“Minum” buku di selatan Jakarta
Jakarta menjelang maghrib. Saya baru saja memarkirkan kendaraan di kawasan Bona Plaza, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (22/8). Pandangan saya membentur sebuah papan biru berukuran sekira dua meter di atas pintu ruko. Tulisan papan berbunyi “PUSAD”, Pusat Studi Agama dan Demokrasi. Sempat tak yakin, apa betul ini café baru yang digagas Efek Rumah Kaca (ERK), sesuai rekomendasi kawan saya.
Ah persetan, saya nekat masuk. Begitu membuka pintu, kehangatan langsung menyambut saya. Tawa berderai dari sekelompok orang yang duduk melingkar, kian menyemarakkan ruangan berkapasitas 50 pengunjung tersebut. Sebuah piano hitam diletakkan di sisi kanan ruangan, dengan dua figura foto band ERK mejeng di atasnya. Sementara di sisi kiri bawah tangga, sebuah meja kecil berisi coffe grinder tertata rapi. Di sampingnya, lukisan ibu petani Kendheng tergantung di dinding bercat polos ini.
“Lagi ada diskusi rutin, Mbak,” tutur seorang pengunjung di sisi saya. Si James F. Sundah, pencipta lagu “Lilin-lilin Kecil” yang kerap dilantunkan mendiang Chrisye, memang tampak asyik berbicara sore itu. Di sampingnya pentolan ERK, Cholil yang belakangan tinggal di Amerika Serikat (AS) bersama istri dan putranya, turut dalam diskusi. Isi diskusinya menarik, membahas tentang karya emas Bung Sundah, bonus pandangan ia soal blantika musik di era digital kini.
“Memang sudah lumayan sering kami menggelar acara diskusi di sini,” tutur salah satu relawan Kios Ojo Keos Muhammad Asranur, yang sore itu berbaik hati bercerita pada Alinea. Menurut fotografer yang karyanya malang melintang di Rolling Stone Indonesia, Guardian, dan Jakarta Post ini, sejak dibuka resmi pada 1 Mei 2018--bertepatan dengan Hari Buruh--Ojo Keos telah menghelat sejumlah diskusi.
Misalnya, diskusi soal identitas kultural penikmat musik heavy metal era 1980-an bareng Yuka Narendra dan Gita Laksmini. Lalu diskusi ikhwal pekerja kreatif, bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, diskusi “Buku dan Aktivisme” dengan Innosanto Nagara dan Hikmat Darmawan. Belum termasuk showcase mengenang Ari Malibu hingga peluncuran OST Mata Najwa “Seperti Rahim Ibu” Mei silam.
Kios Ojo Keos digunakan sebagai ruang kreatif bersama, tempat ngopi, diskusi, sekaligus baca buku./ Purnama Ayu dan IG Kios Ojo Keos
Aneka diskusi itu memang sengaja digelar agar marwah Ojo Keos sebagai ruang kreatif bersama terpenuhi. Embrio Ojo Keos sendiri sudah ada sejak 2017. Tepatnya ketika ERK merasa membutuhkan perpanjangan ruang untuk berbagi kegelisahan, selain lewat medium lagu mereka. Ide itu akhirnya didaratkan, usai menjalani rentetan persiapan.
“Niatnya mau dibuka bulan Desember 2017, biar kesannya ERK banget gitu lah. Namun, ternyata tak semudah itu memulai usaha. April 2018 baru buka, tapi resmi dibuka untuk umum baru Mei 2018,” ujar Asra.
Perjalanan memindahkan ruang kreatif bersama, dari yang awalnya hidup di ruang maya ke mode luring dirasa Asra dan kawan-kawan tak mudah. Di antara kru dan keluarga ERK, hanya Dika si barista yang punya pengalaman menjalankan bisnis warung kopi di Manggarai.
Namun, perlahan semua pegiatnya jadi ikut belajar soal konsep bisnis warung kopi merangkap perpustakaan dan toko buku. “Cholil ERK sekarang bisa meracik kopi, saya juga ikut paham teori bisnis,” terangnya.
Tiga bulan sejak pembukaan, ruang kreatif yang buka pukul 11.00 hingga 23.00 ini jarang sepi pengunjung. “Dulu yang datang kebanyakan penggemar ERK. Kini Pak RT di Lebak Bulus saja sering ngopi dan ngongkrong di sini. Sebuah pencapaian besar kami ketika sekumpulan bapak-bapak RT sampai menggelar rapat kampung di sini,” ujarnya tertawa.
“Berarti berhasil dong Bang, tujuan awal digagasnya Kios Ojo Keos?” tanya saya.
“Ya begitulah. Saya ingat betul, dulu waktu kami belum buka ruang seperti ini, hanya di Instagram dan jualan buku saja, yang like foto dikit banget, boro-boro beli buku kami. Sekarang, jumlah pengikut di Instagram sudah 12 ribu,” pamernya.
Asra patut bangga. Ruang kreatif yang sengaja dilengkapi dengan perpustakaan dan toko buku serta album para musisi itu kini relatif dikenal publik. Ia bercerita, ada pengunjung sengaja datang dari Kelapa Gading, Jakarta Utara untuk membeli buku hingga habis dua jutaan rupiah.
“Saya tersanjung, ada yang komentar, katanya Kios Ojo Keos telah menyediakan aneka buku bagus yang ia mau dalam satu wadah. Jadi tak perlu repot datang satu-satu ke toko buku A, B, dan seterusnya,” ujarnya.
Bicara koleksi buku, Ojo Keos juga tak sembarangan mengumpulkan koleksi. “Kami menghindari buku best seller. Bukan anti penerbit kanon, tapi buku-buku alternatif bertema sejarah, sosial, politik, dan filsafat dari penerbit atau toko buku independen saja yang masuk ke perpustakaan kami,” ungkapnya.
Di sini, pengunjung memang bisa memilih membaca buku di tempat, alias di perpustakaan atau membawa pulang buku. Tentu saja dengan membayarnya ya.
Kita bisa menemukan aneka buku koleksi “Pramoedya Ananta Toer, novel-novel keren seperti “Lapar” karya Knut Hamsun, tulisan-tulisan Harper Lee, Chuck Palaniuk, dan lainnya.
Kafe buku, membaca yang mengenyangkan
Café yang dikemas dengan konsep perpustakaan sekaligus toko buku memang bukan hal anyar. Di Jakarta, ada sejumlah café yang menggunakan konsep seperti itu, antara lain Reading Room, Bookshield, Bookopi, dan Kios Ojo Keos.
Konsep ini mengemuka, seiring dengan bergesernya fungsi tempat ngopi, dari yang sekadar tempat memuaskan dahaga atau mencari doping kopi agar tak mengantuk. Lalu berubah menjadi ruang untuk berlama-lama bertukar pikiran, bahkan demi gaya hidup atau mengukuhkan status sosial tertentu.
Budaya ngopi di Paman Sam dimulai sejak 1971 saat kedai kopi Starbucks untuk pertama kalinya buka di Pike Place, Seattle. Semua pengunjung yang umumnya pria ramai-ramai datang selepas jam kerja untuk menyesap secangkir kopi. Starbucks sebagai pelopor kedai kopi gaul lantas melebarkan sayap ke berbagai negara termasuk Indonesia. Sebanyak nyaris 6.000 kedai Starbucks menghiasi tiap sudut perkotaan di berbagai negara.
Di Jakarta sendiri khususnya, budaya ngopi tampak sejak awal 1990-an, berbarengan dengan menjamurnya pusat perbelanjaan. Situs Intisari mencatat dua café pelopor yang muncul di Plaza Indonesia, yakni Café Elxelso dan Oh-La-La. Sekejap Jakarta disesaki dengan kedai kopi, warung kopi, atau dalam konsep yang lebih urban disebut café.
Jika tak ingin tergilas persaingan, harus ada diferensiasi. Akhirnya muncul café dengan beragam konsep. Konsep café buku sendiri banyak lahir di café-café Amerika Serikat dan Eropa. Irma Hidayana istri Cholil ERK yang turut membesarkan Ojo Keos berkisah, café buku banyak ia temui di Washington Height, AS. Saat studi di sana, ia kerap menghabiskan waktu di café yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari kediamannya di AS.
“Konsepnya asyik. Kita bisa baca buku, membaca, sekaligus berdiskusi. Bahkan diskusi itu silih berganti sudah terjadwal dengan tema beragam,” tutur alumni Pers Mahasiswa Balairung UGM itu.
A post shared by Kios Ojo Keos (@kiosojokeos) on
Di Indonesia, konsep itu juga mulai jadi tren sejak tujuh tahun terakhir. Café tak hanya dilengkapi dengan sajian kopi dan kudapan yang nikmat, tapi juga buku-buku yang tak kalah mengenyangkan otak. Di perpustakaan Kios Ojo Keos, buku diambil dari sumbangan sukarela, juga koleksi keluarga dan kru ERK.
“Kalau mau lihat isi kepala dan sumber kegelisahan ERK, tengok saja koleksi buku di Ojo Keos,” ujar Asra terkekeh. Selain mengintip referensi alternatif ala ERK, pengunjung juga bisa turut berbagi kegelisahan di ruang temu ini. “Misal selesai konser, mau mengobrol lebih lama, bisa juga,” ujarnya.
Menurut Asra, pembuatan konsep café buku ini sekaligus menjadi ikhtiar untuk memulai pergerakan literasi atau sekadar berbagi wawasan lewat diskusi. Harapannya, sambung ia, orang jadi kian terbuka pikirannya setelah ngopi dan berdiskusi di sini.
“Contoh kita ngobrolin film “20 Tahun Reformasi”. Saat diskusi, ternyata ada seorang anak tentara, yang saat 1998 masih jadi mahasiswa. Dilema sebagai mahasiswa yang notabene adalah musuh Soeharto, tapi ada ikatan biologis dengan sang bapak, membuat kita memandang persoalan ini dari sudut pandang lain,” ungkapnya.
Ke depannya, ruang kreatif Kios Ojo Keos, ujar Asra, akan semakin mendekatkan diri pada publik. “Tak hanya kalangan pak RT Lebak Bulus atau fans ERK, tapi semua penikmat kopi yang ingin bersama-sama berbagi kegelisahan,” terangnya.
Jika kamu tertarik datang ke ruang kreatif yang namanya diambil dari usulan salah satu kru ERK, Muchsin ini, silakan datang tiap hari. Kamu bisa menikmati kopi yang rata-rata berjenis Robusta dan dinamai dengan lagu-lagu ERK. Misalnya, “Tubrukmu Membiru Takis”, “Latte-Latte Pemalu”, “Insomnia”, “Cappucinta Melulu”, dan “Banyak Soda di Sana”.
Selamat ngopi. Selamat membaca. Selamat berbagi kegelisahan. Jangan lupa foto dengan ERK.