 1942-1945. Ia dipaksa bekerja untuk Jepang, menyanyi dan bermain sandiwara keliling demi propaganda perang.
“Bekerja, bekerja dan bekerja! Itu saja yang mereka minta dari kita semua. Bekerja dan bekerja! Walau aku berbadan dua. Sempatlah aku memohon untuk aku beristirahat sebentar. Aku mohon, aku butuh beristirahat. Tapi mereka tidak membiarkan aku bernafas sebentar saja,” kata Roekiah.
Padatnya jadwal bersama rombongan sandiwara bentukan Jepang, membuat Roekiah sakit-sakitan. Ia pun keguguran. Ia tetap ikut tur.
Sekembalinya ke Jakarta, kesehatannya makin memburuk. Roekiah meninggal dunia pada 2 September 1945. Panggung kecil itu pun ditutup.
Monolog "Kenang-kenangan Roekiah" itu dimainkan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Sabtu (27/1). Sang diva diperankan penyanyi dan vokalis band Deredia, Louise Monique Sitanggang.
Pada 2022, ketika ia bergabung dalam produksi serial musikal Payung Fanstasi, dan berperan sebagai Roekiah juga, Louise sudah jatuh hati pada aktris legendaris itu.
"Banyak sekali masyarakat Indonesia yang belum tahu (Roekiah). Di tahun 2022, saya punya misi memperkenalkan kembali Roekiah dan karya-karyanya," ujar Louise saat ditemui Alinea.id di auditorium Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Sabtu (27/1).
Menurut Louise, musisi dan seniman saat ini sudah sangat bebas berkarya dan berbicara. Berbeda sekali situasinya di masa kolonial.
“Jadi, kita harus terus menggaungkan para seniman yang terdahulu. Karena mereka adalah pahlawan di bidang kesenian,” ujarnya.
Pemilihan kamar rias sebagai latar panggung monolog, sebut Louise, karena di situ sosok terjujur Roekiah dapat dihadirkan.
"Penampil kalau di panggung konsep, jaim (jaga image). Tapi kalau di balik meja rias, dia bebas berekspresi," tutur Louise.
"Makanya, ini sebagai simbolisasi, tempat di mana aku bisa jujur apa adanya kepada perasaanku."
Sementara itu, sutradara monolog "Kenang-kenangan Roekiah", Chriskevin Adefrid mengatakan, menghadirkan kembali sosok legendaris seperti Roekiah bukan hal yang mudah. Soalnya, minim dokumentasi sezaman.
Kevin bilang, ia mengenal sosok Roekiah sejak 2022. Lewat "pengenalannya" dari tokoh lain, semisal Ismail Marzuki. Lalu menjelajaj berbagai hasil riset dari pakar-pakar budaya pop.
"Louise waktu itu sempat ngobrol dengan keturunannya (Roekiah). Tapi memang tidak mudah untik digali," kata Kevin di auditorium Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Sabtu (27/1).
"Jadi, kita bergantung banget dengan research paper-nya. Kami saling cross check (informasi)."