close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 22 November 2017 18:21

Bagaimana nasib museum masa depan?

Pada zaman ini, masihkah wisata museum menjadi pilihan yang menarik bagi para turis? Khususnya turis milenial. 
swipe

Saat melancong ke luar negeri, sejumlah turis biasanya kerap mengunjungi museum kota setempat untuk mengetahui sejarah sebuah kota atau negara yang dituju. 

CNBC melaporkan bahwa sejumlah geleri nasional memang masih menjadi daftar teratas pilihan sejumlah turis untuk datang. Sebut saja galeri Museum of Modern Art atau MoMa yang berada di Manhattan, Amerika Serikat. Plus, Museum Louvre yang berada di Paris Prancis tidak pernah sepi pengunjung. 

MoMa adalah museum seni modern terbesar dan disebut paling berpengaruh di dunia. Koleksinya tidak hanya seni modern dan kontemporer tetapi juga menyimpan arsip  berkaitan dengan sejarah seni modern dan kontemporer. 

Sedangkan Museum Louvre punya sejarah yang kuat di Prancis. Pada saat pemerintahan Philip II museum tersebut sebagai istana dan benteng di abad 12. 

Kemudian Museum Louvre terus berganti fungsi seperti: kediaman pribadi hingga tempat untuk menampilkan koleksi-koleksi kerjaan. Hingga akhirnya menjadi museum.  

Meski museum punya sejarah yang kuat, namun pertanyaannya apakah hal tersebut masih menarik bagi kalangan milenial? Memang generasi ini dicirikan sebagai generasi yang menjadikan leisure sebagai kebutuhan utama. 

Mereka kerap menyukai hal-hal yang baru dan memiliki tantangan. Sehingga mendatangi museum hanya untuk mengetahui sejarah sebuah kota atau negara telah tergantikan dengan kehadiran internet. 

Persoalan lain, museum di Indonesia bahkan terkesan menyeramkan dan kerap dilebeli menjadi salah satu tempat yang menyeramkan, kuno dan didiami oleh mahluk tak kasat mata. Cerita horor sebuah museum menambah kesan horor. Misalnya saja, Museum Fatahillah yang terkenal dengan cerita horor seperti: penampakan tawanan Belanda yang wara wiri di museum. 

Selain itu, kurang minatnya museum karena masih dipandang sebelah mata. Dari sisi pendidikan, belum ada pelajaran yang mengangkat citra museum bagi para pelajar. 

Kurang minatnya datang ke museum bukan tanpa usaha pengelola menarik sejumlah pengunjung. Museum Nasional yang berada di kawasan Monumen Nasional (Monas) misalnya, sampai menetapkan harga tiket murah sebesar Rp 1.000 hingga Rp 5.000 jauh lebih murah dari Singapura yang mematok harga SG$10-15 atau sebesar Rp 95.000 hingga Rp 144.000 seperti dikutip CNNIndonesia.com

Cara lain demi menyasar anak muda dengan bekerja sama dengan berbagai komunitas. Bahkan museum telah menjadi penyelenggara ajang musik. 

Tawaran tur digital 

Menghadapi hal ini, museum memang harusnya telah mengadopsi teknologi dalam memamerkan koleksinya secara luas. Sehingga informasi yang tersimpan di museum bisa diakses dimana saja dan kapan saja. 

Harus diingat bahwa internet telah mengecilkan dunia saat ini yang terbilang luas. Nah, filosofi ini baiknya memang telah diadopsi oleh sejumlah museum untuk menarik generasi muda saat ini. 

Galeri Nasional di London misalnya mulai menawarkan tur simulasi digital. Seperti dikutip dari CNBC, museum yang telah berumur 200 tahun ini memiliki koleksi gambar dan teknologi digital yang banyak yang menawarkan tur simulasi dari banyak pameran utamanya.

Lewat pendekatan tersebut Direktur Digital Galeri Nasional London Chris Michaels mengatakan sedang berusaha mengintegrasikan pengalaman digital dengan pengalaman fisik pengunjung ke museum. 

"Tur digital di masa depan akan mengambil alih benar-benar kunjungan museum secara langsung ke dalam sebuah pengalaman," kata Micheals. 

Tentu saja tawaran tersebut ada plus dan minus. Misalnya pada tur virtual menawarkan wawasan berharga tentang keseluruhan pameran tetapi sulit untuk mengetahui detail yang bagus. Begitu juga sensasi alam yang berada di dalamnya seperti karya seni yang tertimpa sinar matahari yang menyinari. 

Lalu bagaimana dengan kelebihan pada kunjungan virtual nyata yang membedakan dengan tur secara digital. Nah, Museum di London telah menawarkan akses khusus bagi para pengunjung yang ingin melihat koleksi berharga dan terbilang private. 

Di dunia yang semakin didikte oleh penggunaan teknologi, tidak mungkin membayangkan bahwa cara mengakses seni dan budaya tidak akan terpengaruh. 

Lalu seperti apa museum masa depan?  Teknologi memang akan mengubah penciptaan, konsumsi dan distribusi seni. Museum harus menyediakan akses teknologi pada koleksi karya mereka yang paling bergengsi. 
 

img
Mona Tobing
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan