Siang itu, di jalanan dekat Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, mobil dan sepeda motor hilir-mudik dari arah terminal atau Bambu Apus. Di pinggiran jalan, ramai penjaja jasa penukaran uang baru. Beberapa kendaraan menepi untuk bertransaksi.
Porman, 49 tahun, mulai menggelar lapak jasa penukaran uang baru di pinggir jalan tak jauh dari Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur sejak Senin (17/3).
“Biasanya sampai malam takbiran. Tapi, kalau masih ada sisa, lanjut sampai Lebaran,” kata Porman kepada Alinea.id, Rabu (26/3).
Menjelang hari raya Idulfitri, jasa penukaran uang baru di pinggir jalan semakin ramai. Warga membutuhkan uang pecahan Rp2.000 hingga Rp100.000 untuk dibagikan saat silaturahmi di hari Lebaran.
Dari kebutuhan itu, muncul profesi yang kerap menjamur menjelang Idulfitri, yakni penjaja jasa penukaran uang baru. Salah satunya terlihat di pinggir Jalan Raya Hankam, Bambu Apus, dan dekat Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Para penyedia jasa penukaran uang itu menjajakan uang pecahan mulai dari Rp1.000 hingga Rp100.000 dengan sepeda motor, dengan kotak berisi uang, atau digelar menggunakan terpal. Mereka menawarkan penukaran uang, dengan tarif tertentu.
Porman hanya menggantungkan hidupnya dari jasa penukaran uang baru. Dia mengaku tak memiliki pekerjaan lain. Dia mulai menggelar lapak dari pukul 07.30 WIB hingga 18.00 WIB. Bisnis ini menurutnya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
“Saya punya tiga anak. Alhamdulillah pendapatan mencukupi,” ujar Porman, yang tinggal di Jalan Bungur, belakang Terminal Kampung Rambutan.
Menurutnya, sebagian uang layak edar itu didapatkan dari seseorang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dekat terminal. Sebagian uang lainnya diperoleh dari seseorang yang disebut bandar.
Porman tak pernah mengetahui tempat tinggal bandar uang itu. Transaksi hanya dilakukan dengan sistem pengantaran langsung setelah dihubungi. Porman mengatakan, harga uang dari bandar saat ini cukup tinggi.
“Kalau sekarang, kita enggak nyari keuntungan banyak lagi karena harganya sudah tinggi,” ucap Porman.
“Dari bandar itu 10 kali lipat (harganya). Seratus lembar Rp10.000 kita dapat (dengan membayar) Rp1 juta. Jadi jasanya Rp150.000 per Rp1 juta.”
Tak ada sistem setoran dalam usaha ini. Kata Porman, dia harus mencari harga dari bandar yang paling murah untuk mendongkrak penghasilannya.
Selain Porman, Risa, 46 tahun, juga mengais nafkah sebagai penjaja jasa uang baru musiman. Dia menggelar lapaknya di Jalan Raya Hankam, Jakarta Timur.
“Saya mulai berjualan di sini dua minggu setelah puasa (Ramadan). Kalau untuk lokasi ini, saya sudah empat tahun (menjajakan jasa penukaran uang baru),” kata Risa, Rabu (26/3).
Menawarkan jasa penukaran uang bukan pekerjaan utama Risa. Sehari-hari, dia menjalankan usaha salon. Namun, ketika permintaan uang baru meningkat menjelang Lebaran, dia memanfaatkan momen tersebut untuk menambah penghasilan.
“Saya dapat uang baru dengan menukar di layanan Pintar BI (Bank Indonesia), daftar dulu,” ujar dia.
“Tapi sebagian juga beli dari orang dalam.”
Profesi ini terlihat menguntungkan. Akan tetapi, Risa tetap harus memutar otak dan mengeluarkan ongkos untuk mendapatkan uang yang bakal ditawarkan di pinggir jalan.
“Keuntungannya sebenarnya kecil karena kita harus minjam uang,” ucap Risa.
“Potongannya 3%, terus kalau beli ke orang lain bisa kena (potongan) 7%. Kita jualnya paling (mengambil untung) 15%. Itu belum dipotong biaya bensin.”
Dalam sehari, pendapatan dari menawarkan jasa ini bervariasi. Jika sepi, kata Risa, dia mendapatkan uang Rp500.000 hingga Rp1 juta. Kalau ramai, bisa mencapai Rp5 juta.
“Tapi belum dihitung (keuntungan) bersihnya,” ujar Risa.
Risa membuka lapaknya setiap hari, mulai pukul 08.00 WIB hingga 18.00 WIB. Persaingan tetap ada. Sebab, di lokasi Risa berjualan, ada banyak orang yang juga menawarkan jasa serupa.
“Pendapatan enggak menentu, kadang sepi, kadang ramai,” tutur Risa.