Menimbang KUA sebagai sentral layanan pernikahan semua agama
Kementerian Agama (Kemenag) tengah membahas segala langkah untuk menindaklanjuti wacana Kantor Urusan Agama (KUA) dapat melayani pencatatan pernikahan bagi semua pemeluk agama, bukan cuma umat Islam. Segala persiapan terkait mekanisme, aspek, dan penyesuaian, menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sedang didiskusikan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam Kemenag dan ditjen bimas agama lainnya.
“Kita ingin menjadikan KUA itu tempat untuk bisa digunakan oleh saudara-saudara kita dari semua agama untuk melakukan proses pernikahan karena KUA ini adalah etalase Kementerian Agama, kementerian untuk semua agama,” ujar Yaqut di Istana Kepresidenan, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Senin (26/2).
“Selama ini kan saudara-saudara kita non-Islam mencatatkan pernikahannya di catatan sipil. Kita ingin memberi kemudahan. Masa enggak boleh memberikan kemudahan kepada semua warga negara.”
Selama ini, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, pencatatan pernikahan warga negara Indonesia dibedakan sesuai agamanya. Pernikahan umat Islam dicatat KUA, sedangkan umat agama lain dicatat dinas kependudukan dan pencatatan sipil (disdukcapil).
Gagasan menerima pernikahan semua agama di KUA itu muncul agar pencatatan data pernikahan dan perceraian dapat lebih terintegrasi dengan baik. Wacana Menteri Agama pun mendapatkan berbagai respons.
Seorang warga Tangerang Selatan, Sonya, 49 tahun yang menikah pada 1995 misalnya, memilih berpindah agama ikut suaminya karena urusan administrasi yang ribet terkati pencatatan pernikahan.
“Karena saya kan Katolik, jadi harus ada pemberkatan di gereja, sedangkan suami saya juga punya aturannya sendiri kalau di agamanya (Islam),” ujar Sonya kepada Alinea.id, Sabtu (9/3).
Sonya mengatakan, wacana Kemenag yang bakal membuat KUA bisa dijadikan tempat menikah semua agama merupakan sesuatu yang baik. Ia menyebut, kakak-kakaknya yang non-Islam mengurus pendataan di disdukcapil.
“Berarti (gagasan Kemenag) ini bakal memudahkan sekali untuk orang-orang non (Islam) ya,” tutur Sonya.
Namun, Sonya khawatir jika kebijakan itu dijalankan bakal menghilangkan fungsi disdukcapil. Menurutnya, sebaiknya sebelum kebijakan itu benar-benar diterapkan, lebih baik memaksimalkan fungsi disdukcapil dan KUA agar dua lembaga itu bisa bekerja sama.
“Juga kalau memang (kebijakan) ini benar dilakukan, harus serentak di Indonesia, harus jelas implementasinya,” ujar dia.
“Takutnya berbeda-beda setiap daerah dan jangan sampai malah menjadi masalah di kemudian hari.”
Terpisah, pendeta gereja Jemaat Kristen Indonesia Mahanaim Community Church (JKI MCC) Gideon Makarawung mengatakan, wacana Kemenag adalah wujud dari toleransi beragama. “Di mana akhirnya pelayanan administrasi untuk semua agama bisa ada di satu gedung,” kata Gideon, Sabtu (9/3).
Menurut Gideon, nantinya KUA hanya mencatatkan pernikahan, bukan menikahkan. Maka, gereja harus tetap menjadi tempat pernikahan umat Kristen. Ada beberapa hal yang membuat Gideon sepakat dengan usulan Kemenag yang bakal menjadikan KUA sebagai tempat pelayanan semua agama, antara lain gagasan itu pasti sudah dipikirkan dengan matang, gagasan itu pasti demi kebaikan semua umat beragama, dan mempermudah pelayanan terhadap semua umat beragama.
Selama ini, kata Gideon, pencatatan pernikahan bagi umat Kristen dilakukan disdukcapil, yang hanya ada di kota/kabupaten. Sedangkan KUA ada di kecamatan. Maka, hal itu bakal mempermudah bagi warga non-Islam yang ingin mencatatkan pernikahannya. Kata Gideon, mereka tak perlu lagi jauh-jauh harus ke kota provinsi atau kabupaten untuk mendata.
“Usulan Menteri Agama tentang kemungkinan KUA bisa menjadi tempat pelayanan semua agama, saya pikir adalah salah satu terobosan. Saya sebagai rohaniawan Kristen sepakat,” kata dia.
“Catatannya adalah harus diperhatikan dengan baik, sehingga tidak ada multitafsir di kemudian hari. Harus diperhatikan juga mengenai kaidah semua agama supaya tidak ada akidah salah satu agama yang ditabrak.”
Dikutip dari situs Ditjen Bimas Buddha Kemenag, Dirjen Bimas Buddha Supriyadi mendukung rencana Menag terkait pelayanan administrasi keagamaan melalui KUA. Menurutnya, dalam upaya melakukan pelayanan, seperti pencatatan pernikahan kepada umat Buddha, perlu ada perubahan dari tata kelola maupun administrasi agar masyarakat lebih mudah mendapat layanan dari pemerintah.
Pengalaman menyulitkan pendataan pernikahan dialami pemuka agama Buddha di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Gunandar Tunahan. Dilansir dari situs Ditjen Bimas Buddha Kemenag, selama 10 tahun ia mengurus pernikahan dari proses pendaftaran ke disdukcapil hingga menerbitkan akta nikah melalui beberapa proses.
“Kurang lebih tiga kali kami mengurus dan koordinasi dengan dukcapil. Proses pertama menyerahkan dokumen administrasi dari calon mempelai sesuai persyaratan yang berlaku, kedua menyerahkan surat pemberkahan asli setelah mempelai melakukan pemberkahan di vihara, dan ketiga mengambil akta nikah, KTP, dan KK yang baru,” ujar Gunandar saat dihubungi humas Ditjen Bimas Buddha Kemenag, Rabu (28/2).
Proses pengurusan pernikahan memakan waktu dan tenaga karena jarak ke disdukcapil cukup jauh berada di kabupaten. Jika KUA digunakan sebagai sentral pelayanan keagamaan, maka proses bisa lebih cepat untuk melakukan koordinasi dalam mengurus pernikahan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menilai, gagasan yang disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terbilang progresif. Pihaknya mengapresiasi gagasan tersebut pada bagian tertentu, yakni melayani semua agama. Termasuk mencatatkan pernikahan. Namun, ia mengatakan, harus diingatkan pada bagian lainnya, yakni sebagai tempat pernikahan atau ritual agama.
“Itu bentuk intervensi negara yang terlalu jauh terhadap ajaran agama,” kata Halili, Jumat (8/3).
“Beberapa agama mengharuskan prosesi pernikahan di tempat ibadah, misal Kristen yang melakukan pemberkatan di gereja.”
Halili mengingatkan, resistensi bakal muncil jika gagasan Menteri Agama mencakup prosesi perkawinan sebagai ritus keagamaan. “Kalau soal pencatatan, begitulah seharusnya. Kalau bisa satu data, bagus,” ucap dia.
Lebih lanjut, Halili menambahkan, kalau KUA menjadi tempat pencatatan pernikaha seluruh agama, itu memang secara konstitusional harus dijamin. Dan, memang seharusnya dilakukan negara, serta bisa dikatakan bagian dari pemajuan toleransi.
Walau begitu, diakui Halili, hal itu tak mudah. Sebelum wacana itu direalisasikan, ada regulasi yang mesti disinkronkan karena inisiatif tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan seluruh ketentuan yang berlaku. Terutama Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, dan beberapa peraturan pemerintah pelaksananaanya.
“Seluruh agama harus diakomodasi, termasuk agama lokal. KUA mesti ada untuk semua, bukan hanya untuk mereka yang beragama Islam,” tutur Halili.
“Catatan pokoknya, KUA jangan jadi lokasi pernikahan berdasarkan agama-agama, tapi lebih sebagai agensi negara untuk memfasilitasi dan mencatatkan pernikahan seluruh agama.”