close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Filsuf Simone de Beauvoir dan Jean Paul Sartre yang memilih tak menikah seumur hidupnya, keduanya dikuburkan dalam satu liang lahat di Perancis./ Telegraph
icon caption
Filsuf Simone de Beauvoir dan Jean Paul Sartre yang memilih tak menikah seumur hidupnya, keduanya dikuburkan dalam satu liang lahat di Perancis./ Telegraph
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 20 Juli 2018 16:37

Yang mati tanpa menikah

Sartre dan Beauvoir percaya cinta mereka tak butuh lembaga pernikahan. Mereka menabrak norma sosial dan stigma sebagai wujud perlawanan.
swipe

Simone de Beauvoir tak pernah menikah seumur hidupnya. Pilihan filsuf Prancis ini untuk hidup tanpa menikah tak serta merta membuatnya kekurangan kasih sayang. Simone memilih menjalani hubungan open relationship dengan sesama filsuf, Jean Paul Sartre.

Hubungan Sartre dan Beauvoir memang bukanlah rahasia. Mereka dikenal publik sebagai pasangan dengan hidup yang independen, sering bertemu di café, di mana mereka menulis buku masing-masing, dan melihat teman mereka dari meja yang terpisah.

Beauvoir bertemu dengan Sartre pada 1929 ketika mereka berdua belajar untuk agregration, ujian kompetensi karir di bidang filsafat dalam sistem sekolah Prancis. Beauvoir saat itu memiliki seorang teman dekat, Rene Maheu. Maheulah yang memberi nama julukan le Castor (the beaver atau berang-berang) kepada Beauvoir.

Saat itulah, Beauvoir jatuh cinta pada Sartre, pemuda yang telah kehilangan hampir seluruh penglihatan kanannya. Sartre selalu mengenakan pakaian yang kebesaran, ia tak mempunyai cita rasa terhadap fesyen sama sekali, kontras dengan gaya Beauvoir. Kulit dan giginya menjadi cermin ketidakacuhan Sartre pada dirinya.

Sartre benar-benar tak memedulikan tubuhnya. Namun, di balik ketakacuhan akan penampilan fisiknya, Sartre adalah laki-laki yang pintar, murah hati, bergairah, ambisius, dan sangat lucu. Ia gemar minum-minum dan berbicara hingga larut, sama seperti Beauvoir.

Sartre dan Beauvoir percaya jika cinta mereka tak membutuhkan perwujudan lembaga pernikahan. Sartre pun membuat “perjanjian”: mereka boleh memiliki kekasih lain, tetapi mereka harus saling menceritakan segalanya secara jujur.

Beauvoir sendiri pernah mengatakan jika sebanyak apapun buku yang ditulisnya, penghargaan yang diterimanya, atau sebesar apapun pengaruhnya dalam gerakan perempuan, pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah menjalin hubungan dengan Sartre.

Menjalani open relationship seperti Sartre dan Beauvoir bukannya berjalan tanpa masalah. Hazel Rowley, penulis buku "Tête-à-tête" yang mengisahkan perjalanan Sartre dan Beauvoir mengatakan, Beauvoir pernah menangis di café karena Sartre.

Apa yang dilakukan oleh Beauvoir dan Sartre memang monumental. Ada norma sosial yang dilabrak kedua orang tersebut. Memilih untuk menjalani open relationship di masyarakat yang menghargai lembaga pernikahan dan monogami, tentu merupakan sebuah bentuk perlawanan dari stigma dan norma sosial yang ada.

Pilihan untuk menjalani open relationship bisa menjadi jawaban untuk pasangan yang melihat tiada lagi kemungkinan untuk menjalani hubungan monogami.

Selain Beauvoir dan Sartre, filsuf asal Jerman Friedrich Engels juga memutuskan untuk hidup tanpa menikah. Walaupun pada akhirnya ia menikahi Lizzy Burns beberapa jam sebelum Lizzy meninggal, Engels bukanlah seseorang yang percaya akan lembaga pernikahan.

Engels pada mulanya menjalin hubungan dengan Mary Burns, saudara Lizzy Burns, yang merupakan wanita kelas pekerja yang radikal. Mereka berdua tidak pernah menikah dan disatukan dengan ketidakpercayaan akan lembaga pernikahan. Engels melihat lembaga pernikahan hanya bentuk penindasan kelas yang dilakukan oleh gereja dan negara.

Dalam tulisannya, Engels bahkan mengandaikan keluarga modern tak ubahnya seperti laku perbudakan, dengan istri diandaikannya sebagai kaum proletar dan suami sebagai kaum borjuis.

Dari orang-orang yang masih hidup, ada nama Margaret Atwood dan Graeme Gibson. Keduanya adalah novelis asal Kanada yang memilih untuk tidak menikah. Sebelum bertemu dengan Gibson, Atwood pernah menikah dengan Jim Polk. Pernikahannya dengan Jim Polk tidak bertahan lama.

Medio 1970-an, Atwood bertemu dengan Gibson yang juga seorang novelis dan pernah menikah. Mereka berdua menjalin hubungan dan memilih untuk tidak menikah. Sikap Atwood pada lembaga pernikahan sendiri dituangkan dengan jelas dalam puisinya, "Habitation".

Dalam puisinya itu Atwood menyebut, "Pernikahan bukanlah sebuah rumah, atau bahkan sebuah tenda." Pernikahan, menurut Atwood dalam puisinya, membutuhkan banyak usaha untuk mempertahankannya. Pernikahan menuntun manusia berjalan ke tiga tepian: tepi hutan, tepi gurun, dan tepi sungai es.

Pilihan melajang

Seorang teman pernah berkicau di Twitter miliknya, “Ma, bagaimana jika di keluarga besar kita ada yang tidak menikah karena pilihan hidup?” tanyanya pada ibunya. Jawaban ibunya hanyalah mengelus-elus dada sambil mengucapkan, “Amit-amit jabang bayi.”

Pilihan untuk melajang seumur hidup bukanlah pilihan hidup yang populer di Indonesia. Apalagi melihat tren kekinian di media sosial, banyak akun-akun yang mengimbau untuk segera menikah.

Ilustrasi foto menikah. Foto Pixabay.

Di Indonesia, ketika seseorang memasuki usia di atas 25 tahun, pertanyaan seperti ‘kapan menikah’ akan sering terlontar dari mulut orang-orang. Pertanyaan tersebut biasanya diiringi oleh pandangan iba dari si pelontar pertanyaan.

Padahal, melihat data dari Dirjen Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung pada periode 2014-2016 perceraian di Indonesia memiliki tren yang meningkat. Dari 344.237 perceraian pada 2014, naik menjadi 365.633 perceraian di tahun 2016. Rata-rata angka perceraian naik 3% per tahunnya.

Hal ini juga tercatat dalam situs BKKBN yang mencatat, ada lebih dari 200.000 kasus perceraian di Indonesia setiap tahun, dan angka perceraian tersebut telah mencapai rekor tertinggi se-Asia Pasifik.

Hidup melajang ternyata tak berakibat buruk-buruk amat. Banyak pemikir dan ilmuwan besar yang memilih melajang seumur hidupnya untuk mengabdi pada pengetahuan. Terdapat nama-nama seperti Isaac Newton, Søren Kierkegaard, Immanuel Kant, Henry David Thoreau, dan masih banyak lagi.

Søren Kierkegaard pada 1840 melamar kekasihnya Regine Olsen, tetapi, setahun setelahnya ia membatalkan lamaran tersebut. Alasannya, ia khawatir akan sifat melankolis yang akan menuntunnya menjadi suami yang tidak baik.

Sementara itu, Henry David Thoreau, seorang penulis kebangsaan Amerika juga tak pernah menikah dalam hidupnya. Thoreau yang tenar karena bukunya, Walden, dikenal sebagai seseorang yang gemar menyendiri.

Thoreau membangun sebuah kabin di tepi danau Walden pada 1845 di tanah milik sahabat akrabnya, Ralph Waldo Emerson. Di kabin tersebut ia tinggal selama dua tahun, dua bulan, dan dua hari. Pengalamannya menyendiri di kabin tersebut melahirkan mahakaryanya, "Walden".

Thoreau sendiri tak pernah menikah. Ada yang berpendapat jika Thoreau adalah seorang heteroseksual, aseksual, atau homoseksual. Orientasi seksualnya memang tidak pernah diketahui secara jelas.

Namun, yang pasti selama ia menyendiri, ia tak pernah menderita karena kesepian. Dari tahun-tahun penuh kesendirian itu ia menemukan inspirasi tiada batas, mulai dari soal masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Tulisan-tulisannya telah menginspirasi sejumlah tokoh seperti penulis besar Rusia Leo Tolstoy, aktivis Martin Luther King, penulis Ernest Hemingway, dan masih banyak lagi.

Selain Kierkegaard, Thoreau, dan pemikir-pemikir barat, banyak juga ulama-ulama, para sufi, dan pemikir Islam yang memilih melajang seumur hidupnya. Alasannya bermacam-macam, mulai dari disibukkan karena menimba ilmu, menyebarkan ajarannya, hingga karena kecintaan mereka pada sang pencipta.

Barangkali, nama Rabiatul Adawiyah adalah nama yang paling populer untuk memberikan contoh bagaimana seorang sufi wanita memutuskan untuk tidak menikah. Banyak laki-laki yang hendak meminang perawan suci dari Basra tersebut. Namun, ia lebih memilih menyendiri agar tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi dirinya beribadah kepada Tuhan.

Rabiah berpikir, ketika ia menerima lamaran dari pria untuk menikah, ia takut tidak akan bersikap adil kepada suami dan anak-anaknya kelak. Ia takut tak akan mampu membagi perhatiannya pada sang pencipta dan suami serta anak-anaknya.

Bagi Rabiah, akad nikah merupakan hak pemilik alam semesta, karena itu haruslah dimintakan dari Tuhan, bukan kepada dirinya.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan