Mewujudkan keadilan bagi kelompok disabilitas
Kelompok disabilitas masuk dalam draf visi-misi capres-cawapres yang akan bertarung di Pilpres 2024. Dalam draf visi-misi, pasangan calon nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berjanji bakal melindungi, menghormati, dan memfasilitasi kelompok disabilitas.
Ada tujuh janji yang dikemukakan, yakni seluruh layanan publik harus ramah disabilitas; juru bahasa isyarat hadir di berbagai kegiatan untuk umum; sekolah inklusif diperbanyak; kesempatan beasiswa khusus disabilitas; bantuan sosial untuk disabilitas; kuota khusus dalam lowongan kerja dan pengembangan wirausaha; serta penghargaan untuk kota, perusahaan, atau instansi yang peduli pada kelompok disabilitas.
Pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam program kerjanya, menyebut komitmen untuk memperkuat pembangunan sumbar daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas.
Sedangkan pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjanjikan kesetaraan akses pekerjaan dan upah, pendidikan, pelayanan publik, serta memastikan seluruh infrastruktur publik ramah penyandang disabilitas.
“Dari ketiga paslon (pasangan calon) masih dalam tataran formalitas saja,” ujar aktivis hak disabilitas Agus Hasan Hidayat kepada Alinea.id, Sabtu (10/2).
“Kalau kita bedah, paslon 1 ini perubahan yang dilakukan untuk disabilitas apa? Belum keluar sama sekali. (Paslon nomor urut) 2 keberlanjutan, dari sisi aturan sudah bagus, tapi implementasinya nol. (Paslon nomor urut) 3 juga enggak dijelaskan caranya gimana agar disabilitas mandiri.”
Belum lagi, ujar Hasan, yang dicermati baik oleh pemerintah maupun ketiga pasangan capres-cawapres baru kelompok disabilitas yang terlihat, seperti netra, tuli, dan fisik. Orang-orang dengan disabilitas psikososial, intelektual, dan mental keberadaannya masih saja dipinggirkan karena dianggap tak bisa berpikir mandiri.
Indonesia memiliki beberapa regulasi yang mengatur soal kelompok disabilitas, antara lain Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; PP nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas; serta Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor Kep.146/M.PPN/HK/11/2022 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Strategis Penyelenggaraan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas tahun Anggaran 2022-2024.
“Disabilitas di perundang-undangan (regulasi) itu masih saja dilihat—walaupun pemerintah menjunjung HAM dan masuk ke RANHAM (rencana aksi nasional HAM)—‘gimmick’, meskipun ada indikatornya, tapi sekarang enggak jelas sampai di mana,” ujar Hasan.
“Meski di dalam undang-undang sudah baik, tapi melihatnya masih orang (disabilitas) enggak bisa apa-apa, hanya jadi beban. Ini kesalahan dan bat kita harus melakukan advokasi.”
Hasan bilang, ketidaktercakupan kelompok disabilitas bisa dilihat dari berbagai sisi kehidupan. Paling menyolok, orang-orang disabilitas dianggap tak normal, hanya karena punya fisik berbeda dengan orang-orang nondisabilitas.
Dengan kekurangan yang mereka miliki, kelompok disabilitas acap kali dipinggirkan dari masyarakat, dunia kerja, hingga haknya untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Padahal, tak sedikit kelompok disabilitas yang punya kemampuan.
“Beberapa teman tuli sudah ikut jadi caleg. Disabilitas mental juga ada satu, meskipun dia tidak speak up karena memang stigmanya besar,” ujar Hasan.
“Disabilitas fisik di Jakarta juga ada yang nyaleg. Memang partisipasinya ada, tapi meaningful partisipasinya belum.”
Sementara itu, komisioner Komnas Perempuan sekaligus aktivis gerakan disabilitas Bahrul Fuad mengungkapkan, dari ketiga paslon capres-cawapres tak ada satu pun yang membahas soal konsesi. Padahal, kata dia, konsesi yang merupakan segala bentuk potongan biaya yang diberikan kepada penyandang disabilitas berdasarkan kebijakan pemerintah, telah diatur dalam UU 8/2016.
Bahrul menerangkan, orang dengan disablitas memiliki biaya hidup yang lebih tinggi. Misalnya, orang dengan disabilitas fisik membutuhkan biaya untuk membeli kursi roda.
“Konsesi sudah diatur di undang-undang tentang disabilitas, tapi implementasinya belum ada,” ujar Bahrul, Jumat (9/2).
“Padahal, dengan konsesi, pemenuhan (kebutuhan) teman-teman disabilitas bisa terbantu.”
Di sisi lain, pemahaman HAM dan kesetaraan, menurut Bahrul, merupakan dua hal utama yang harus digarisbawahi dalam menyikapi isu soal kelompok disabilitas. Ia pun berharap, pemimpin yang terpilih nanti dapat memastikan kepentingan dan kebutuhan kelompok disabilitas, serta diakomodasi dengan baik dalam pembangunan nasional yang inklusif.
Contohnya memberikan pendidikan inklusif. Alih-alih menyediakan program sekolah khusus seperti SLB, kata Bahrul, lebih baik memastikan anak-anak dengan disabilitas bisa mendapatkan akses pendidikan layak, setara, dan adil.
Penting pula mengevaluasi kementerian, lembaga, perusahaan BUMN, dan swasta agar keterlibatan orang-orang dengan disabilitas di dunia kerja terjamin.
“Karena hanya dengan melibatkan mereka (kelompok disabilitas) secara penuh dalam proses pembangunan, Indonesia dapat menjadi negara yang lebih inklusif dan adil bagi semua warganya,” tutur Bahrul.
Bahrul menegaskan, yang tak kalah penting, penyebutan “normal” kepada orang-rang nondisabilitas dan “tidak normal” untuk orang dengan disabilitas juga harus dihapus.
“Pernyataan-pernyataan semacam itu dinilai kontraproduktif terhadap perjuangan inklusi yang telah dilakukan oleh para aktivis gerakan disabilitas selama ini,” tutur Bahrul.