Militansi K-Popers di media sosial: Wujud cinta pada idola?
Pada 1 Januari 2021, Indosiar menayangkan film televisi (FTV) Hidayah tentang seorang istri yang kecanduan Korean Pop (K-Pop) hingga tak mempedulikan suaminya. FTV berjudul “Bagaimana Menyadarkan Istriku yang Terlalu Terobsesi K-Pop” yang dibintangi Lucky Hakim dan Puy Brahmantya itu, mengisahkan pula perselingkuhan sang istri dengan lelaki berpenampllan ala Korea.
Tayangan itu kemudian mendapat sorotan tajam dari penggemar K-Pop atau K-Popers di Tanah Air. Di media sosial Twitter, K-Popers menyerang Puy dan Indosiar. Mereka menganggap, sinetron itu menyindir K-Popers di Indonesia. Perbincangan terkait FTV tersebut sempat viral.
Dinny Tri Utami, salah seorang penggemar K-Pop yang turut bersuara di Twitter merasa tersinggung dengan tayangan FTV tersebut. Baginya, FTV itu bisa merusak citra K-Popers.
Ia menyorot beberapa adegan, seperti istri fan K-Pop yang memaksa suaminya membeli pernak-pernik idola. Selain itu, sosok istri digambarkan berkarakter sasaeng—istilah penguntit dalam bahasa Korea—dengan stalking akun dan kehidupan pribadi artis idolanya.
“Tentu itu bukan kebudayaan kami. Kebiasaan kami adalah sekadar menikmati karya, membeli pernak pernik ketika mampu, dan aktif di sosial media,” kata Dinny saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (6/1).
Mahasiswi program studi bahasa Korea di salah satu universitas di Jakarta tersebut pun menyayangkan penggambaran dalam FTV, yang seakan menyampaikan pesan fan K-Pop kerap menimbulkan konflik dalam rumah tangga.
“Kami masih bisa membedakan antara kehidupan dunia fan dengan realitas, yang prioritasnya berbeda,” ucapnya.
Ia menganggap, sangat wajar penggemar K-Pop mengkritik tayangan yang kurang pantas dan tak sesuai dengan kenyataan.
“Kami memiliki hak untuk menyuarakan apa yang kami rasakan saat menonton FTV itu,” kata dia.
“Kami perlu berpendapat di ruang terbuka, seperti medsos agar tidak menimbulkan kesalahpahaman mengenai pribadi K-Popers yang tidak pantas dicap fanatik seperti itu.”
Dinny mengaku, sudah menyukai K-Pop sejak ia duduk di bangku kelas empat SD pada 2009. Mulanya, ia tersengsem dengan drama televisi Boys Before Flowers. Mendengarkan lagu atau menonton drama Korea merupakan kesenangan tersendiri baginya. Dari kesenangan itu pula, Dinny mendapatkan ilmu mempelajari bahasa dan kebudayaan Korea.
Kritis di media sosial
Pengamat media sosial Eddy Yansen menganggap wajar penggemar K-Pop di Indonesia bersikap kritis. Eddy mengakui, opini fan K-Pop cepat tersebar luas dan menjadi viral di media sosial.
Militansi K-Popers di media sosial, menurut Eddy, disebabkan kekuatan pengaruh dalam kelompok penggemar, layaknya sub-culture pada umumnya.
“Militansi sub-culture akan mencuat jika merasa eksistensi diri mereka diserang,” kata Eddy saat dihubungi, Kamis (7/1).
Sementara itu, pengamat budaya populer sekaligus pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Ratna Puspita, sepakat dengan pendapat K-Popers soal ketidakakuratan menampilkan cerita dalam FTV “Bagaimana Menyadarkan Istriku yang Terlalu Terobsesi K-Pop”.
“Bagi penggemar K-Pop, FTV ini memang dibuat tanpa riset alias asal-asalan,” katanya saat dihubungi, Kamis (7/1).
Dalam melancarkan protes di media sosial, Ratna mengamati, K-Popers memanfaatkan akun khusus fan K-Pop. Akun ini digunakan untuk membuat viral kritik fan K-Pop, terutama jika ada perkara menyangkut girl band atau boy band tertentu. Lazimnya, seorang K-Popers punya lebih dari satu akun fan khusus, sesuai jumlah idola.
“Apa yang mereka refleksikan di media sosial merefleksikan idola mereka. Kalau mereka terlibat dengan gerakan yang baik, maka idola mereka juga baik,” kata Ratna.
Masifnya penggunaan media sosial, memungkinkan fan dalam skala internasional saling berinteraksi. Mereka pun kerap menjalani pertukaran budaya—dalam studi fandom, disebut transkultural. Ratna menjelaskan, dalam transkultural ada anggapan seeing oneself in the other.
“Ketika transfer budaya terjadi di antara penggemar K-Pop, isu-isu sosial-politik pun seringkali ditransfer. Termasuk isu soal Black Lives Matter, Trump, itu akan sampai ke Indonesia,” kata Ratna.
K-Popers menganggap, idola mereka merupakan orang yang memiliki profesionalisme sebagai penghibur, di tengah kehidupan pribadi mereka yang penuh tuntutan dan tekanan industri hiburan. Hal ini mendorong K-Popers merasa harus membayar nilai tersebut, dengan berusaha membuat sang idola meraih capaian tertentu.
Misalnya, video musik “How You Like That” dari Blackpink yang memecahkan rekor menjadi video musik paling cepat mencapai 100 juta viewers pada Juni 2020 lalu. Menurut Ratna, untuk mencapainya, K-Popers memaksimalkan akun fan mereka masing-masing, dengan menyematkan kode tagar tertentu dan menandai akun idola dalam cuitan-cuitan. Perilaku K-Popers di media sosial, kata Ratna, juga ditandai dengan kemampuan melakukan project hastag.
“Hampir setiap hari di Twitter mereka melakukannya. Sama halnya mereka tahu bagaimana cara video musik idola mereka bisa dapat viewer 100 juta sehari,” tuturnya.
“Mereka tahu bagaimana caranya membuat hastag muncul di peringkat pertama Twitter, tanpa diidentifikasi sebagai bot.”
K-Popers juga tak jarang bersikap kritis terhadap perlakuan publik atau media, yang dinilai tak pantas. Salah satunya respons penggemar K-Pop yang sangat sensitif terhadap pemilihan tokoh publik yang akan membawakan acara di stasiun televisi, dengan bintang tamu artis Korea. Mereka kerap membandingkan acara televisi di Indonesia dan Korea.
“Di sini sangat mengutamakan olok-olok, sedangkan di sana, ya bahasa yang digunakan saja diusahakan bahasa yang sopan,” ucapnya.
Namun, ia menilai, protes K-Popers terhadap perlakuan kurang pantas artis idola mereka di acara televisi Indonesia belum terlalu mengkhawatirkan. Ratna menyimpulkan, penggemar K-Pop lebih suka idola mereka tak tampil di acara televisi Indonesia. Meski begitu, ia mencatat, kesan positif K-Popers pernah dinyatakan untuk pembawa acara Indra Herlambang.
“Indra Herlambang pernah dipuji habis-habisan oleh salah satu fandom K-Pop karena sangat sopan dan mengisi dirinya dengan pengetahuan soal K-Pop, termasuk grup idolanya,” tuturnya.
Perang kebudayaan
Ratna mencermati, selama ini sudah terbentuk pemahaman keliru terhadap K-Popers. Mereka kadung dicap sebagai kelompok yang bertingkah, nyeleneh, barbar, egois, dan kasar. Mereka dianggap lebih buruk dibandingkan penggemar klub sepak bola. Penilaian itu, menurut Ratna, dipengaruhi cara pandang kelompok penggemar bukan K-Pop terhadap K-Popers, baik di media sosial maupun kehidupan nyata.
“K-Popers dianggap sebagai orang yang punya selera rendah dan hanya menyukai idola berdasarkan wajahnya,” kata Ratna.
Imbas dari penilaian itu, penggemar K-Pop mudah melontarkan protes, jika ada pandangan publik yang menurut mereka melenceng dari kenyataan.
“Fan K-Pop merasa tidak pernah menimbulkan keributan atau tawuran, termasuk tidak pernah merasa memindahkan cekcok antarfan di medsos ke dunia nyata,” ujarnya.
Di sisi lain, Eddy Yansen mengatakan bahwa pembentukan kelompok penggemar K-Pop merupakan akibat dari upaya kebudayaan yang sengaja diciptakan dan diekspor ke Indonesia. Penggemar drama dan musik Korea, kata dia, menjadi penerima produk budaya impor dari Korea. Ia membandingkan dengan produk budaya yang lebih dahulu muncul, seperti Japan Pop dari Jepang, Hollywood dari Amerika Serikat, dan China Culture dari China.
“Maka militansi K-Pop pun, singkat kata, wajar sekali karena inilah ‘perang budaya’,” ujar Eddy.
Eddy mengingatkan, kedudukan K-Pop di Indonesia bukan lagi sebatas bagian dari industri hiburan, tetapi produk budaya yang memengaruhi pembentukan cara pandang dan identitas baru di masyarakat.
Meski fan K-Pop juga responsif terhadap isu politik, seperti penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020, Eddy menilai, fenomena itu justru mempertegas kondisi menggerusnya identitas nasional. Sebab, menurut dia, opini K-Popers lebih menonjolkan eksistensi kelompok mereka yang terkotak-kotak dari kelompok lain, seperti akademisi atau lembaga swadaya masyarakat.
“Ini menjadi pertanda bahwa Indonesia semakin memasuki krisis identitas nasional. Kita harus perkuat identitas nasional agar hal-hal seperti ini berkurang,” ujarnya.