Ada banyak platform film berbayar yang tersedia saat ini di kala kita malas ke gedung pemutaran film untuk mencari tontonan terbaru. Salah satunya Netflix.
Netflix merupakan raksasa hiburan penyedia film dan televisi serta beberapa program yang dibuat sendiri dengan layanan berlangganan streaming. Akhir-akhir ini Netflix memiliki permasalahan akibat beberapa film yang ditayangkan.
Konten Netflix dinilai kebablasan. Ini berkaca pada sejumlah kasus yang terjadi di sejumlah dunia. Seperti film Girl, yang dianggap tak pantas karena menayangkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Selain itu, juga sitkom Netflix, yakni Atypical, yang dianggap sensitif terkait masalah kencan seorang pria autis. Kritikus mengatakan kalau acara ini hanya menggambarkan pria autis sebagai stereotip yang kutu buku.
Menanggapi hal tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah mewacanakan penyensoran konten Netflix mengacu pada Undang-Undang Penyiaran. Namun, wacana tersebut belum terealisasikan.
Komisioner KPI Yuliandre Darwis mengatakan, ingin mendefinisikan penyiaran secara maksimum, secara kompleks. Tak hanya pada televisi dan radio, namun melalui media penyiaran lainnya seperti Netflix.
Menurutnya, alangkah baiknya jika ada undang-undang yang meregulasi terhadap konten yang disiarkan melalui media apapun. Seperti televisi, konten yang mengandung unsur dewasa memiliki jam tayang yang telah diatur KPI.
"Nah kalau di Netflix gimana, kan itu berbayar, itu Netfilxnya yang harus menyesuaikan. Kalau ada film-film seperti membunuh yang sadis, melecehkan bangsa, itu harus difilter agar cocok dengan bangsa lain," ujar Yuliandre saat dihubungi, Senin (13/1).
Ia pun mengharapkan ada diskusi dengan pihak terkait ihwal tayangan atau konten yang akan disiarkan. "Bukan kita harus membatasi, tetapi mereka harus tahu batasan-batasan. Jadi bukan ada pelarangan, tetapi harus ada batasan-batasan. Saya harap ada diskusi di situ," ujarnya.
Selain itu, dengan adanya perkembangan televisi maupun media lain yang terhubung dengan Netflix memiliki pengaman yang ketat. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan Netflix bagi anak-anak.
"Sekarang kan juga banyak di remote televisi yang ada 'Netflix button', saya harap itu ada semacam password untuk tombol itu, agar tidak semua anak bisa sembarang nonton," katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua KPI Agung Suprio menyebut, selama sepuluh tahun terakhir puluhan juta orang sudah berhenti berlangganan TV kabel di Amerika Serikat dan memilih menikmati layanan streaming seperti Netflix, Amazon Prime Video, Hulu, dan yang sejenisnya.
Adapun di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Denmark, Swiss, dan Jerman pelanggan TV kabel terus menurun. Pun terjadi di negara Asia, seperti India.
"Di Indonesia, kondisinya pun nyaris sama. Beberapa TV kabel kolaps. MNC vision pemain besar TV kabel, pendapatannya menurun sejak 2014," kata Agung.
Menurutnya, pengguna TV kabel beralih membeli paket data internet yang digunakan untuk menonton TV streaming. Namun, ia mengaku KPI memang belum menjangkau pengaturan atas layanan TV streaming.
Ia mengatakan, regulasi masih berpijak pada prinsip-prinsip penyiaran konvensional, yaitu televisi dan radio konvensional atau tradisional. Padahal, konsumsi masyarakat perkotaan dan generasi milenial telah bergeser kepada layanan televisi streaming.
"Terdapat kekosongan regulasi. Oleh karena itu, menjadi wajar jika terjadi respons yang berbeda-beda antarlembaga atas kehadiran televisi streaming, seperti Netflix. Saya ingin mengajak semua pemangku kepentingan untuk menyamakan persepsi seputar trend penyiaran ke depan. Dalam penyamaan persepsi tersebut ada satu hal yang menurut saya tidak dapat ditawar, yaitu agar televisi streaming berbadan hukum tetap di Indonesia," ujar dia.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berharap pengawasan dari hulu ke hilir terhadap konten di Netflix, yaitu memiliki badan usaha tetap di Indonesia.
"Dengan badan usaha tetap, maka mereka akan patuh dan harus patuh pada aturan lokal. Seperti urusan perpajakan, aturan batasan usia, sensor dan bagaimana mereka juga bisa ikut mencerdaskan bangsa dan memberikan porsi yang cukup besar bagi lokal agar kreativitasnya diakomodasi di Netflix," kata Heru.
Sementara, terkait konten, Indonesia memiliki aturan mengenai konten internet dan film. Untuk internet, ada UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Salah satunya melarang penyebaran pornografi, ujaran kebencian, dan semua hal berbasis SARA, dan lainnya. Adapun di perfilman ada klasifikasi usia dan sensor.
Heru menegaskan, pada dasarnya konten memang bebas namun terbatas. Salah satunya ada batasan usia dan hal-hal yang tidak pantas maka akan disensor. "Karena tidak semua penonton adalah di atas 17 tahun dan tidak semua film untuk semua umur," ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan tempat bagi kreator lokal untuk berkreativitas. "Tetapi ini ibarat pisau bermata dua, kalau kebablasan hal yang negatif akan sangat merugikan. misal konten seks bebas, konten LGBT," ucapnya.