Jemari itu terlihat begitu lihai menekan sejumlah tombol yang membuat sebuah rangkaian kata dari keyboard komputer pentium empat. Sambil menatap monitor tabung dihadapannya, pria muda itu menuturkan kisah cinta semasa remaja. Diawali dengan mengenalkan identitas namanya, Dilan.
Demikian adegan pembuka film Milea: Suara Dari Dilan besutan Max Pictures. Film romansa remaja asal Bandung itu, masih mengangkat kisah yang sama dari sekuel sebelumnya, Dilan 1990 dan Dilan 1991. Alur ceritanya pun, mengangkat dari novel penggawa band The Panas Dalam, Pidi Baiq.
Di produseri Ody Mulya Hidayat, sekuel ketiga film Dilan ini, masih menempatkan Iqbal Ramadhan berperan sebagai Dilan, dan Vanesha Prescilla sebagai Milea. Tak hanya aktor, sang sutradara juga masih diisi oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq.
Secara garis besar, Milea: Suara Dari Dilan, lebih mengangkat kisah asmara Dilan-Milea dari sudut pandang Dilan. Berbeda dengan sekuel sebelumnya, yang lebih menitik beratkan kisah kehidupan dan percintaan dari sisi Milea. Dalam film ini, Pidi Baiq ingin menggambarkan kehidupan Dilan, baik dari segi keluarga, pergaulan, dan percintaan dengan Milea.
Hal itu, terlihat di awal kisah film itu, yang menggambarkan kehidupan sosok Dilan. Sekitar 20 menit, Dilan mencoba menerangkan latar keluarga, dan pergaulan remaja di kota kembang. Sebagian pengisahan itu, dikemas dengan narasi Dilan dan beberapa potongan gambar pada sekuel film sebelumnya.
Kemudian, sebagian besar sisa durasi itu mengangkat kisah asmara Dilan dengan Milea. Potongan gambar yang mengisahkan sisa-sisa kenangan Dilan bersama Milea, ditambah penjelasan Dilan, membuat penonton lebih memahami duduk perkara konflik yang terbangun dalam kisah asmara mereka. Salah satunya, ketika Dilan merasa cemburu dengan Yugo (Jerome Kurnia) yang merupakan sepupu Milea, saat mereka tak sengaja bertemu di sebuah ruas jalan di Kota Bandung.
Dapat dikatakan, sekuel film ketiga romansa ini merupakan penjelasan Dilan atas sejumlah konflik atau kesalahpahaman kisah asmaranya dengan Milea semasa SMA. Untuk itu, Fajar Bustomi dan Pidi Baiq mengemas plot film ini seperti maju-mundur dengan segala kenangan Dilan bersama Milea.
Dengan demikian, Milea: Suara Dari Dilan melengkapkan kisah asmara Dilan dan Milea menjadi terang benderang. Setidaknya, penonton dapat memahami bahwa akhir kisah remaja asal Bandung itu tak sepenuhnya disebabkan kesalahan Dilan.
Kakunya dialog
Tampaknya, sang empu cerita, Pidi Baiq tak ingin mengimprovisasi dialog dalam film yang diadaptasi dari novel seri ketiga percintaan Dilan. Pasalnya, sebagian besar percakapan antar tokoh dalam film tersebut, terasa saklek dengan novel yang diterbitkan pada 2016.
Alhasil, dialog yang dibangun oleh tokoh terkesan kaku. Hal ini membuat Milea: Suara Dari Dilan kurang menunjukan kualitas para tokoh secara maksimal. Di samping itu, percakapan yang akan ditimbulkan dapat ditebak bagi penonton yang sudah membaca novel seri ketiga kisah cinta Dilan.
Namun, sakleknya dialog dalam film itu dapat tertolong dengan aktor yang mempunyai paras tampan dan cantik. Setidaknya, kelebihan ini dapat menutupi kekakuan dalam film tersebut.
Kering konflik
Selain dialog yang kaku, konflik yang ditimbulkan dalam sekuel ketiga film romansa remaja Bandung ini juga terasa kering. Sebagian besar, konflik yang diangkat berasal dari sekuel film sebelumnya yakni, Dilan 1990, dan Dilan 1991.
Konflik tersebut, juga terbilang klise. Tak jauh dari seputar persoalan kisah asmara dan pergaulan remaja pada umumnya. Misalnya, kesalahpahaman atas persoalan sepele, posesif terhadap pasangan, dan tawuran antar pemuda lebih mendominasi konflik dalam film tersebut.
Detik-detik Dilan menemani sang ayah ditengah kondisi koma, mungkin salah satu konflik yang menonjol dalam film itu. Sebab, adegan itu menunjukan cara mengontrol perasaan duka dan dilema Dilan akan bayang-bayang Milea.
Namun demikian, keringnya konflik ini dapat diwajari atas satu alasan tujuan pesan yang ingin disampaikan Dilan dalam film ini. Salah satunya, penjelasan kisah asmara Dilan-Milea dari sudut pandang Dilan.
Kendati demikian, perpisahan kisah asmara Dilan dan Milea dapat tergambar jelas. Penyebabnya, hanya karena gengsi dan emosi labil remaja semata. Alhasil, penyesalan Dilan dapat tergambar ketika berenjak dewasa.
Melalui film ini, tampaknya Pidi Baiq ingin mengajak penonton untuk bernostalgia dengan tiga seri novel yang mengisahkan asmara Dilan-Milea. Setidaknya, film ini dapat menjadi penawar rindu untuk mengenang kisah asmara remaja asal Bandung ini.
Tak heran jika Milea: Suara Dari Dilan ditonton 404.000 orang di hari debutnya. Capaian ini membuat sekuel ketiga film besutan Pidi Baiq ini, bertengger di posisi kedua setelah Dilan 1991 yang memperoleh 800.255 penonton di hari pertama penayangannya.
Film yang tayang pada 13 Februari 2020 ini, dapat menjadi pilihan alternatif bagi muda-mudi untuk ditonton di saat akhir pekan. Dengan demikian, Milea: Suara Dari Dilan patut memperoleh nilai 3 dari 5.