close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi keluarga./Foto rauschenberger/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi keluarga./Foto rauschenberger/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 27 Februari 2025 15:56

Menjadi orang tua membuat otak lebih muda

Riset Rutgers Health dan Universitas Yale menemukan, orang tua memiliki pola konektivitas otak yang menentang perubahan terkait usia. Efeknya menguat setiap menambah anak.
swipe

Apa benar menjadi orang tua membuat stres? Penelitian dari Rutgers Health dan Universitas Yale, yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the Natural Academy of Sciences (Januari, 2025), justru menemukan orang tua memiliki pola konektivitas otak yang secara langsung menentang perubahan terkait usia, dengan efek yang menguat setiap menambah anak.

Penelitian ini menganalisis pemindaian otak dan informasi keluarga dari UK Biobank—basis data biomedis dan sumber penelitian berskala besar—terhadap hampir 37.000 orang dewasa.

Analisis tersebut menunjukkan bagaimana berbagai wilayah otak berkomunikasi satu sama lain. Tim peneliti fokus pada area yang terlibat dalam gerakan, sensasi, dan hubungan sosial. Temuan itu berlaku untuk ibu dan ayah yang menunjukkan manfaat dari pengalaman mengasuh anak, bukan perubahan biologis akibat kehamilan.

“Daerah yang konektivitas fungsionalnya menurun seiring bertambahnya usia individu adalah daerah yang terkait dengan peningkatan konektivitas saat individu tersebut memiliki anak,” ujar salah seorang peneliti yang merupakan profesor madya psikiatri di Robert Wood Johnson Medical School, serta anggota fakultas inti di Rutgers Brain Health Institute dan Center for Advanced Human Brain Imaging Research, Avram Homes, dikutip dari situs Rutgers Health.

Para peneliti menemukan, orang tua dengan lebih banyak anak cenderung punya konektivitas yang lebih kuat di jaringan otak utama, terutama yang terlibat dalam gerakan dan sensasi. Jaringan yang sama ini biasanya menunjukkan konektivitas yang menurun seiring bertambahnya usia.

Temuan penelitian ini mematahkan asumsi memiliki anak dapat membuat stres dan ketegangan. Sebaliknya, penelitian tersebut malah menemukan, mengasuh anak bisa memberikan bentuk pengayaan lingkungan yang bermanfaat bagi kesehatan otak lewat peningkatan aktivitas fisik, interaksi sosial, dan stimulai kognitif.

Orang tua dalam penelitian ini juga menunjukkan tingkat hubungan sosial yang lebih tinggi, dengan kunjungan keluarga yang lebih sering dan jaringan sosial yang lebih besar.

Namun, peserta penelitian sebagian besar berasal dari Inggris. Maka dari itu, temuan mereka mungkin tidak berlaku untuk semua budaya dan struktur keluarga.

Setidaknya, penelitian tersebut melengkapi riset-riset terkait sebelumnya. Misalnya dalam penelitian yang diterbitkan jurnal Hormones and Behavior (2018) menemukan tingkat perubahan kadar testosteron dan kortisol seorang ayah baru saat bayinya lahir dapat memprediksi seberapa terlibatnya dia dengan anaknya di kemudian hari.

Penelitian lain yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (2014) menemukan, ayah yang terlibat mengasuh anak mengalami lebih banyak aktivasi di amigdala, area otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, naluri, dan respons.

Studi lainnya yang diterbitkan di jurnal Childhood Development (2013) juga menemukan, ibu yang mengasuh anaknya mengalami perubahan oksitosin yang sama seperti ibu gestasional—istilah untuk menggambarkan kondisi diabetes yang terjadi selama masa kehamilan—saat menjalin ikatan dengan bayinya.

Sementara, penelitian yang dipublikasi jurnal Scientific Reports (2020) menemukan, semakin banyak anak yang diasuh seseorang, semakin muda otak mereka. Bahkan, orang tua paruh baya punya waktu respons yang lebih cepat dan ingatan visual yang lebih baik ketimbang mereka yang tidak memiliki anak.

“Sains menunjukkan, terutama pengasuhan penuh kasih sayang dan langsung, menghabiskan waktu bersama seorang anak, memengaruhi kadar hormon ayah atau orang tua non-biologis, bentuk otak, anatomi otak, dan respons terhadap bayi,” kata jurnalis dan penulis Matrescense: On the Metamorphosis of Pregnancy, Childbirth and Motherhood, Lucy Jones kepada TIME.

Dikutip dari The Hufftington Post, menurut profesor psikologi di Universitas Southern California, Darby Saxbe—yang bersama koleganya sudah melakukan beberapa penelitian menggunakan peminadaian magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengukur perubahan pada otak pria yang menjadi ayah—volume otak pria mengecil, setelah mereka menjadi orang tua.

Hal itu ditandai dengan menyusutnya materi abu-abu, serupa dengan apa yang ditemukan pada perempuan yang menjadi ibu. Kehilangan volume otak bukan berarti hilangnya fungsi otak atau penurunan kognitif.

Namun, otak berubah untuk beradaptasi dengan situasi baru, yakni menjadi orang tua. Hilangnya materi abu-abu mungkin merupakan pemangkasan sinapsis atau koneksi di otak, yang menyederhanakan cara kerja otak dan membuatnya lebih efisien.

Dalam jurnal Cerebral Cortex (2024), Saxbe dan rekannya Magdalena Martinez-Garcia mengambil gambar otak 38 ayah yang baru pertama kali punya anak, saat pasangan mereka sedang hamil, dan saat bayi berusia enam bulan. Mereka meminta para ayah menjawab pertanyaan tentang keterlibatan dalam mengasuh anak dan kesejahteraan mereka sendiri pada tiga, enam, dan 12 bulan setelah kelahiran anak.

Hasilnya, mereka melihat hilangnya rata-rata 1% materi abu-abu para ayah. Saxbe dan koleganya menemukan, ayah yang lebih terlibat dalam pengasuhan anak menunjukkan perubahan otak yang lebih besar.

Ayah yang melaporkan ikatan yang lebih kuat dengan bayi—baik sebelum atau setelah kelahiran—berencana mengambil lebih banyak waktu libur dari pekerjaan, melaporkan lebih sedikit stres mengasuh anak atau menghabiskan lebih banyak waktu dengan bayi mereka mengalami kehilangan volume otak yang lebih besar.

Akan tetapi, tidak semua perubahan yang terkait dengan hilangnya volume otak bersifat positif. Saxbe dan koleganya menemukan, ayah yang kehilangan lebih banyak volume otak juga lebih mungkin melaporkan tanda-tanda kecemasan, depresi, tekanan psikologis, dan kurang tidur.

Karena para peneliti menemukan, hilangnya volume mendahului masalah kesehatan mental dan tidur ini, tampaknya perubahan otak menyebabkan masalah, bukan sebaliknya. Meski begitu, Saxbe memperingatkan untuk tidak terlalu banyak menafsirkan satu studi.

"Ini adalah penelitian awal dengan sampel kecil dari orang tua," kata Saxbe kepada The Hufftington Post.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan