Musikus jenius Beethoven lemah dalam sinkronisasi irama
Ludwig van Beethoven dikenal sebagai seorang komposer dan pianis Jerman legendaris. Ia adalah salah seorang tokoh yang paling dihormati dalam sejarah musik Barat. Karya-karyanya termasuk di antara repertoar musik klasik yang paling banyak ditampilkan dan mencakup transisi dari periode klasik ke era romantis dalam musik klasik.
Walau dikenang sebagai salah satu komposer paling paripurna, namun para peneliti gabungan asal Swedia, Amerika Serikat, Belanda, dan Kanada dalam riset bertajuk “Notes form Beethoven’s genome” di jurnal Current Biology (Maret, 2024) menemukan hal yang mengejutkan. Rupanya, Beethoven punya kecenderungan genetik yang relatif rendah terhadap sinkronisasi irama atau kemampuan alami yang kuat untuk mengikuti irama. Padahal, itu merupakan sifat yang semestinya melekat dalam diri seseorang yang berbakat musik.
“Inspirasi di balik penelitian ini terletak pada pertanyaan mendasar, yang membuat penasaran para ilmuwan selama berabad-abad, yakni sejauh mana pencapaian manusia yang luar biasa, seperti kejeniusan musik Beethoven yang tak tertandingi dipengaruhi faktor genetik?” tulis PsyPost.
“Dengan munculnya metode molekuler modern, kemampuan menganalisis DNA tokoh sejarah telah menjadi kenyataan.”
Tahun lalu, para peneliti dari University of Cambridge berhasil mengetahui secara pasti penyebab Beethoven mati pada 1827 dalam usia 56 tahun. Dikutip dari Yahoo, dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal Current Biology tersebut, para peneliti menganalisis lima helai rambut yang dipercaya merupakan rambut sang komposer. Lalu, mengurutkan genom dari rambut itu.
“Temuan mereka menunjukkan, kemungkinan besar ada kecenderungan genetik terhadap penyakit hati (lever) dan infeksi hepatitis B, ditambah dengan konsumsi alkohol berlebihan berkontribusi terhadap kematiannya,” tulis Yahoo.
Tim peneliti pun memanfaatkan urutan genetik dari rambut Beethoven, yang sebelumnya dianalisis pada 2023 tadi, sebagai dasar penelitian mereka. Para peneliti menggunakan pendekatan polygenic index (PGI) untuk menilai kecenderungan genetik Beethoven terhadap sinkronisasi irama, yang mengacu pada kemampuan untuk mencocokkan gerakan seseorang, seperti mengetuk, dengan ritme irama musik.
“PGI menghitung kecenderungan genetik seseorang terhadap suatu sifat tertentu dengan menggabungkan efek dari berbagai variasi DNA kecil di seluruh genom,” tulis PsyPost.
“Variasi ini diidentifikasi melalui studi asosiasi genom (atau genome-wide association studies/GWAS) yang menghubungkan penanda genetik tertentu dengan sifat-sifat tertentu.”
PGI mendapat informasi dari GWAS yang melibatkan lebih dari 600.000 individu keturunan Eropa, yang mengidentifikasi lokus genetik yang secara signifikan terkait dengan kemampuan sinkronisasi dengan irama musik.
Lantas, para peneliti membandingkan PGI Beethoven dengan ribuan individu modern dari dua kelompok besar, yakni kelompok STAGE dari Swedish Twin Registry dan kelompok BioVU dari Vanderbilt untuk melakukan kontekstualisasi kecenderungan genetik Beethoven dalam hubungan bakat musik yang lebih luas.
Disebut PsyPost, perbandingan ini sangat penting untuk memahami bagaimana kecenderungan genetik Beethoven terhadap sinkronisasi irama. Hasilnya, Beethoven punya PGI untuk sinkronisasi irama yang relatif rendah. Skor Beethoven menempatkannya di persentil ke-9 an ke-11 dibandingkan dengan kelompok STAGE dan BioVU. Artinya, dari sudut pandang genetik, Beethoven punya kecenderungan di bawah rata-rata terhadap aspek musikalitas, jika dibandingkan dengan populasi modern.
“Beethoven, salah satu musikus paling terkenal dalam sejarah, memiliki skor poligenik yang biasa-biasa saja untuk musikalitas umum dibandingkan dengan sampel populasi dari Institut Karolinska di Swedia dan Repositori BioVU Vanderbilt,” ujar salah seorang peneliti yang berasal dari University of Toronto, Tara L. Henechowicz, dikutip dari PsyPost.
Walau begitu, dikutip dari Tech Explorist, para peneliti mengingatkan, skor genetik Beethoven yang rendah dalam bakat bermusik tak bisa digunakan sebagai klaim yang menyimpulkan kejeniusannya bermusik setara orang pada umumnya.
“Hal ini menunjukkan, tes genetik tidak dapat memprediksi secara akurat apakah seorang anak akan berbakat musik,” tulis Tech Explorist.
Henechowicz menyebut, meski penelitian ini tak mengabaikan peran DNA dalam keterampilan bermusik, riset sebelumnya menunjukkan, genetika berkontribusi rata-rata sekitar 42% terhadap kemampuan bermusik. Skor poligenik, menurut Henechowicz, membantu membandingkan kelompok individu, tetapi bukan indikator yang bisa diandalkan untuk mengetahui ciri unik seseorang. Rekan peneliti Henechowicz, yakni Reyna L. Gordon dari Vanderbilt University Medical Center, menekankan pentingnya lingkungan dan keturunan dalam bakal bermusik.
Walau kecenderungan genetiknya rendah terhadap sinkronisasi irama, namun pencapaian monumental Beethoven dalam bidang musik tak bisa disangkal. Meski faktor genetik berperan dalam membentuk kemampuan, faktor itu hanya salah satu bagiannya. Ada faktor lingkungan, pengalaman pribadi, dan yang paling penting, tekad serta kreativitas individu.
Dilansir dari Down to Earth, meski hasil penelitian itu tak terduga, tetapi kemampuan Beethoven tetap luar biasa mengingat simfoninya memiliki kualitas perkusi yang signifikan dan ritme yang agak rumit. Para ahli juga menemukan jejak ritem yang umum dalam bentuk tarian rakyat Jerman yang kompleks pada komposisi musik Beethoven.
“Ketidakcocokan antara prediksi berbasis DNA dan kejeniusan musik Beethoven memberikan momen pengetahuan yang berharga, karena ini menunjukkan, tes DNA tidak dapat memberi kita jawaban pasti tentang apakah seorang anak pada akhirnya akan berbakat musik,” kata Henechowicz dalam PsyPost.