Menyoal kekerasan di media sosial
Setiap 2 Oktober, dunia memperingati Hari Tanpa Kekerasan Internasional. Keputusan ini ditetapkan pada 15 Juni 2007 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tanggal tersebut dipilih, bertepatan dengan hari kelahiran bapak bangsa dan pejuang spiritual India Mohandas Karamchand Gandhi, atau dikenal dengan Mahatma Gandhi. Gandhi dikenal dunia menerapkan perjuangan tanpa kekerasan atau ahimsa dalam perjuangan melawan kolonialisme Inggris.
Saat ini, kekerasan barangkali tak dilakukan kaum penjajah. Kekerasan juga tak melulu di dunia nyata. Di era digital, kekerasan masuk ke ranah media sosial.
Kekerasan zaman now
Pengamat media sosial Ismail Fahmi mengatakan, menjelang Pemilihan Umum 2019 seperti saat ini, politikus di media sosial banyak yang saling merundung (bullying). Hal itu, kata Ismail, sudah makanan sehari-hari mereka.
Ismail melihat, perundungan merupakan bagian dari kekerasan di era digital. Dalam ranah politik, Ismail mencontohkan saling merundung antara kubu yang disebut “cebong” dan “kampret.”
“Ketika mereka menggunakan kata-kata yang sifatnya nge-bully, itu kekerasan. Menghina pakaian, keturunan, keluarganya, dan suaranya, itu kekerasan,” kata Ismail kepada saya, Selasa (2/10).
Sementara itu, psikolog Ayoe Sutomo memandang, bentuk kekerasan di media sosial banyak macamnya. Selain perundungan, pembunuhan karakter melalui hoaks dan menjadi penyebar informasi salah yang menyerang orang, Ayoe melihat hal itu termasuk bentuk kekerasan di media sosial.
Ismail melihat, perundungan politik, biasanya terjadi ketika mereka berkomentar di grup WhatsApp, Twitter, atau Facebook. Lantas, ini semakin diperparah saat buzzer-buzzer politik kedua kubu mengarahkan mereka, agar terjadi diskusi, yang ujungnya saling ejek.
Eksesnya, lanjut Ismail, macam-macam. Saat mereka di lapangan, kebiasaan saling menghina menjadi terbawa. Persekusi menjadi hal yang biasa.
Sejumlah kasus menyoal persekusi pun pernah terjadi, berawal dari saling ejek atau dianggap menghina kelompok tertentu di media sosial. Misalnya saja, kasus bocah berusia 15 tahun di Cipinang Muara, Jakarta Timur, yang dipersekusi sejumlah orang dari ormas tertentu, setelah dia mengunggah tentang Rizieq Shihab di media sosial pada Mei 2017 lalu.
“Saat ada pernyataan-pernyataan kontroversial, menyentuh identitas kelompok, bisa menimbulkan gerakan di lapangan,” kata Ismail.
Pelecehan di media sosial, menurut Ayoe termasuk pula wujud kekerasan di ranah digital. Pelakunya, kata Ayoe, berniat merendahkan, membuat orang tidak nyaman, dan melukai seseorang secara psikologis.
“Sekarang banyak sekali terjadi. Orang banyak yang menganggapnya sesuatu yang remeh,” ujar Ayoe.
Dampak kekerasan di media sosial
Menurut Ismail, bila saling merundung diteruskan dan dibiarkan, lama-lama menjadi hal yang biasa saja, dampaknya akan buruk. Akhirnya, kata dia, tak ada respek, tak ada saling dukung.
“Bangsa yang saling gotong royong sudah tak ada. Hancur,” kata Ismail.
Sedangkan, Ayoe cukup miris melihat kekerasan di media sosial. Sebab, menurutnya, efek yang ditimbulkan terjadi di mana saja, kapan saja, bahkan di tempat teraman sekalipun.
Ayoe membandingkan perbedaan antara merundung di dunia nyata dan maya. Menurut psikolog lulusan Universitas Tarumanagara ini, kasus perundungan di dunia nyata dilakukan secara terbuka, pelaku dan korban saling bertemu. Biasanya terjadi di tempat-tempat di luar zona paling aman, seperti di sekolah atau tempat les.
“Tapi, kalau di media sosial, bisa terjadi di mana saja, kapan saja, bahkan di tempat teraman sekalipun,” katanya.
Ayoe mengatakan, seorang remaja korban perundungan yang aktif menggunakan media sosial dampaknya lebih berat dan sulit mengatasinya. Dia akan mengalami perundungan di tempat paling aman, seperti kamar tidurnya, selama masih bisa mengakses media sosial.
Dampak psikologisnya, kata Ayoe, sangat besar dan menghantui korban. Penyebarannya pun, menurut Ayoe, lebih cepat di media sosial ketimbang perundungan di dunia nyata.
“Dalam hitungan detik, sekali klik share, semua orang bakal tahu. Rasanya terbebaninya pun akan semakin besar,” kata dia.
Untuk mengatasi kekerasan di media sosial, Ismail menyarankan, harus ada orang yang mengingatkan ketika ada seseorang melakukan kekerasan lewat tulisan dan bersifat provokasi.
“Kita bisa menghentikan dengan mengingatkan dia, yang dilakukan salah,” ujarnya.
Meski demikian, Ismail menuturkan, aturan hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tetap diperlukan. Namun, melihat banyaknya kasus kekerasan dalam media sosial, Ismail tak merasa UU ITE efektif.
“Ini (UU ITE) kayak semacam pagar saja. Binatang itu liar, kita jaga saja,” katanya.
Ismail mengatakan, perundungan, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial akan tetap ada, walau pemerintah membuat aturan hukum terkait hal itu.
“Ini kayak semacam kultur media sosial,” kata dia.
Barangkali, memang tak bisa menghentikan secara total kekerasan di media sosial. Tapi, setidaknya, kita bisa melakukan hal-hal baik, dengan cara mengingatkan kepada para pelaku kekerasan di media sosial, atau menyebar informasi-informasi bermanfaat, tanpa menyakiti pengguna media sosial lainnya.
Seperti kata Gandhi: “Tidak ada yang abadi dapat dibangun di atas kekerasan…”