Pramoedya Ananta Toer, sosok sastrawan dengan segala cerita hidupnya yang penuh sejarah. Sebuah pameran dengan judul "Namaku Pram" yang digelar Dia Lo Gue Artspace kembali mengingatkan akan sosok sastrawan yang biasa dipanggil Pram itu.
Rentetan cerita Pram semasa hidupnya, karya-karyanya dan arsip keluarga tentang Pram, dipamerkan dengan iringan alunan nada yang menciptakan suasana tenang. Pameran yang telah dilakukan selama sebulan itu sudah dihadiri pengunjung lebih dari 5.500 orang.
"Antusias berasal dari kalangan muda. Sekitar 80% mengetahui tentang Pram, 20% lainnya akhirnya tahu Pram. Ada juga Pramis garis keras," kata salah satu volunteer di pameran tersebut bernama Indah, saat ditemui Alinea.
Dinding bertuliskan momentum dari tahun ke tahun kehidupan Pram menjadi karya pembuka saat memasuki ruang pameran. Beberapa arsip yang dipinjamkan keluarga seperti surat dari anak-anak Pram semasa diasingkan, menjadi sisi lain dari pameran yang mencuri perhatian.
"Kalau karya hanya bukunya yang diterjemahkan dalam 42 bahasa, selebihnya dokumen dan arsip. Totalnya sekitar 2% merupakan milik keluarga," jelas Indah.
Semasa hidupnya, penjara menjadi tempat yang akrab dengan seorang Pram. Adanya keterlibatan Pram dalam pasukan pejuang kemerdekaan di zaman Belanda, pembelaan Pram terhadap kalangan Tionghoa melalui bukunya Hoa Kiau di masa pemerintahan orde lama, dan dituduh sebagai bagian dari G30SPKI menjadi alasan Pram menghabiskan sebagian hidupnya di penjara.
Diasingkannya Pram di Pulau Buru karena tuduhan terlibat dalam G30SPKI tahun 1969 adalah kisah terakhir masa kelamnya sekaligus awal dari karya-karyanya. Anak-anak Pram, terutama Astuti Ananta Toer tak pernah lelah mengirimkan surat kepada ayahnya yang jauh dalam pengasingan.
Saat itu, perempuan yang dipanggil Titi masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia selalu menceritakan apa saja yang terjadi dalam kesehariannya, cerita-ceritanya di sekolah, dan kerinduannya terhadap sosok Papi yang selalu ditunggunya pulang. Meski waktu pengiriman surat ke Pulau Buru cukup lama, namun ia tidak berhenti menyapa ayahnya lewat surat.
Semasa pengasingan pun Pram menulis karya-karyanya yang pada akhirnya mendapat perhatian dunia. Tetralogi Pulau Buru, sebuah karya Pram yang menceritakan kisah seorang jurnalis pribumi. Sebelum menerbitkan empat seri buku di dalam tetralogi tersebut, Pram menceritakan kisah itu pada teman-temannya di pengasingan.
Karya-karya Pram kemudian dilarang oleh Kejaksaan Agung. Namun, hal itu tidak menghentikan karya-karya Pram dikenal dunia. Bahkan, tak lekang oleh waktu dan masih dikagumi banyak orang hingga saat ini.
Pameran itu membuktikan sampai saat ini sosok Pram masih melekat bagi banyak orang, bahkan kalangan muda saat ini yang digadang-gadang minim minat membacanya. Terbukti 780 pengunjung per harinya datang ke pameran tersebut dari mayoritas kalangan muda di berbagai daerah, bahkan dari luar negeri.
"Saya sendiri sebagai penggemar Pram, senang ada pameran ini. Orang-orang jadi makin tahu sosok Pram dan membuat dia bukan hanya sebagai sastrawan tapi juga sejarawan. Dia bukan hanya sastrawan, tapi juga peneliti," ujar salah satu pengunjung bernama Patricia.