Mereka yang terpaksa bekerja di balik situs judi online
Latar belakang pendidikan hanya lulusan SMP, membuat Karina—nama samaran—sulit mendapatkan pekerjaan. Suatu hari, datang tawaran seorang teman, mengajaknya bekerja di Jakarta. Tak ambil pikir panjang, tawaran itu ia terima. Tahun 2021, bertolak dari kampung halamannya di Kalimantan Barat ke Jakarta.
Di Jakarta Karina diterima bekerja sebagai seorang marketing. Namun, bukan marketing di perusahaan ritel, perbankan, atau lainnya, tetapi “memasarkan” permainan judi online jenis slot di beberapa situs web. Tugasnya, menghubungi lewat pesan singkat orang-orang untuk bermain slot.
Segalanya berubah pada 2022. Menurutnya, sebagian besar pengelola situs-situs judi online pindah ke beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, dan Kamboja. Saat itu, ia pun memilih ikut pindah ke Kamboja.
“Saya kan bukan orang yang berpendidikan tinggi. Mau kerja apa lagi di Indonesia?” ujar perempuan 25 tahun itu kepada Alinea.id, Senin (25/3),
“Orang tua saya juga enggak masalah, selama ini slot beneran, bukan tipu-tipu orang.”
Bos Karina juga berasal dari Indonesia. Di Kamboja, kantor tempat Karina bekerja ada di kota pesisir. Kira-kira dua jam dari Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh.
“Enggak tahu (gedung kantor) itu sewa atau punya dia (bos). Yang jelas, (ruangan) di bawah itu buat kasino, atasnya kantor kita,” ujar Karina.
Ada 40-50 orang Indonesia yang bekerja di sana, dengan bagian pekerjaan yang berbeda-beda. Dari sini, mereka mengelola tiga situs judi online di Indonesia. Karina melihat, pekerjaannya tak seseram yang ia bayangkan atau yang ia lihat di internet.
“Bos saya baik. Enak-enak aja kondisinya. Bayaran oke. Akomodasi juga oke. Makanya saya betah waktu di sana,” ucap Karina.
Ia memiliki target mengajak beberapa orang untuk bermain. Jika tak memenuhi target jumlah orang yang diajak dan tergiur bermain, ia tak mendapatkan bonus. Begitu sebaliknya.
“Model sales gitu ya kerjanya, kurang-lebih,” tutur dia.
Karina mengatakan, visa ia bekerja dan tiket pesawat diurus bosnya. Ia dikontrak selama setahun. Gaji pokok yang ia terima Rp5.500.000. Lalu, tunjangan makan 250 dolar AS atau sekitar Rp3.900.000 per bulan. Ditambah bonus jika melebihi target.
“Bonus itu enggak tentu sih jumlahnya, tergantung bos aja. Paling sekitar Rp1 juta atau Rp2 jutaan,” kata Karina.
“Tapi biasanya kita selalu lebih (target) sih. Soalnya orang Indonesia banyak yang suka main judi online, kan.”
Pada Desember 2023, kontrak kerjanya selesai. Ia pun memilih tak melanjutkan kontrak. Sebab, ada kecemasan dalam dirinya. Pergaulan di Kamboja, menurutnya sangat bebas. Ia pun memutuskan kembali ke Indonesia.
“Seram ya. Orang-orangnya kayak setiap hari bertaruh sama nyawa aja,” ujar Karina.
Apalagi, ia sudah memiliki tabungan dan bisa membantu melunasi utang orang tuanya. “Sekarang cari-cari kerja lagi. Kalau enggak dapat, ya mungkin saya balik lagi ke sana,” ucap Karina.
Sebagai informasi, di beberapa negara Asia Tenggara, judi memang legal. Mengutip Antara, berdasarkan data Kedutaan Besar RI di Phnom Penh, tercatat ada 17.121 WNI yang aktif lapor diri di Kamboja. Namun, otoritas Kamboja mencatat, sebanyak 72.724 WNI memiliki izin tinggal di Kamboja.
Melansir Antara, Duta Besar RI untuk Kamboja, Santo Darmosumarto menyebut, banyak WNI yang bekerja di bisnis judi online di Kamboja, seiring bertambahnya perkembangan ekosistem bisnis tersebut. Fakta tersebut didukung semakin mudahnya WNI mengubah izin tinggal mereka, dari sebelumnya kunjungan wisata menjadi izin tinggal untuk bekerja.
“Dalam beberapa tahun terakhir kita melihat adanya pertumbuhan orang-orang yang bekerja di Kamboja di bisnis yang terkait bisnis gambling, seperti restoran, laundry, salon, toko handphone, dan sebagainya. Jadi sekarang ini kami dari KBRI memprediksi hanya sekitar 60% yang bekerja di online gambling dan sisanya 40% itu yang bekerja di bisnis-bisnis pendukungnya itu tadi,” kata Santo kepada Antara.
Indra—nama samaran—juga bekerja di Kamboja, mengurus konten iklan-iklan judi online di media sosial dan situs web. Berbeda dengan Karina, Indra adalah lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di Indonesia. Lulus tahun 2019, ia langsung dapat tawaran bekerja di Kamboja. Mulanya, ia ditawari pekerjaan sebagai editor motion graphics atau grafik gerak.
“Dapat tawaran dari teman. Cuma belum tahu (bekerja) buat siapa. Eh ternyata buat situs web (judi online) slot,” ujar Indra, Senin (25/3).
Lelaki 28 tahun yang juga berasal dari Kalimantan ini mengatakan, ia tak harus bekerja setiap hari. Sebab, konten yang dibikinnya biasanya dipakai terus menerus.
Tahun 2022 ia mengenal Karina. Kemudian, ia menyambi pekerjaan menjadi admin. “Untuk bayaran ya enggak beda jauhlah sama Karina,” kata dia. “Tapi, saya sedikit santai, targetnya enggak kayak Karina.”
Hingga kini, Indra masih bekerja di Kamboja. Namun, ia pulang karena mendapat libur selama sebulan. “Nanti habis Lebaran saya balik lagi ke sana,” tutur Indra.
Ada alasan mengapa Indra memilih bekerja di sana. “Waktu itu lulus (kuliah) enggak dapat-dapat kerja. Makanya, saya mau aja kerja gini,” kata dia.
“Orang tua saya sempat minta saya cari kerja yang lain. Katanya, ‘jangan lama-lama. Jangan nyaman sama kerjaan haram gini’,” ujar Indra.
Tanggung jawab negara
Menanggapi masalah ini, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan, fenomena WNI bekerja di Kamboja dalam bisnis judi online merupakan kesalahan pemerintah Indonesia yang tak bisa menyediakan lapangan pekerjaan. Terlebih, pasar judi online di Indonesia sangat besar.
“Masih banyak masyarakat kita yang terjerat di dunia judi online,” ujar dia, Senin (25/3).
“Nah, ketika pasar judi online ini besar dan Indonesia masih terus melawannya, maka mereka itu (para pencari kerja) memutuskan kerja di luar. Karena yang mereka perjuangkan adalah mencari uang sebanyak-banyaknya, tanpa melihat di sektor apa mereka bekerja.”
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah melaporkan, selama periode 2017-2022 ada sekitar 157 juta transaksi judi online di Indonesia. Nilai total perputaran uangnya mencapai Rp190 triliun.
Menurut Tadjuddin, orang-orang—terutama anak muda—yang bekerja di judi online, memiliki kemampuan cukup dalam teknologi. “Karena saya lihat, mereka dalam kesehariannya juga berhubungan dengan teknologi. Ini kan bukan pekerja kasar, mereka itu,” kata Tadjuddin.
“Sayangnya, yang seperti ini tidak diserap dengan baik oleh (pemerintah) Indonesia. Makanya mereka harus bertahan hidup dengan cara mereka sendiri.”
Demi memutus rantai pekerjaan di sektor judi online, Tadjuddin menyarankan pemerintah membuka berbagai pelatihan bagi masyarakat, sesuai dengan profesinya. Jika seseorang pendidikannya rendah, tetapi bisa bekerja di bidang teknologi—seperti mengurus situs web judi online di Kamboja—menurut Tadjuddin, artinya mereka masih mau belajar dan berusaha.
“Hanya negara tidak memfasilitasi atau memberi mereka jalan, sehingga mereka berjalan ke arah yang salah,” tutur Tadjuddin.
Lantas, setelah diberikan pelatihan, calon pekerja harus diserap oleh negara atau perusahaan. “Setelah pelatihan ya tidak bisa kalau hanya ditelantarkan,” ujar dia.
“Mereka harus disediakan tempat di mana mereka bisa bekerja, jangan sampai mereka masuk ke dunia kerja yang salah seperti ini (judi online).”