close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi minuman berpemanis. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi minuman berpemanis. Foto Pixabay.
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 09 Desember 2023 11:54

Mengintip bahaya minuman berpemanis dalam kemasan

Dalam dua dekade terakhir konsumsi MBDK meningkat 15 kali lipat.
swipe

Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menjadi idola di tengah masyarakat. Sebuah survei menunjukkan Indonesia berada pada urutan ketiga di negara Asia Tenggara yang terbanyak mengonsumsi MBDK. Kelompok yang paling banyak meminumnya adalah anak-anak dan remaja berusia 5 tahun hingga 18 tahun. 

Data yang diungkapkan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut dalam dua dekade terakhir konsumsi MBDK meningkat 15 kali lipat. Tingginya konsumsi MBDK termasuk di kalangan anak-anak sejalan dengan meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular. Seperti risiko obesitas, diabetes, hingga penyakit kardiovaskular.

MBDK adalah minuman yang mengandung gula tambahan atau pemanis buatan, dan dikemas dalam botol, kaleng, atau wadah lainnya. Jenis minuman ini biasanya telah siap diminum dan dapat ditemukan di toko-toko swalayan, restoran cepat saji, mesin penjual otomatis dan tempat lainnya. Pemanis yang digunakan dalam minuman berpemanis dapat berasal dari gula alami seperti sukrosa atau gula tebu atau dari pemanis buatan seperti sukralosa, aspartam, siklamat, aksesulfam-K, dan sebagainya.  Minuman berpemanis menjadi populer karena rasanya yang manis dan kenyamanannya dalam pengemasan serta penyajian. Jenis minuman ini sangat ngetren di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen mengatakan produk tinggi gula sama dengan rokok, lambat laun membuat konsumen kecanduan. Beberapa ciri kecanduan gula disebut mirip kecanduan rokok. 

“Beberapa ciri kecanduan ini termasuk kalau kita lagi bete atau sebel yang dicari adalah makanan manis atau minuman manis. Inginnya makan cuma sedikit, tapi lama-lama sepotong gede, next sudah enggak bisa ngebatasin. Sama seperti orang merokok jadi kebiasaan dan tergantung sama rokok,” kata dokter Tan, dikutip Sabtu (9/12).

Apalagi, tuturnya, kini banyak bermunculan produk-produk terbaru yang menyembunyikan kandungan gula sebenarnya. Misalnya, produk yang memasang label sugar free, tetapi di dalamnya ada xylitol, maltitol, dan sorbitol. "Ditambah dengan aspartam yang sekarang sudah ada penelitiannya malah menyebabkan kanker,” lanjutnya.

Di sisi lain, akses terhadap minuman berpemanis semakin mudah dijangkau. Tan menilai ada pembiaran atas lingkungan tidak sehat selama lebih dari 70 tahun. Hal itu terlihat dari tidak terselenggaranya kolaborasi pentahelix yang melibatkan pelaku industri dalam mengentaskan malnutrisi, termasuk obesitas.

“Zaman saya masih kecil, akses makanan kemasan enggak banyak. Warung sebelah cuma jual kopi sama pisang goreng. Tapi sekarang, tiap mengajak cucu ke supermarket, troli saya isinya penuh dengan produk makanan kemasan,” kata Tan.

Chief of Research and Policy CISDI Olivia Herlinda mengatakan perilaku dan kebiasaan mengonsumsi produk tinggi gula tidak hanya dipengaruhi keputusan individu, tetapi juga lingkungan sekitar dan kebijakan yang berlaku. Contohnya, seseorang yang terpapar iklan atau banner akan secara tidak sadar memasukan produk ke dalam pikiran hingga kemudian memiliki keinginan untuk mengonsumsinya. 

Butuh kebijakan

Olivia mengatakan masyarakat membutuhkan kebijakan yang bisa menciptakan lingkungan lebih sehat dan mempunyai akses ke produk-produk pangan yang lebih sehat.

"Selain itu juga perlu memiliki informasi untuk mengambil keputusan menjalani pola hidup dan makan yang lebih sehat," lanjutnya.

Ketua Tim Kerja Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Fatcha Nuraliyah mengatakan pihaknya tengah mengusulkan pemberlakuan cukai MBDK. Draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Gula, Garam, dan Lemak (RPP GGL) sebagai aturan turunan Undang-Undang Kesehatan sedang disusun. 

“Draf RPP GGL sedang didiskusikan antarkementerian sebab dibutuhkan kerja lintas kementerian agar aturan ini bisa berjalan baik. Sementara cukai MBDK sudah masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2024,” kata Fatcha.

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan