Menimbang kelalaian sopir di balik kecelakaan bus
Rinto Katana, sopir bus PO Handoyo tak lagi bisa mengelak. Usai bus yang dibawanya itu mengalami kecelakaan maut di ruas jalan tol Cipali, tepatnya kilometer 72 exit tol Cikampek, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat pada Jumat (15/12), Rinto ditetapkan sebagai tersangka.
Kecelakaan itu menyebabkan 12 orang tewas, dua orang luka berat, dan tujuh orang luka ringan. Pihak kepolisian menyebut, saat kecelakaan terjadi, bus melaju dengan kecepatan cukup tinggi ketika melintas tikungan.
Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan, sebaiknya pengemudi bekerja sehari maksimal delapan jam untuk meminimalisir kecelakaan.
“Nah, bus AKAP (antarkota antarprovinsi) itu kan jauh sekali. Makanya dia punya dua sopir. Dari delapan jam itu, empat jam harus istirahat,” kata Djoko kepada Alinea.id, Senin (18/12).
“Jadi porsinya (sopir utama dan kedua) sama. Cuma harus dua sopir, pergantian itu wajar. Ada aturannya.”
Di sisi lain, Djoko menerangkan, penyebab kecelakaan itu tengah dianalisis lebih lanjut oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
“Tapi, perusahaan itu ada namanya sistem manajemen keselamatan (SMK). Nah, itu nanti ranahnya berhubungan. Jadi, semua aspek perlu dilihat,” ujar Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu.
Meski begitu, melihat posisi korban tewas yang terlempar dari dalam bus, Djoko menduga, sabuk pengaman belum berfungsi optimal. Dalam kecelakaan ini, para korban tak mengenakan sabuk pengaman, sehingga terhempas.
“Itu berbahaya. Kecelakaan sangat berpotensi menimbulkan korban jiwa jika tidak mengenakan sabuk pengaman,” tutur Djoko.
Penggunaan sabuk pengaman diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 74 Tahun 2021 tentang Perlengkapan Keselamatan Kendaraan Bermotor. Beleid itu menyebut, penggunaan sabuk keselamatan tak hanya untuk pengemudi, tetapi juga para penumpang.
“Kalau perlu, ada indikator yang berbunyi jika penumpang tidak mengenakan sabuk pengaman. Sudah saatnya pemerintah tegas, sudah cukup ada korban akibat tidak mengenakan sabuk pengaman seperti ini,” kata dia.
Terpisah, pengamat transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muslich Zainal Asikin mengatakan, kecelakaan itu terjadi karena kelalaian sopir. Menurut pendapatnya, jika pergantian sopir tak proporsional, hal itu bisa berbahaya.
Berdasarkan keterangan Rinto, ia menggantikan sopir utama, yakni Rio yang sudah berkendara dari Yogyakarta ke Kendal. Dari Kendal, bus yang seharusnya ke tujuan akhir Bogor, Rinto yang mengemudikan.
“Nah, apakah sopir kedua (pengganti) itu menunggu di Kendal atau ikut bus dari awal? Bahayanya adalah mereka (sopir kedua) ikut bus juga,” kata Muslich kepada Alinea.id, Senin (18/12).
“Ketika bergantian itu juga (sopir kedua) dalam keadaan tidak fit.”
Muslich mengatakan, yang baik adalah sopir ke dua menunggu di Kendal, sehingga kondisi tubuhnya masih fit. Namun, kebanyakan kasus di indonesia, sopir kedua ikut dalam bus dari awal perjalanan.
“itu yang kadang-kadang menjadi problem. Saya ikut prihatin atas kejadian ini,” tutur Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DI Yogyakarta itu.
Selain itu, yang perlu menjadi perhatian adalah kualitas menyetir sopir kedua apakah sama dengan sopir pertama. Sebab, kata dia, jika statusnya sopir cadangan, terkadang tak kompeten sebagai sopir.
Menurut Muslich, di beberapa negara maju, semua sopir terkoordinasi dalam sebuah sistem pelayanan angkutan umum. Maka, kalau seorang sopir mengemudi melebihi waktu yang ditentukan, bisa terdeteksi.
“Saya pernah waktu itu naik bus dari Prancis ke Luksemburg diberitahu karena kita akan berhenti, lalu sopirnya bilang, ‘saya hanya punya hak mengemudi selama delapan jam paling lama’,” ujar Muslich.
Di negara maju, lanjut Muslich, sistem kerja sopir bus terintegrasi. Sewaktu mau mengemudi, seorang sopir akan memasukkan kartu, sehingga terdeteksi sopir itu mulai dari pukul berapa menyetir bus. Peraturan durasi mengemudi itu mesti dipatuhi. Bila jam bekerja dilewati, langsung dihukum. Hukumannya tak main-main. Pengemudi bisa kena hukuman seumur hidup tak dapat menyetir bus.
“Karena itu berkaitan dengan nasib orang (lain),” tutur Muslich. “Kita kan tidak ada sistem yang seperti itu. Terutama untuk angkutan umum.”
Bagi Muslich, seharusnya sistem pengawasan terhadap pengemudi bus-bus yang sangat rawan terhadap keselamatan penumpang mulai dipikirkan pemerintah. Supaya tak terjadi lagi kecelakaan yang merenggut banyak nyawa, Muslich menjelaskan, sebaiknya perusahaan-perusahaan bus disertifikasi. Lalu, diperiksa perusahaan bus yang selama ini punya rekam jejak banyak mengalami kecelakaan. Pemiliknya pun harus bertanggung jawab.
“Di Indonesia kan edan-edanan. Ada perusahaan bus A, sudah habis nama baiknya di mata masyarakat, ganti nama dengan nama B, beroperasi lagi. Hancur-hancuran, ganti nama menjadi C,” kata dia.
“Ini kan banyak sekali yang dari waktu ke waktu, beberapa bus menjadi ‘pencabut nyawa’, tapi kan dibiarkan terus. Pemiliknya tetap bisa mempunyai perusahaan angkutan, keluarganya juga, sopir-sopirnya juga sopir yang sama gila itu.”
Jika pemilik tak punya kualifikasi, karakter, sikap, dan tanggung jawab yang baik, ia menyarankan agar dimasukkan dalam daftar hitam seterusnya. Ia pun menduga, faktor jalan tol juga menjadi penyumbang kecelakaan.
“Memangnya orang teknik enggak bisa salah? Ya bisa. Jangan-jangan tol di Cipali itu juga menyumbangkan unsur yang bisa menimbulkan kecelakaan,” kata Muslich.
Menurut Muslich, jika di lokasi terjadinya kecelakaan bus PO Handoyo itu kerap berulang, misalnya di tikungan, maka struktur jalannya harus dirombak. Kalau perlu ditutup.
“Kalau tidak tutup, misalnya di daerah itu dilakukan pembatasan kecepatan. Jadi harus adil,” ujar Muslich.