close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kemacetan lalu lintas./Foto aled7/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi kemacetan lalu lintas./Foto aled7/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 24 Januari 2024 14:11

Mereka yang rentan depresi karena perjalanan lama ke kantor

Riset terbaru para peneliti Korea Selatan menemukan, waktu perjalanan yang lama terkait erat dengan meningkatnya risiko depresi.
swipe

Bagi orang-orang yang bekerja di wilayah Jabodetabek, perjalanan ke kantor menggunakan kendaraan pribadi selalu dihantui kemacetan. Jika menggunakan angkutan umum, seperti kereta komunter, siap-siap berdesak-desakan atau ketinggalan kereta. Perjalanan pun sering ditempuh lebih dari sejam dari rumah ke kantor.

“Perjalanan sehari-hari yang panjang dapat menyisakan sedikit waktu di hari kerja yang sibuk, yang membuat kurang aktif secara fisik, (menyebabkan) kelebihan berat badan, dan kurang tidur,” tulis Science Alert.

“Duduk di tengah kemacetan juga dapat meningkatkan tekanan darah. Bukan karena frustasi, namun karena polusi udara yang dihirup.”

Menurut Science Alert, dampak kesehatan tersebut paling dirasakan di Korea Selatan—negara yang diperkirakan punya rata-rata waktu perjalanan terlama dan tingkat depresi tertinggi di antara negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (ODCD).

Riset terbaru para peneliti Korea Selatan, antara lain Dong-Wook Lee, Je-Yeon Yun, Nami Lee, dan Yun-Chul Hong yang dipublikasikan di Journal of Transport & Health (Desember, 2023) menemukan, waktu perjalanan yang lama terkait erat dengan meningkatnya risiko depresi.

“Waktu perjalanan yang lama, lebih dari satu jam, punya rasio peluang sebesar 1,16% gejala depresi dibandingkan waktu perjalanan yang singkat, kurang dari 30 menit,” tulis para peneliti.

Lee dkk menulis, hubungan antara waktu perjalanan dan depresi pria paling kuat terjadi pada pria yang belum menikah, belum memiliki anak, pekerja “kerah biru”, dan pekerja shift. Pada perempuan, waktu perjalanan yang panjang paling erat kaitannya dengan depresi bagi mereka yang berpenghasilan rendah, pekerja shift, dan sudah punya anak.

“Beberapa faktor menjelaskan hubungan antara waktu perjalanan yang lama dan depresi,” tulis para peneliti.

“Pertama, waktu perjalanan dapat menyebabkan stres psikologis dan fisik karena perjalanan pulang-pergi memerlukan energi mental dan fisik yang besar, terlepas dari jenis transportasi yang digunakan.”

Kedua, waktu perjalanan yang lama dapat menghilangkan kesempatan pekerja untuk beristirahat dari pekerjaannya. Terakhir, tidur dan depresi berhubungan dengan ritme sirkadian, melatonin, dan disregulasi neuroinflamasi.

“Waktu perjalanan yang lama bisa mengurangi durasi tidur pekerja dan memperburuk gejala depresi,” tulis para periset.

Tim peneiti menganalisis 23.415 pekerja berusia 20 hingga 59 tahun, memanfaatkan Fifth Working Environment Survey tahun 2017 dan meneliti berbagai faktor, seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pendapatan, wilayah, status pernikahan, kehadiran anak, pekerjaan, jam kerja mingguan, dan shift bekerja.

“Upaya untuk mengurangi waktu perjalanan diperlukan demi membantu masyarakat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga,” kata Lee dari Inha University kepada Korea Biomedical Review.

Menurut para peneliti, melalakukan pekerjaan jarak jauh atau bekerja dari rumah dapat mengurangi depresi lantaran bisa menghilangkan waktu perjalanan yang panjang ke kantor. Namun, yang perlu dicatat, menurut Science Alert, survei di Korea Selatan itu dilakukan sebelum pandemi. Apalagi, tak semua orang bisa bekerja dari rumah.

Riset tersebut melengkapi penelitian sebelumnya yang serupa. Misalnya, penelitian di Inggris terhadap lebih dari 34.000 karyawan di semua industri yang dilakukan VitalityHealth bersama University of Cambridge, RAND Europe, dan Mercer pada 2017. Dilansir dari the Independent, penelitian itu menemukan, waktu perjalanan ke kantor kurang dari setengah jam, mendapatkan tambahan waktu produktif selama tujuh hari setiap tahunnya, jika dibandingkan dengan mereka yang menempuh perjalanan selama 60 menit lebih.

“Perjalanan yang lebih lama punya dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental, di mana mereka yang melakukan perjalanan lebih lama 33% lebih menderita depresi,” tulis the Independent.

Lalu, 40% lebih besar memiliki kekhawatiran finansial dan 12% lebih besar melaporkan permasalahan akibat stres terkait pekerjaan. Mereka juga cenderung tidur kurang dari tujuh jam setiap malam, dan 21% lebih mengalami obesitas.

“Pengusaha harus melihat pengaturan kerja yang fleksibel sebagai bagian yang lebih penting dari strategi manajemen produktivitas dan kesehatan di tempat kerja mereka,” ujar direktur strategi di VitalityHealth, Shaun Subel kepada the Independent.

“Memberi karyawan fleksibilitas untuk menghindari perjalanan di jam-jam sibuk jika memungkinkan, atau menyesuaikan rutinitas mereka dengan komitmen lain, dapat membantu mengurangi stres dan mendorong pilihan gaya hidup yang lebih sehat.”

Pada 2022, dua peneliti dari China, yakni Xize Wang dan Tao Liu juga menerbitkan riset serupa di Transportation Research Part D: Transport and EnvironmentMereka menggunakan Beijing sebagai studi kasus. Penelitian itu berdasarkan survei yang dilakukan pada 2018, mencakup 1.528 penduduk Beijing yang tinggal di kawasan inti perkotaan, pusat kota, dan pinggiran kota.

Mereka menemukan, setiap tambahan 10 menit waktu perjalanan dari rumah ke kantor terkait dengan risiko lebih tinggi mengalami depresi sebesar 1,1% lebih tinggi. Wang dan Liu menyoroti tingginya risiko depresi dengan pilihan moda transportasi pekerja.

“Kami menemukan, waktu yang dihabiskan di angkutan umum, mobil pribadi, dan moped (sepeda motor kecil berpedal) secara signifikan berhubungan dengan depresi,” tulis para peneliti.

“Waktu yang dihabiskan menggunakan moped adalah 73% lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan umum dan 46% lebih tinggi dibandingkan mobil pribadi.”

Menurut para peneliti, temuan itu menyiratkan, mengemudikan moped merupakan penyebab utama masalah kesehatan mental. Di Beijing—dan sebagian besar kota lain di China—tak ada jalur khusus sepeda motor. Maka, pengguna sepeda motor dan moped hanya bisa berjalan di jalur mobil dan sepeda.

“Mengendarai moped membutuhkan upaya mental yang relatif lebih tinggi dibandingkan moda lainnya karena kemampuan moped untuk memotong kendaraan dan sepeda di jalan yang padat,” tulis para peneliti.

“Selain itu, mengemudikan moped dapat menimbulkan tingkat stres yang lebih tinggi karena risiko kecelakaan lalu lintas yang relatif lebih tinggi.”

Sebaliknya, tak ada efek depresi bagi mereka yang bersepeda atau berjalan kaki ke kantor. Di samping itu, dampak relatif lebih besar juga terjadi pada mereka yang berusia 40 tahun ke atas dan pekerja “kerah biru”.

Wang dan Liu menulis usia menyebabkan orang lebih rentan mengalami kelelahan mental saat bepergian. “Orang-orang dari generasi yang berbeda mungkin juga memiliki ekspektasi yang berbeda mengenai waktu perjalanan ideal ke tempat kerja, dan terkadang ekspektasi tersebut tak sesuai harapan,” tutur Wang dan Liu dalam Think China.

Sementara alasan pekerja kerah biru yang bekerja di sektor manufaktur, pertanian, konstruksi, pertambangan, dan pemeliharaan rentan depresi karena mereka lebh cenderung menggunakan moda transportasi yang rawan kecelakaan, seperti moped.

“Dibandingkan dengan pekerja kerah putih, pekerja kerah biru juga cenderung tidak mempunyai pilihan untuk bekerja jarak jauh atau mengikuti jadwal yang fleksibel,” ujar Wang dan Liu.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan