Akun Instagram dan YouTube milik influencer atau pemengaruh Katak Bhizer beberapa hari lalu tiba-tiba hilang. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokirnya karena kerap mempromosikan judi online berdasarkan laporan warganet.
Katak Bhizer sendiri terkenal di generasi muda sejak beberapa tahun lalu karena mengaku kerap terlibat dalam berbagai tawuran semasa bersekolah. Dia membagikan pengalamannya itu di berbagai siniar. Bahkan, dia mengaku pernah melawan 150 orang sendiri dan pernah dibacok.
Dia dianggap menglorifikasi tawuran. Belakangan, dia pun menyebarkan konten judi online di akun media sosialnya yang punya lebih dari satu juta pengikut.
Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan (Subdit Jatanras) Direktorat Reserse Kriminan Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya pun sudah menyelidiki akun YouTube miliknya. Didapatkan informasi, Katak Bhizer—yang bernama asli Natta Eko Stevanus—saat ini sedang berada di luar negeri. Katak sendiri mempromosikan judi online melalui siaran langsung di media sosialnya.
Selain itu, dikutip dari Antara, Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri, Himawan Bayu Aji mengatakan, sejauh ini pihaknya sudah memeriksa 27 pemengaruh di media sosial yang terkait promosi judi online.
Diketahui, sejak akhir tahun lalu, polisi sudah meminta keterangan beberapa selebritas ternama, seperti Wulan Guritno, Amanda Manopo, Yuki Kato, dan lain-lain terkait dugaan kasus promosi judi online.
Kabareskrim Polri Wahyu Widada sempat mengemukakan soal lamanya proses pengusutan kasus ini. Menurutnya, salah satu kendala yang dihadapi penyidik adalah situs judi yang dipromosikan para artis sudah tak lagi beroperasi.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, 27 artis dan influencer yang diduga mempromosikan judi online dimanfaatkan oleh para bandar karena mampu memberi pengaruh kepada publik. Tentunya, jasa endorse ini tidak gratis, pasti dapat kompensasi dengan bayaran tinggi.
“Makanya muncul simbiosis mutualisme. Artis mendapat bayaran, penggunanya mendapat influence dari iklan,” kata Bambang kepada Alinea.id, Jumat (11/10).
“Mengapa mereka mau? Motivasinya pasti keuntungan mendapat bayaran.”
Bambang melihat, bayaran yang tinggi membuat para influencer tidak mempertimbangkan risiko hukum di balik keterlibatan mereka mempromosikan judi online. Bisa jadi pula, secara intelektual memang tidak memahami risiko hukum yang ditimbulkan.
Namun, Bambang menduga, bukan tidak mungkin dari sekian banyak artis atau influencer yang di-endorse bandar judi online, memang terlibat aktif dalam jaringan sindikat judi daring itu. Oleh karena itu, penyelidikan mendalam harus dilakukan.
“Apakah bisa menjadi pintu masuk? Tentu sangat bisa. Mereka pasti ada yang meng-endorse, ada yang membayar karena tak mungkin cuma-cuma atau gratis. Aliran dana yang menuju para artis ini bisa ditelusuri,” tutur Bambang.
Di sisi lain, kata Bambang, jika kepolisian ingin serius menangani judi online, informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah memetakan aliran dana judi online.
“Terlepas dari itu, penyelidikan terhadap artis ini lebih sekadar gimik saja,” ucap Bambang.
Senada dengan Bambang, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi melihat, motif para influencer yang diduga mempromosikan judi online lebih kepada ekonomi alias bayaran yang menggiurkan dari bandar.
“Iming-iming hadiah atau penghasilan lebih sebagai jasa promosi dan latar belakang artis sangat mendukung,” kata Josias, Jumat (11/10).
Lebih lanjut, Josias menyarankan, penyelidikan terhadap 27 artis dan influencer yang diduga mempromosikan judi online, perlu didalami hingga kemungkinan keterlibatannya kepada bandar.
"Kalau konteks penegakan hukum tentu dimulai dari petunjuk yang jelas keterlibatannya, baru keterkaitan dengan para pihak pemegang aliran dana besar judol," kata Josias.