Menolong musisi tradisional yang tersungkur akibat pandemi
Di ujung telepon, suara Sakur mendadak terdengar pilu saat menjelaskan kondisi ekonomi seniman karawitan di Desa Tambakromo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Ketua grup karawitan Noto Laras itu mengaku, selama pandemi Covid-19, beberapa anggotanya harus menyambung hidup menjadi buruh kasar hingga berdagang perabotan rumah tangga.
Kebijakan pembatasan pentas untuk mencegah penyebaran virus menjadi biang keladi pemasukan mereka nihil. Pelaksanaan protokol kesehatan di Blora tercantuk dalam Peraturan Bupati Blora Nomor 55 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Mencoba bertahan bermusik
Sejak berdiri pada 2006, menurut Sakut, baru kali ini anggota Noto Lara kesulitan mentas untuk mencari nafkah. Sebelum pandemi, Sakur dan koleganya selalu dapat panggilan manggung, bisa 20 kali dalam sebulan.
“Sudah menangis kami untuk seni,” ucap Sakur saat dihubungi Alinea.id, Rabu (2/6).
Jika pun ada panggilan pentas, sejumlah aturan protokol kesehatan, seperti larangan manggung pada malam hari, personel harus dari dalam kota, pembatasan jumlah personel dan penonton, harus dilakukan.
Menurut Sakur, pemberlakuan jam malam di wilayahnya sebagai konsekuensi pencegahan penularan Covid-19 mematikan seniman tradisional. Sebab, kata pria berusia 50 tahun itu, seni karawitan hanya cocok dipentaskan pada malam hari. Bantuan dari pemerintah daerah untuk musisi tradisional yang terdampak pandemi, seperti grup karawitan pimpinan Sakur, juga tak pernah ada.
“Belum pernah ada bantuan khusus untuk kesenian karawitan,” kata Sakur.
Orkes keroncong Kurmunadi asal Surabaya, Jawa Timur juga tersungkur karena pandemi. Koordinator orkes keroncong Kurmunadi, Sigit Aji Syafi’i menuturkan, selama pandemi kelompok musik tradisional ini mencari nafkah dengan cara mengamen.
“Misalnya di tempat wisata kuliner atau taman. Kita juga pernah disuruh main di kebun binatang Surabaya selama libur hari raya,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (2/6).
Sigit mengaku terpaksa mengambil cara itu lantaran bentuk acara yang bisa menjadi panggung grup keroncong tersebut dilarang imbas pandemi. Kalau pun diizinkan, ada beragam pembatasan.
Aneka pembatasan untuk mencegah penyebaran Covid-19, terdapat dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya. Apalagi, kata Sigit, sebagian besar panggilan manggung berasal dari acara di kafe atau pesta pernikahan.
“Kapan hari itu juga sudah ada even wedding, tetapi sedikit. Sistemnya agak diubah, player-nya enggak boleh terlalu banyak, jaga jarak, otomatis space-nya harus lebih besar,” tutur Sigit.
Bersama delapan anggotanya, Sigit mencoba medium lain, seperti YouTube atau Instagram untuk tetap eksis. Walakin, Sigit mengaku masih merasa kesulitan berkesenian melalui media sosial karena keterbatasan perangkat penunjang.
“Teknisnya agak rumit,” tutur dia.
Oleh karenanya, Sigit masih menaruh harapan pada pemerintah untuk melonggarkan ruang gerak aktivitas warga. Ia tak mempersoalkan pembatasan pengunjung dalam sebuah acara.
“Kami harap pemerintah kasih solusi untuk musisi tradisional,” tutur Sigit.
Siasat melalui media digital selama pandemi serius dilakukan orkes keroncong Midaleudami asal Bandung, Jawa Barat yang dibentuk pada 2015, beranggotakan alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kala pertama kali memanfaatkan media digital pada awal 2020, grup keroncong ini kerap mengaransemen ulang sejumlah lagu populer.
Menurut salah seorang anggota orkes keroncong Midaleudami, Stevi Utomo Subandrio, konten yang dipublikasikan melalui kanal YouTube dan Instagram bisa mengobati rindu para penggemarnya.
“Banyak banget yang nunggu-nunggu kita perform. Banyak yang antusias,” ucap Subandrio saat dihubungi, Rabu (2/6).
Bagi Subandrio, media sosial merupakan medium alternatif yang efektif dalam bermusik di tengah pandemi. Media sosial, kata dia, juga bisa membantu menjaga hubungan dengan penikmat musik dan silaturahmi dengan orkes keroncong lainnya.
“Mungkin kalau enggak ada media sosial, kita hanya bisa dikenal di kampus saja,” ucap Subandrio.
Mencari solusi agar bangkit
Sementara itu, Direktur Industri Musik, Seni Pertunjukan, dan Penerbitan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Amin Abdullah mengatakan, pihaknya sudah menawarkan sejumlah program bantuan kepada pelaku seni musik, termasuk musisi tradisional yang terdampak pandemi.
“Kami mempunyai program kreatif Ngamen dari Rumah. Inilah yang memberi rangsangan kepada musisi, termasuk musisi tradisional untuk bisa mengirimkan karyanya,” kata Amin saat dihubungi, Kamis (3/6).
“Tapi ada kurasi. Kalau dia masuk peringkat terbesar akan diberi stimulus.”
Program Ngamen dari Rumah baru sekali digelar pada Mei 2020. Dalam program ini, seluruh musisi bisa mendaftarkan diri dengan cara mengunggah video di kanal yang sudah disiapkan. Hanya, program ini harus melewati kurasi.
Menurut Amin, tak bisa dimungkiri masih ada musisi tradisional yang belum melek teknologi, sehingga tak ikut program ini.
“Kalau digitalisasi itu kan memang keniscayaan. Mau tidak mau harus dipelajari sendiri,” tuturnya.
Amin melanjutkan, pihaknya juga telah membuat wadah untuk menampung musisi berpentas di lingkungan Kemenparekraf, dengan nama Music Corner. Kegiatan ini dilakukan sejak Februari 2021. Setiap seminggu sekali, katanya, ada pertunjukan dari sejumlah musisi lokal di program ini.
“Selain memberi warna lain terhadap Gedung Sapta Pesona (Kantor Kemenparekraf), itu juga untuk memberi ruang pada musisi,” katanya.
Menurut musikus jazz sekaligus Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) Candra Darusman, media sosial sesungguhnya bisa menjadi alternatif musisi tradisional berkarya semasa pandemi. Namun, pemanfaatannya masih terbilang rendah.
“FESMI telah melakukan survei terhadap 1.300 responden musisi. Hasilnya, hanya 14% yang mulai mencoba bermusik melalui konsep daring,” ujar Candra saat dihubungi, Rabu (2/6).
“Sisanya belum. Karena mungkin enggak punya teknologinya atau belum tahu caranya.”
Candra menyarankan pemerintah berperan langsung membantu pelaku seni, terutama musisi tradisional, yang terdampak pandemi. “Kita hanya bisa mengimbau stimulus dari pemerintah itu harus bisa digelontorkan.”
Lebih lanjut, Candra mengatakan, pihaknya sudah berupaya keras membantu musisi terdampak pandemi. Salah satunya menjadi penyalur bantuan Rp600 juta dari pemerintah kepada musisi pada 2020 lalu.
Akan tetapi, ia mengakui bantuan sebesar itu tidak cukup. “Itu kecil sekali dibandingkan jumlah musisi yang ada, termasuk musisi tradisional,” katanya.
Oleh karenanya, ia menilai pemerintah perlu mencari solusi lain. Ia mengungkapkan ide barupa pemberian izin dan dana stimulus untuk menggelar pentas di ruang publik. Ia percaya cara tersebut akan dapat menghidupkan kembali geliat industri musik dalam masa sulit.
“Misalnya subsidi penonton. Kan ruang konser enggak boleh penuh, harus 50%. Kalau itu kan promotor rugi. Makanya ada stimulus agar kapasitas 50% ditanggung pemerintah,” ujar pendiri Jazz Goes to Campus itu.
Ia menyebut, progres lobi bantuan subsidi acara musik itu hampir mendapat lampu hijau dari pemerintah. Ia bilang, FESMI dan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) sudah diminta merancang rincian detail anggaran subsidi itu oleh pemerintah.
“Kita sudah bertemu dengan Menko Ekuin (Menteri Koordinator bidang Perekonomian) Pak Airlangga Hartarto. Kami diminta membuat proposal subsidi pemerintah untuk hidupkan konser itu,” ujarnya.
“Jadi, ini bukan omongan saja, tetapi ada keseriusan.”
Melalui program yang diwacanakan ini, Candra yakin musisi tradisional bisa terbantu. Pasalnya, bantuan stimulus pentas dari pemerintah akan terbuka bagi semua genre musik.
“Konser musik pop atau tradisional itu nanti bisa mengajukan permintaan subsidi, supaya ada faktor keadilan. Enggak hanya pop saja, tetapi juga konser tradisional perlu dibantu,” tuturnya.