close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mantan presiden Joko Widodo berbincang dengan seorang petani di Desa Telaga Sari, Kabupaten Marauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024)./Foto Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden/Instagram @jokowi
icon caption
Mantan presiden Joko Widodo berbincang dengan seorang petani di Desa Telaga Sari, Kabupaten Marauke, Papua Selatan, Selasa (23/7/2024)./Foto Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden/Instagram @jokowi
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 22 Oktober 2024 16:09

Nelangsa petani guram: Lahan tergerus, pemerintah abai

Sensus Pertanian 2023 menyebut, jumlah petani guram di Indonesia sebanyak 17.248.181 orang.
swipe

Wikarsa, 48 tahun, seakan tengah menguatkan jiwanya yang rapuh ketika memandangi beberapa temannya yang beralih profesi menjadi kuli bangunan karena tak lagi bisa berharap dari pertanian. Soalnya, lahan sawah sudah terjual oleh pengembang untuk kluster perumahan. Dia seorang diri hanya bisa menanam padi dan sedikit cabai untuk sekadar tidak menganggur.

“Tapi karena lahan sebagian sudah jadi rumah, agak sulit air sekarang. Air terhalang perumahan,” kata Wikarsa kepada Alinea.id, Minggu (20/10).

Warga Poris, Tangerang, Banten ini bercerita, pada dekade 1980-an di sekitar kampungnya yang berbatasan dengan Jakarta itu masih banyak sawah milik warga. Namun, sekarang yang tersisa hanya kurang dari 0,5 hektare.

“Sekarang yang petani sisa 10 orang,” ujar Wikarsa.

Wikarsa pun mengaku tengah mencari pekerjaan selain menjadi kuli bangunan. Sawah garapannya ingin dia wariskan ke anak untuk dibangun rumah. Sebab, katanya, sulit menjual hasil panen jika hanya mengandalkan lahan kurang dari 1 hektare, dengan harga yang selalu jatuh.

“Paling dapat berapa karung dari 800 meter persegi, enggak sampai 10 karung besar. Hasilnya enggak bisa buat dijual, paling buat konsumsi sendiri,” tutur Wikarsa.

Petani guram asal Tuban, Jawa Timur, Punadi, 63 tahun, juga mengalami nasib serupa. Dia mengatakan, punya lahan tidak sampai 0,5 hektare. Karena komoditas yang dia tanam, seperti jagung dan padi dihargai murah, Pundai mengaku sering ketiban rugi ketika masa panen.

“Bayangin saat panen raya, harga jagung Rp2.800 dan padi Rp3.600 per kilogram,” ujar Punadi.

Menurutnya, menjalani hidup sebagai petani guram sering tidak balik modal. Penyebabnya, ongkos produksi dan biaya pupuk yang dikeluarkan tidak sebanding dengan harga komoditas saat masa panen.

“Kendalanya pupuk subsidi sulit, nonsubsidi mahal. Harga sering jatuh. Saya punya masalah pupuk yang mahal. Saya akali dengan 50-50, yaitu 50 pupuk kimia, 50 organik,” ujar Punadi.

Sementara Wiryono, 60 tahun, yang juga petani guram asal Tuban menilai, pemerintah hanya ingin harga murah untuk memuaskan konsumen, tetapi tidak memikirkan dampak yang dialami petani guram.

“Kalau dibilang rugi ya rugi terus, tapi ya saya bisanya jadi petani, enggak bisa kerja lain,” kata Wiryono.

“Pemerintah itu enggak mengurusi petani guram. Mereka repot ketika harga naik. Begitu harga turun, pemerintah diam saja. Padahal petani rugi.”

Setiap musim panen, Wiryono menyebut, komoditas pangan selalu anjlok dan tidak menutup ongkos yang dikeluarkan. “Jagung itu Rp4.200 per kilogram, kalau gabah itu Rp6.400 per kilogram, kalau cabai Rp7.000 per kilogram,” kata Wiryono.

Jumlah petani guram—petani yang mengusahakan tanaman semusim, tanaman tahunan, atau menggunakan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare—terus bertambah. Sensus Pertanian 2023 menyebut, jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia sebanyak 27.799.280 orang. Sedangkan jumlah petani guram di Indonesia sebanyak 17.248.181 orang.

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai, tren “guremisasi” pada petani sudah berlangsung sejak dasawarsa 1970-an. Asa untuk menahan laju guremisasi pada petani sempat terbuka ketika di masa pemerintahannya, Joko Widodo atau Jokowi, menjanjikan reforma agraria. Rencananya Jokowi akan mendistribusikan 9 juta hektare tanah dan 12 hektare hutan kepada petani untuk digarap.

“Tapi Jokowi tidak kunjung membagikan tanah sebesar itu kepada petani,” ucap Henry, Kamis (17/10).

Henry menyebut, selama satu dasawarsa pemerintahan Jokowi, yang terjadi justru masifnya konversi lahan pangan dan non-pangan menjadi perkebunan tanaman industri. Sekitar 1,5 juta hektare lahan terkonversi menjadi perkebunan.

“Selain itu juga untuk proyek negara. Sebagai contoh, Bandara Kertajati (Majalengka, Jawa Barat), itu berapa ribu hektare yang diambil. Padahal, jelas bandara itu tidak efektif,” kata Henry.

“Lalu ada Sirkuit Mandalika (Nusa Tenggara Barat), itu semuanya sawah-sawah yang diambil oleh pemerintah Jokowi atas nama PSN (proyek strategis nasional). Belum lagi PIK (Pondok Indah Kapuk) yang ada di Banten. Kelompok Lippo yang mengarah sampai Karawang sana. Reforma agraria tidak jalan.”

Di sisi lain, realita di lapangan, ujar Henry, pemerintahan Jokowi lebih banyak menyerahkan usaha-usaha pertanian berskala besar bukan kepada rakyat atau petani kecil, tetapi kepada korporasi. Potret ini bisa dilihat dari konsep food estate, yang justru dinikmati korporasi pertanian yang dekat dengan kekuasaan.

Di samping itu, jerih payah petani guram yang sudah menanam aneka komoditas pangan pun tidak pernah dihargai dengan stabilitas harga ketika panen. Akibatnya, petani guram selalu dihantui kerugian dan kesenjangan ekonomi.

“Kemiskinan itu terjadi di desa-desa,” tutur Henry.

Henry berpendapat, Presiden Prabowo Subianto yang baru dilantik, harus menyadari bila Jokowi meninggalkan catatan kurang positif dalam urusan menahan laju petani guram. Oleh karena itu, dia berpesan, Prabowo tidak ikut melanggar janji seperti Jokowi, yang urung memberikan redistribusi tanah kepada petani.

“Prabowo harus berpihak kepada pertanian rakyat dengan koperasi. Bukan malah mendorong korporasi-korporasi besar, seperti zaman kolonial Belanda,” kata Henry.

“(Lalu) produk pertanian kita diarahkan untuk kebutuhan nasional, bukan untuk ekspor.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan