Mengurai problem pengungsi Rohingya di Aceh
Pengungsi etnis Rohingya terus berdatangan ke Aceh. Terbaru, sebanyak 200-an tiba di Pantai Blang Raya Pidie pada Minggu (10/12). Di hari yang sama, sebanyak 135 pengungsi masuk lewat Dusun Blang Ulam, Aceh Besar.
Dari beberapa gelombang selama sebulan terakhir, ada lebih dari 1.000 pengungsi tiba di Aceh. Mereka naik kapal-kapal kayu dari Myanmar untuk sampai ke pantai-pantai di Aceh.
Beberapa waktu lalu, melalui video singkat di YouTube Sekretariat Presiden, Presiden Joko Widodo mengatakan bakal memberikan bantuan kepada para pengungsi.
Pemerintah juga akan menindak tegas aksi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam arus masuknya pengungsi Rohingya. Seiring waktu, para pengungsi yang juga terdiri dari perempuan dan anak-anak itu, lama-kelamaan menimbulkan masalah sosial.
Menurut pengamat kajian Asia Tenggara sekaligus warga Aceh, Muhammad Ichsan, saat gelombang pertama pengungsi Rohingya pada 2015, masyarakat Aceh sangat menerima mereka. Namun, lambat laun, warga Aceh kehilangan simpati karena berbagai masalah dan dugaan perdagangan manusia lewat jalur laut ke Aceh.
“Untuk saat ini, kita dari masyarakat Aceh sepakat menolak kedatangan gelombang pengungsi Rohingya,” kata Ichsan kepada Alinea.id, Rabu (6/12).
“Terkait dengan kelakuan (sikap) mereka juga ada track record yang tidak baik di daerah-daerah yang diterima (tujuan) maupun negara ASEAN, seperti Malaysia dan Thailand.”
Masalah dan solusi untuk para pengungsi
Beberapa kelakuan miring pengungsi Rohingya di Aceh, di antaranya membuang bantuan warga ke laut, berusaha kabur dari kamp pengungsian, dan tidak patuh pada norma-norma masyarakat setempat.
Selain itu, Ichsan mengatakan, tipikal pengungsi Rohingya kurang patuh terhadap aturan. “Ditambah keresahan masyarakat sejak beredarnya video di Malaysia di mana pengungsi Rohingya menuntut tanah kepada pemerintah setempat,” tuturnya.
Sementara itu, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena berharap, tak ada benturan terhadap keresahan warga Aceh dengan upaya penyelamatan para pengungsi.
“Kita mengingat betul, bagaimana pada masa awal-awal kedatangan pengungsi Rohingya, warga Aceh (menerima) dengan tangan terbuka,” ujar Wirya, Rabu (6/12).
Saat gelombang kedatangan pertama pengungsi Rohingya pada 2015, Wirya menyebut, warga Aceh bukan hanya memberikan bantuan, tetapi juga menyelamatkan langsung para pengungsi ke laut.
“Media-media internasional saat itu mengatakan, warga Aceh menunjukkan the best of humanity, dan itu suatu hal yang kita banggakan sebagai warga Indonesia,” ucap Wirya.
Wirya berharap kejelasan upaya pemerintah dalam menangani pengungsi Rohingya agar bisa menjawab keresahan warga Aceh. “Jangan sampai situasi ini dibiarkan terombang-ambing karena nantinya yang akan menjadi korban juga adalah pengungsi Rohingya, yang sejatinya hanyalah orang-orang yang berusaha melarikan diri dari berbagai kekejian yang terjadi di berbagai tempat,” ujarnya.
Ada informasi, para pengungsi Rohingya mayoritas berasal dari kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh. Letaknya ada di perbatasan negara itu dengan Rakhine, Myanmar. Hal ini diketahui usai terungkap kalau para pengungsi punya kartu identitas dari United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR)—organisasi PBB yang mengurus pengungsi—yang diterbitkan di Bangladesh. Cox’s Bazar sendiri dikelola UNHCR.
Diduga para pengungsi melarikan diri dari Cox’s Bazar lantaran masalah keamanan. Menurut Ichsan, terkait keamanan pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, sudah ditanggulangi Bangladesh dibantu UNHCR. Problemnya, menurut Ichsan, ada oknum penjual manusia yang memanfaatkan peluang bisnis di tengah penderitaan etnis Rohingya yang diusir dari Myanmar.
“Saya dengar dari satu pengungsi, ada yang membayar pelaut Bangladesh sebesar Rp15 juta untuk menyelundupkan pengungsi ke Aceh,” kata Ichsan.
Mengenai hal itu, beberapa waktu lalu Polres Pidie meringkus seorang warga Bangladesh yang diduga menyelundupkan 149 etnis Rohingya ke pesisir pantai di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Mereka diangkut ke Aceh dengan kapal kayu tanpa izin dan dokumen resmi.
Sedangkan Wirya menuturkan, para pengungsi Rohingya sudah melalui berbagai perjalanan yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri dari konflik dan kekerasan di Myanmar dan kamp pengungsian Cox’s Bazar.
“Amnesty baru-baru ini mencatat, tahun 2023 bulan Maret ada kebakaran besar yang terjadi di Cox’s Bazar,” tutur Wirya.
“Kebakaran tersebut menghancurkan sekitar 2.000 permukiman dan membuat kurang lebih 12.000 pengungsi Rohingya tidak memiliki tempat tinggal.”
Wirya menyebut, kejadian itu bukan kebakaran pertama sejak Januari 2021. Amnesty mencatat, setidaknya sudah ada kurang lebih 200 kejadian kebakaran di kamp pengungsi Rohingya itu.
“(Sebanyak) 60 di antaranya itu ada kejadian pembakaran secara sengaja,” ujar Wirya.
“Ini adalah salah satu bentuk masalah yang terjadi di Cox’s Bazar. Ada masalah lain, seperti kriminalitas dan kekerasan seksual.”
Oleh karenanya, Wirya menganggap wajar bila banyak pengungsi Rohingya yang berusaha mencari situasi yang lebih manusiawi di luar Cox’s Bazar. Sayangnya, hal itu dimanfaatkan penyelundup atau para pelaku perdagangan manusia.
Menurut Ichsan, untuk mengatasi masalah pengungsi Rohingya, pemerintah daerah harus menyurati pemerintah pusat untuk memulangkan para pengungsi ke negara asalnya atau dikarantina di wilayah yang disiapkan, yang jauh dari aktivitas masyarakat lokal, sehingga tak terjadi konflik sosial. Cara lainnya, pemerintah bekerja sama dengan UNHCR untuk mendanai seluruh aktivitas para pengungsi selama dikarantina.
“Harapannya, pemerintah jangan memberikan kebebasan kepada pengungsi untuk menetap lama di Indonesia,” kata Ichsan.
Bagi Ichsan, negara-negara di kawasan Asia Tenggara lewat kepala negara masing-masing juga harus duduk bersama dan mendesak pemerintah Myanmar agar memberikan hak-hak atas etnis Rohingya. “Dengan pengawalan ketat pihak keamanan PBB,” ujar Ichsan.
Di sisi lain, menurut Wirya, yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bagaimana memunculkan rasa kemanusiaan kembali untuk memberi ruang menyelamatkan para pengungsi yang terombang-ambing di lautan. Meski bukan negara yang meratifikasi konvenan pengungsi, kata Wirya, Indonesia tetap punya tanggung jawab memberikan pencarian dan penyelamatan para pengungsi yang ada di dekat perairan kita.
“Indonesia memiliki tanggung jawab memberikan bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi, walaupun kita bukan penandatangan ratifikasi konvensi pengungsi,” ujar dia.
“Kita juga memiliki tanggung jawab untuk menerapkan prinsip non-refoulement atau prinsip yang menolak pemulangan kembali (para pengungsi).”
Penyelesaian menyeluruh terhadap pengungsi Rohingya, ujar Wirya, hanya bisa dilakukan oleh komunitas internasional. Harus ada kesepakatan di negara-negara Asia Tenggara untuk melakukan penyelamatan.
“Tidak boleh ada negara-negara yang saling menolak kapal-kapal Rohingya yang datang mendekati wilayah-wilayah mereka,” ucapnya. “Tidak ada negara yang bermain ‘pingpong’ dengan kapal Rohingya.”
Ia mengatakan, akar masalah keberadaan pengungsi Rohingya adalah buruknya situasi di Myanmar. Maka, menurutnya, kita tak bisa mendorong mereka untuk pulang ke negara asalnya dengan kondisi saat ini.
“Karena itu sama saja melempar mereka kembali ke mulut buaya,” kata dia. “Padahal, mereka baru saja lepas dari mulut harimau yang merupakan derasnya ombak yang dilalui untuk menyelamatkan diri.”
Karenanya, bagi Wirya, pemerintah Indonesia bersama-sama pemerintah di kawasan Asia Tenggara perlu menekan pihak-pihak yang bertikai di Myanmar untuk menghentikan persekusi terhadap kelompok minoritas di sana. Sedangkan para pengungsi yang berada di kamp pengungsian, kata Wirya, merupakan tanggung jawab komunitas internasional secara umum untuk memastikan mereka bisa mencari kehidupan yang terjamin.
“Bahwa mereka (pengungsi) memiliki bantuan kemanusiaan yang mencukupi, perlindungan diberikan kepada kelompok yang rentan di kamp pengungsian Cox's Bazar, termasuk kepada perempuan dan anak-anak," tutur Wirya.