close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gereja Hati Kudus di kawasan Kayutangan, Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (26/5/2023). Alinea.id/Fandy Hutari
icon caption
Gereja Hati Kudus di kawasan Kayutangan, Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (26/5/2023). Alinea.id/Fandy Hutari
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 13 Agustus 2024 16:05

Mewujudkan kebebasan membangun rumah ibadah

Pendirian rumah ibadah mesti mengikuti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang memerlukan rekomendasi dari FKUB.
swipe

Ketika dialog kebangsaan dan rapat kerja nasional Gerakan Kristiani Indonesia Raya (Gekira) beberapa waktu lalu, Menteri Agama Yaqut Choli Qoumas menyinggung soal aturan terbaru perizinan pembangunan rumah ibadah, yang hanya perlu ditujukan kepada Kementerian Agama (Kemenag).

Dikutip dari Antara, sebelum ada revisi rekomendasi, pendirian rumah ibadah mesti mengikuti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang memerlukan rekomendasi dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).

Soal revisi aturan pendirian rumah ibadah, sesungguhnya sudah disinggung Yaqut pada Agustus 2023, saat hadir dalam sidang Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) XVII di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Kala itu, Yaqut menjelaskan, dalam rumusan regulasi baru itu, Kemenag mengusulkan kepada presiden kalau rekomendasi pendirian rumah ibadah cukup dari Kemenag.

Proses penyusunan rancangan peraturan presiden (perpres) ini telah dimulai sejak 2021. Sekarang, sudah ada di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Namun, wacana itu tak disetujui beberapa pihak. Termasuk Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin. Menurutnya, Menteri Agama tak boleh asal mencoret FKUB. Sebab, aturan pendirian rumah ibadah itu kesepakatan dari majelis-majelis agama, bersama Kemenag dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Salah seorang penganut agama Buddha, Sheila Octavia, 28 tahun, menilai keputusan apa pun nantinya, harus kembali pada situasi di masyarakat. Warga sekitar harus dipastikan bisa menerima dahulu bangunan baru untuk kegiatan ibadah. Tujuannya, masyarakat bisa mengerti kegiatan ibadah yang dilakukan, supaya tak menimbulkan persepsi lain. Mengingat pembangunan rumah ibadah akan membuat lingkungan sekitar lebih ramai dari biasanya.

“Cuma kalau soal izin dari FKUB diperlukan atau tidak, ya itu pemerintah saja yang menentukan, yang pasti jangan sampai berbelit,” kata Sheila kepada Alinea.id, Senin (12/8).

Di sisi lain, salah seorang pemeluk agama Kristen, Henry Siagian, 39 tahun, menilai perizinan untuk membangun rumah ibadah lebih baik diserahkan kepada Kemenag, supaya bisa diatur oleh perwakilan agama masing-masing. Berangkat dari setiap pembinaan masyarakat (binmas) yang ada di Kemenag.

Menurut dia, kebijakan dari binmas bisa memberikan jawaban yang sesuai untuk umatnya dalam membangun rumah ibadah, agar tak sembarangan dibangun. Apalagi, agenda FKUB terkait perizinan belum diketahui pasti. Maka Henry menyebut, pejabat yang berwenang lebih baik mengurusnya untuk warga.

“Menurut saya, sebaiknya perizinan itu digeneralisasi di Kementerian Agama supaya nanti bisa diatur sama perwakilan agamanya masing-masing,” ujar Henry, Senin (12/8).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengatakan, pemerintah hendaknya melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006.

Terutama hambatan dalam perizinan pendirian rumah ibadah, bukan hanya mengenai pencoretan rekomendasi FKUB. Salah satu syarat yang membatasi kelompok minoritas, yaitu syarat administratif dukungan 90 orang jemaat dan 60 orang di luar jemaat.

“Formula 90/60 nyata-nyata menghambat terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang oleh pasal 29 ayat (2) diberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk,” kata Halili, Jumat (9/8).

Halili menyampaikan, jika tidak ikut dalam perizinan, maka FKUB dapat dioptimalkan perannya dalam membangun dan memelihara kerukunan antarumat beragama. FKUB, kata dia, mesti memainkan peran yang lebih intensif dalam memperluas edukasi dan kampanye toleransi, memperbanyak ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antaragama. Termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan ibadah dan pendirian rumah ibadah.

“Hal itu mesti diteragaskan secara eksplisit dalam raperpres (rancangan peraturan presiden) FKUB,” ucap Halili.

Secara faktual, ujar Halili, dalam tata kebhinekaan dan heterogenitas Indonesia yang kompleks, FKUB belum optimal dalam mencegah dan menangani berbagai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya gangguan tempat ibadah di berbagai daerah.

Dalam laporan "Kondisi Kebebasan Beragama Berkeyaninan (KBB) 2023", Setara Institute mencatat, ada 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Angka ini naik signifikan dibandingkan dengan temuan pada 2022, yakni 175 peristiwa dan 333 tindakan.

Setara Institute pun melaporkan, sepanjang 2023 terdapat 65 gangguan tempat ibadah. Temuan tersebut, menurut Setara Institute, angkanya cukup besar dibandingkan dengan gangguan yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Tahun 2022 ada 50 tempat ibadah, 2021 ada 44, 2020 ada 24, 2019 ada 31, 2018 ada 20, dan 2017 ada 16. Dari 65 tempat ibadah yang mengalami gangguan pada 2023, sebanyak 40 menimpa gereja, 17 menimpa masjid, 5 menyasar pura, dan 3 menimpa vihara.

Dengan situasi ini, kata Halili, dibutuhkan transformasi kelembagaan dan peran FKUB. Misalnya, melalui pergeseran asas keanggotaan FKUB, dari proporsionalitas menjadi inklusif. Lalu, merekrut anggota FKUB secara lebih terbuka dan akuntabel, dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil yang relevan di tingkat lokal.

Kemudian, perluasan peran tokoh agama perempuan dalam FKUB dengan kebijakan afirmatif. Misalnya, menerapkan minimal keanggotaan 30% tokoh agama perempuan.

Saat ini, hal mendesak untuk dilakukan, menurut Halili, adalah mengakselerasi kebijakan progresif dalam rancangan perpres FKUB dengan muatan yang lebih komprehensif dan berpihak pada jaminan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan seluruh warga negara.

Lantas, janji pemerintah untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau ulang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 harus dipercepat, melalui konsolidasi muatan yang lebih sesuai dengan keragaman identitas di Indonesia.

“Hingga kini, tidak tampak akselerasi yang menggembirakan untuk melaksanakan komitmen mengenai kebijakan yang lebih progresif tentang pendirian rumah ibadah,” ucap Halili.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan