close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah calon pelamar kerja melamar pekerjaan pada Job Fair di Gedung Sukapura, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (19/10/2018). Foto Antara/Adeng Bustomi.
icon caption
Sejumlah calon pelamar kerja melamar pekerjaan pada Job Fair di Gedung Sukapura, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (19/10/2018). Foto Antara/Adeng Bustomi.
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 13 Februari 2024 11:13

Menyikapi tingginya angka pengangguran generasi Z

Berdasarkan sakernas BPS pada Agustus 2023, generasi Z usia 15-24 tahun menyumbang jumlah pengangguran terbuka tertinggi.
swipe

Muhammad Bayu Adiprakasa, 25 tahun, mengaku sudah menganggur selama setahun. Pria lulusan ilmu komunikasi di sebuah universitas swasta di Jakarta itu masih berusaha mencari pekerjaan lewat jobfair atau bursa kerja, media sosial, atau aplikasi pencari kerja. Namun, hingga kini belum ada perusahaan yang menerimanya bekerja.

“Pemerintah belum cukup sih untuk menanggulangi masalah lapangan pekerjaan ini karena kayaknya (pengangguran) malah naik tiap tahun,” kata Bayu kepada Alinea.id, Senin (12/2).

Sementara Natalia Michelle, 24 tahun, mengaku sudah menganggur sejak 2022. Lulusan prodi hubungan internasional dari kampus swasta di Jakarta itu mencari pekerjaan lewat aplikasi pencari kerja dan media sosial. Ia pun menerangkan hambatannya mencari pekerjaan selama ini.

“Standar minimal (pengalaman) bekerja, kayak dua tahun gitu. Terus juga lokasi penempatan sama bayaran yang enggak sesuai,” ujar Natalia, Senin (12/2).

“Kayak dulu, waktu kerja di bagian media sosial juga kerja balas-balas chat, terus bantu packing produk, bantu live shopping di TikTok gitu, yang sebenarnya sudah di luar jobdesk pas lamar (kerja) dulu.”

Generasi Z—kelahiran 1997-2012—seperti Bayu dan Natalia, berdasarkan survei angkatan kerja nasional (sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2023 menyumbang angka tingkat penangguran terbuka tertinggi—persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja—dibandingkan kelompok usia yang lebih tua. Jumlahnya mencapai 19,40%. Dalam periode tersebut, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta dari total angkatan kerja sebanyak 147,71 juta orang.

Menurut pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, dari data BPS yang banyak menganggur berasal dari golongan pendidikan SMA dan SMK, sekitar 18%. Lalu, yang baru lulus dari perguruan tinggi, sekitar 10%. Ia mengatakan, tingginya angka pengangguran generasi Z itu disebabkan mereka langsung ingin masuk ke dunia kerja, tanpa ada pengalaman.

“Sedangkan biasanya syarat perusahaan itu, terutama perusahaan besar swasta, yang dipentingkan pengalaman,” ujar Tadjuddin, Senin (12/2).

“Itu kan (perusahaan) harus men-training lagi. Ada perusahaan yang enggap sanggup (melakukan pelatihan), maunya yang siap pakai (bekerja), gitu.”

Tadjuddin menjelaskan, jika pengangguran dari kelompok muda tak ada kepastian dan diabaikan bisa menyebabkan munculnya kriminalitas. “Karena anak-anak ini tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan, mereka akan lari kepada narkoba atau tawuran,” ujar dia.

Ia menekankan, supaya mendapatkan kesempatan kerja yang lebih besar, generasi Z mesti menambah kemampuan secara spesifik. Semisal kemampuan berbahasa asing. Pemerintah, kata dia, seharusnya juga membuka pusat-pusat pelatihan kerja bagi generasi Z. Pelatihan tersebut bisa berupa pengetahuan digital, pemasaran, atau bisnis.

“Itu sebenarnya yang diinginkan pasar kerja,” kata Tadjuddin.

“Jadi, setelah menyelesaikan sekolahnya, tidak hanya mengandalkan ilmu dan pengetahuannya saja yang mereka dapatkan di sekolah, tetapi harus ada plusnya.”

Terpisah, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Krisnadwipayana, Payaman Simanjuntak menambahkan, jumlah pengangguran pada Agustus 2023 termasuk sekitar 800.000 orang lulusan perguruan tinggi. Namun, ia melihat, perekonomian dan dunia bisnis di Indonesia sejak akhir 2023 hingga awal 2024 berkembang cukup baik, sehingga diperkirakan dapat menyerap pertambahan angkatan kerja.

“Kegiatan menjelang pemilu ini juga telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja secara signifikan,” tutur Payaman, Senin (12/2).

“Kita harapkan pemilu ini berjalan damai, sehingga dunia bisnis tidak terganggu.”

Di sisi lain, disebut Payaman, pemerintah juga merencanakan merekrut dua juta lebih pegawai negeri sipil (PNS) dalam tahun 2024. “Artinya, semua lulusan perguruan tinggi—sarjana dan diploma—serta sebagian lulusan SMK akan terserap,” ujar Payaman.

“Dengan demikian, dalam tahun 2024 ini, masalah pengangguran akan menurun.”

Lebih lanjut, Payaman mengatakan, tahun 2025 dan seterusnya sangat tergantung pada siapa yang akan terpilih dalam pemilu dan program pemerintah yang akan datang.

“Paslon (pasangan capres-cawapres) 2 (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka) menjanjikan membuka 19 juta kesempatan kerja. Paslon 3 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD) menjanjikan 17 juta kesempatan kerja dalam lima tahun. Paslon 1 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) belum menyebut angka,” tutur Payaman.

Terpenting, ujar Payaman, pemerintah yang akan datang perlu membuat komitmen penanggulangan pengangguran sebagai prioritas utama. Menurunkannya hingga di bawah 3%.

“Untuk itu pemerintah yang akan datang harus fokus mengembangkan usaha mandiri dan usaha kecil melalui kewirausahaan,” ujar dia.

“Komitmen seperti ini juga sekaligus dipadukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan di bawah 4%.”

img
Stephanus Aria
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan