Idiom “buku adalah jendela dunia” punya makna yang dalam. Selain sebagai sumber informasi, hiburan, dan pengetahuan, buku bermanfaat lebih bagi kesehatan mental.
Dalam kajian ilmu kesehatan, membaca buku diyakini juga mendukung proses pembentukan kesadaran psikologis. Sebab, buku merupakan sarana atau medium yang mendorong pertumbuhan jiwa yang sehat.
Oktarizal Drianus dalam artikelnya “Teknik Konseling Biblioterapi: Menjadikan Buku sebagai Sarana Transformasi Diri” menguraikan, metode penyembuhan psikologis melalui buku disebut dengan bibliotherapy.
Oktarizal menuliskan, biblioterapi umumnya dikenal sebagai bentuk aktivitas pembacaan yang bertujuan untuk membantu seorang menjadi lebih baik.
Ide penyembuhan melalui buku dikenal dalam sejak masa Yunani Kuno. Kata biblioterapi berakar dari bahasa Yunani, yaitu biblus (buku) dan therapy (merujuk kepada bantuan psikologis).
Bahkan, tulis Oktarizal, Jauh sebelumnya, Aristoteles sudah mendendangkan seruan healing through book.
Selanjutnya, Tzipora Schechtman dalam buku Treating Child and Adolescent Aggression through Bibliotherapy (2009) mencatat, penggunaan terma bibliotherapy dimulai pada awal abad ke-20.
Istilah ini kemudian meluas pada masa Perang Dunia I dan II, manakala banyak tentara mengalami gejala gangguan pos-traumatik. Dapat disimpulkan, biblioterapi merupakan metode penggunaan buku untuk membantu orang dalam memecahkan masalahnya.
Materi dalam metode biblioterapi dapat berupa segala jenis dan genre buku, antara lain: biografi dan otobiografi, novel, puisi, kumpulan cerpen, juga buku non-fiksi, psikologi dan konseling, filsafat, dan buku swabantu.
Selain itu, medium yang juga dapat digunakan dalam biblioterapi ialah video edukatif dan interaktif dan film.
Dalam kajian di buku tersebut, Schechtman membedakan dua bidang kajian biblioterapi. Hal ini mengacu pada dua jenis umum bacaan, yaitu buku fiksi dan nonfiksi.
Pertama, cognitive bibliotherapy yang menempatkan proses belajar sebagai mekanisme utama dalam perubahan. Hal ini mengandaikan tulisan-tulisan nonfiksi sebagai pilihan utama untuk memandu orang dalam memecahkan masalahnya.
Kedua, affective bibliotherapy berasal dari tradisi psikodinamika yang menggunakan materi tulisan fiksi untuk membuka selubung pikiran, perasaan, dan pengalaman yang tertekan dan mengendap.
Sementara itu, dalam analisis psikolog Elizabeth Santosa, biblioterapi merupakan metode pendukung untuk mempercepat pemulihan batin pasien. Dengan memberikan sejumlah tugas untuk membaca beberapa buku tertentu kepada pasien, Elizabeth melihat manfaat biblioterapi dalam membantu penyembuhan.
“Terutama untuk permasalahan yang tidak mampu diselesaikan dengan kognitif belaka, seperti perasaan setelah ditinggal orang terdekat. Dengan memberi saran bacaan, kita memberikan motivasi yang menyejukkan hati dan menenangkan pikiran,” ucapnya.
Melalui biblioterapi, kata Elizabeth, resiliensi pasien dapat meningkat sehingga lebih berdaya untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Sebagai metode yang membantu pemulihan psikis, biblioterapi tidak hanya dijalankan oleh psikolog, tapi juga dapat diterapkan oleh dokter dan pakar kesehatan lain.
Dalam menjalankan konseling, Elizabeth menggunakan biblioterapi untuk mendukung proses pemulihan bagi pasiennya. Ini terutama lantaran waktu pertemuan untuk berkonsultasi dengan pasien cenderung terbatas, sekira dua kali seminggu dalam durasi satu hingga dua jam sekali.
“Saya berikan saran buku atau artikel, saya masukkan bahan ajar. Lalu saya akan bahas kupas tuntas bersama pasien. Nanti dilihat sejauh mana itu mendukung untuk membuka dan membantu mendapatkan solusi masalah yang dihadapinya,” tuturnya.
Biblioterapi memiliki sedikitnya tiga fungsi. Elizabeth menuturkan, biblioterapi menstimulus jalan pikiran dengan cara mendistraksi atau mengalihkan perhatian, memodifikasi pemahaman, dan memberikan wawasan baru.
Elizabeth menjelaskan, praktik biblioterapi dijalankan dengan desain khusus. Ini terutama diterapkan dengan pilihan rekomendasi jenis buku tertentu yang disesuaikan karakter dan usia klien atau pasien. Dia mengatakan, terapi membaca buku ini umumnya diterapkan untuk pasien usia remaja hingga dewasa muda.
“Kita juga harus mengenal minat baca pasien supaya efektif. Bisa dengan memberikan saran buku yang di dalamnya ada lembar kerja berupa halaman kosong. Buku-buku itu cocok buat pasien dari sekolah SMP atau SMA,” ucapnya.