Sejak dirilis layanan video berbasis langganan, Netflix, pada 14 Juni 2024 lalu, film serial fiksi ilmiah supranatural Nightmares and Daydreams yang digarap sutradara Joko Anwar berhasil menarik perhatian penggemar film. Film yang terdiri dari tujuh episode—yang peristiwa dan tokoh-tokohnya saling berhubungan itu—menyuguhkan kelompok makhluk jahat yang disebut Agarthan dari dunia bawah tanah yang disebut Agartha melawan kelompok manusia pilihan yang disebut Antibodi.
Joko tidak mengeksplorasi cerita alien, walau serialnya bergenre fiksi ilmiah. Ia justru mengulik Agarthan, entitas yang tinggal di perut bumi. Agartha hidup sebagai teori konspirasi, layaknya Lemuria, Atlantis, bumi datar, dan piring terbang.
Merujuk The Portalist, akar teori Agartha sudah ada sejak abad ke-19. Tepatnya pada 1886, filsuf dan okultis—ahli ilmu gaib—Prancis, Joseph Alexandre Saint-Yves menerbitkan buku Mission de l’Inde en Europe yang mengklaim pertemuannya dengan orang-orang dari Agartha.
Tahun 1908, penulis Amerika Willis George Emerson menerbitkan The Smoky God, yang konon merupakan kisah nyata seorang pelaut Norwegia bernama Olaf Jansen, yang melintasi pintu masuk ke bumi berongga di Kutub Utara dan tinggal bersama penduduk di sana selama dua tahun.
Lantas, okultis Jerman, terutama yang bergabung dengan Nazi, saat Perang Dunia II memasukkan berbagai kepercayaan dan tradisi yang berbeda ke dalam gagasan mereka, di antaranya adalah kisah Agartha.
Singkatnya, Agartha adalah kerajaan bumi bagian dalam yang terhubung ke setiap benua melalui jaringan terowongan yang luas. Menurut Explorers Web, konon pintu masuknya terletak di suatu tempat jauh di Himalaya. Jaringan terowongan antarbenua itu disebut diciptakan ras makhluk kuat Old Ones.
“Mereka jauh melampaui manusia secara fisik dan spiritual, serta kecerdasan dan teknologi,” tulis Explorers Web.
Ras misterius itu dikenal sebagai ras yang hampir maha tahu dan sadar semua kejadian di permukaan bumi. Agarthan pernah hidup di permukaan. Namun, saat bumi menjadi tidak stabil, mereka bergerak ke bawah tanah. Agarthan pun dipercaya memiliki dua bahasa dan dapat berbicara lebih dari satu bahasa pada saat yang bersamaan.
Gagasan Agartha sangat terkait dengan teori bumi berongga atau hollow earth. Dilansir dari Geophysical Institute University of Alaska Fairbanks inti dari teori bumi berongga adalah bumi sebagai sebuah cangkang dengan dinding setelah sekitar 800 mil. Di wilayah kutub terdapat lubang selebar 1.400 mil, dengan tepi yang melengkung dari bagian luar cangkang hingga ke dalam.
Teori bumi berongga, dinukil dari Politifact, dimulai ketika astronom Inggris Edmond Halley menginformasikan kepada Royal Society of London pada 1960-an bahwa bumi terdiri dari cangkang bola bersarang yang berputar ke berbagai arah dan mengelilingi inti pusat.
“Halley menduga, ruang di antara cangkang mungkin memiliki atmosfer bercahaya yang mendukung kehidupan,” tulis Politifact.
Lantas, pada awal 1800-an, orang Amerika, John Symmes, mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk meyakinkan dunia bahwa bumi dibentuk oleh serangkaian cangkang konsentris.
“Symmes percaya, ada bermil-mil wilayah menakjubkan yang belum diklaim di bawah kaki kita, dengan tumbuh-tumbuhan subur, ikan, dan heran buruan untuk diambil,” tulis Geophysical Institute.
Kemudian, teori bumi berongga didorong kembali oleh Raymond Bernard—nama samaran. Ia menulis buku The Hollow Earth pada 1960-an. Dalam buku itu, ia menuliskan kisah yang tak masuk akal, tentang Laksamana Byrd yang ia klaim sudah melakukan beberapa perjalanan di dalam bumi dengan masuk melalui lubang-lubang di Kutub Utara.
Terlepas dari itu, faktanya lubang terdalam yang pernah dibor manusia adalah lubang Kola Deep di Arktik, Rusia, yang dikerjakan sejak 1970-an di masa Uni Soviet. Kedalamannya 12.263 meter. Hanya 0,2% dari jarak ke inti bumi.
Seorang profesor geofisika dari University of Chicago, Andrew Campbell, dalam Politifact menyebut, kepadatan bumi lebih besar daripada kepadatan lapisan batuan yang menyusun kerak bumi.
“Bumi memiliki kepadatan rata-rata 5,5 gram per sentimeter kubik, sedangkan batuan di kerak bumi memiliki kepadatan rata-rata 2,7 gram per sentimeter kubik,” kata Campbell dalam Politifact.
“Jika planet kita berongga, kepadatannya akan lebih rendah, bukan lebih besar, dibandingkan kepadatan kerak bumi.”
Campbell mengatakan, para ilmuwan tidak dapat mengunjungi bagian dalam bumi, tetapi punya cara lain untuk mengukur komposisinya. Misalnya, dengan menganalisis gelombang yang dihasilkan oleh gempa bumi yang melintasi bagian dalam, memperlambat dan mengubah jalurnya saat mencapai batas lapisan dalam.
“Kehidupan mungkin ada pada kedalaman yang sangat terbatas di kerak bumi, tetapi tidak lebih dalam dari itu,” ujar Campbell.
“Di mantel dan inti bumi, tekanan dan suhu sangat tinggi, sehingga kehidupan kimiawi tidak mungkin terjadi. Molekul organik kaya karbon akan bereaksi membentuk berlian dan bahan lainnya.”
Campbell yakin, mustahilnya akses ini membuat kedalaman bumi begitu menarik bagi manusia. “ Jadi, orang-orang berfantasi tentang apa yang ada di sana,” tutur Campbell dalam Politifact.