Menjaga keberlanjutan air tanah di Jakarta
Untuk memanfaatkan air tanah buat kebutuhan sehari-hari, Heru, warga Meruya Utara, Jakarta Barat memakai sumur gali. Disinggung soal peraturan yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait pengurusan izin penggunaan air tanah, Heru tak setuju.
“Karena akan semakin menyusahkan rakyat kecil. Belum lagi harus mengurus izinnya yang bisa lama dan bertele-tele. Terus kalau sudah izin, tetapi tidak bisa, gimana? Saya jadi tidak dapat air, gitu?” kata Heri kepada Alinea, Rabu (1/11).
“Harusnya hal seperti ini tidak perlu diatur karena dampaknya akan menjadi negatif untuk masyarakat.”
Warga Meruya Utara lainnya, Novita, memakai sumur bor untuk mendapatkan air tanah. Sama seperti Heru, ia tak setuju aturan izin penggunaan air tanah.
“Kalau untuk izin, ini akan ribet ya. Karena harus ke sana harus ke sini, terus juga kalau dibatasi gitu bakalan pusing nanti,” tutur Novita, Rabu (1/11).
“Sekarang aja lagi kemarau kan, susah air. Belum lagi jika berbayar, untuk saya akan menambah pengeluaran lagi.”
Aturan izin penggunaan air tanah itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah. Beleid itu diteken pada 14 September 2023.
Aturan tersebut berlaku untuk individu, kelompok masyarakat, instansi pemerintah, badan hukum, dan lembaga sosial yang memanfaatkan air tanah dan sungai minimal 100.000 liter per bulan.
Selain untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan pertanian, izin juga berlaku untuk kegiatan wisata, olahraga air, kebutuhan penelitian, taman kota, rumah ibadah, dan fasilitas umum. Bantuan sumur bor yang berasal dari pemerintah, swasta, atau perseorangan juga harus mengantongi izin.
Pemohon mesti mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM lewat Kepala Badan Geologi ESDM, dengan melampirkan formulir permohonan yang terdiri dari identitas, lokasi pengeboran/penggalian, jangka waktu penggunaan air tanah, dan keterangan sumur bor/gali; bukti kepemilikan atau penguasaan tanah berupa akta jual beli, surat hak milik, surat hak guna bangunan, atau surat perjanjian sewa; dan surat pernyataan bermaterai yang menyatakan tanah tak dalam proses sengketa.
Lalu, izin atau dokumen lingkungan hidup dan/atau persetujuan lingkungan; surat pernyataan kesanggupan membuat sumur resapan; rencana jumlah debit pengambilan air tanah dalam meter kubik per hari; rencana peruntukan penggunaan air tanah; dan gambar konstruksi sumur bor/gali.
Agar kebutuhan air terjamin
Alinea.id, sudah berupaya mengonfirmasi kepada Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Muhammad Wafid untuk menanyakan masalah perizinan pengambilan air tanah. Namun, hingga artikel ini terbit, Wafid belum memberikan tanggapan.
Dalam siaran pers yang terbit pada Jumat (27/11), Wafid menyebut, pengaturan pemanfaatan air tanah diperlukan agar tak terjadi degradasi air tanah dengan imbangan air yang buruk.
“Pengambilan air tanah dengan cara pemompaan yang berlebihan atau melebihi serahan aman telah terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi dan lingkungan air tanah,” ujar Wafid dalam siaran pers itu.
Terpisah, menurut pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, kebijakan izin penggunaan air tanah harus lebih dijelaskan lagi terkait teknis pelaksanaannya di lapangan. Semisal, soal mekanisme pengawasan penggunaan air tanah dengan pompa secara berlebihan di setiap rumah tangga, indekos, hotel, mal, gedung perkantoran, sekolah, atau pasar.
Lalu, kata Nirwono, jika masyarakat mau beralih ke air dari layanan Perusahaan Air Minum (PAM), Kementerian ESDM harus bisa menjamin kualitas, kuantitas, dan keberlanjutannya. Kualitas yang dimaksud Nirwono soal air yang jernih dan tak berbau. Kuantitas dan keberlanjutan berhubungan dengan distribusi air yang aman sepanjang tahun dan tetap ada meski musim kemarau.
“Kementerian ESDM harus berani menjamin tiga hal tersebut (kualitas, kuantitas, keberlanjutan), sehingga warga bisa percaya kalau beralih ke penggunaan air PAM dan berhenti menggunakan pompa air tanah,” kata Nirwono, Kamis (2/11).
“Tanpa ada jaminan itu, masyarakat tidak bisa disalahkan untuk tetap mengandalkan pompa air tanah. Meskipun mereka tahu dapat berakibat mempercepat penurunan muka tanah di wilayah mereka.”
Di samping jaminan tadi, kata Nirwono, pemerintah pusat dan daerah wajib pula mengamankan atau mengkonservasi potensi sumber-sumber pasokan air bersih dari sungai, situ, danau, waduk, bendungan, laut bebas sampah dan limbah, atau embung.
Selain itu, perlu juga membangun kolam retensi untuk menampung air hujan, melakukan desalinasi air laut untuk cadangan air bersih, dan melarang perubahan peruntukan fungsi sumber-sumber mata air di hutan lindung dari serbuan bangunan villa, real estate, serta tempat wisata.
“Membenahi badan sungat, danau, embung, waduk, lalu merestorasi kawasan pesisir pantai bebas sampah dan limbah, juga menambah luas RTH (ruang terbuka hijau) sebagai daerah resapan air,” ucapnya.
Sedangkan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Muhammad Aminullah, akrab disapa Anca, bilang untuk saat ini kebijakan mengurus izin penggunaan air tanah untuk warga belum tepat dilakukan. Sebab, pengguna air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Jakarta masih sedikit.
“Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), pengguna air PDAM (di Jakarta) masih sekitar 30%, masih sangat minim,” ujar Anca, Rabu (1/11).
“PDAM belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta, sehingga air tanah menjadi alternatifnya. Ketika harus mengurus perizinan dan ternyata ditolak, mau dapat air dari mana?”
Dijelaskan Anca, pengambilan air tanah memang berdampak pada penurunan muka tanah. Akan tetapi, belum bisa dipastikan, pengambilan air tanah dangkal atau dalam yang berdampak siginifikan. Pengambilan air tanah dangkal biasanya dimanfaatkan masyarakat. Sedangkan air tanah dalam dilakukan sektor usaha.
“Itu dulu diselesaikan. Jangan-jangan pengambilan air tanah dalam yang berdampak signifikan pada penurunan muka tanah,” tuturnya.
“(Kalau faktanya begitu) berarti, sektor usaha yang harus dibatasi pengambilan air tanahnya.”
Aturan larangan bagi sektor usaha mengambil air tanah sebenarnya sudah dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah, yang mulai berlaku sejak 1 Agustus 2023. Beleid tersebut hanya berlaku untuk pemilik atau pengelola bangunan berlantai delapan ke atas di lokasi yang sudah terlayani pipa Perusahaan Air Minum (PAM).
Senada dengan Nirwono, Anca pun mengatakan, untuk menjamin keberlangsungan air tanah bagi warga, caranya dengan memulihkan lingkungan yang berdampak pada penurunan kualitas dan kuantitas air tanah. Misalnya memulihkan area resapan di Jakarta.
“Sampai saat ini, daya serap tanah di Jakarta hanya 10% karena banyaknya permukaan beton dan penggusuran RTH,” ujar Anca.
“Kemudian pembuatan IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Air Jakarta juga tercemar karena belum banyaknya IPAL, sehingga limbah domestik berpotensi besar mencemari tanah dan air tanah.”
Nirwono menegaskan, sebelum ada kewajiban perizinan penggunaan air tanah bagi warga, yang paling mendesak adalah pemerintah mampu menyediakan jaringan perpipaan air bersih yang memadai dahulu. Dengan demikian, warga mau beralih ke PAM. Tujuannya, bisa mengurangi, bahkan menghentikan pengambilan air tanah dengna pompa.
“Tanpa itu, regulasi (perizinan) tersebut tidak akan berguna dan akan diabaikan oleh masyarakat,” kata Nirwono.