Nihil keadilan bagi buruh perempuan di perkebunan sawit
Beban kerja yang punya risiko berlapis membuat buruh perempuan dalam posisi tertindas dan tidak sejahtera. Belum lagi upah yang jomplang dari buruh laki-laki dan ketiadaan cuti haid serta hamil, membuat pekerja perempuan dalam posisi sulit.
Misalnya, menurut catatan Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit (FSBKS) Kalimantan Barat, banyak buruh perempuan di perkebunan sawit yang tidak punya status jelas dalam konteks ketenagakerjaan. Hal itu membuat mereka tak mendapat haknya sebagai pekerja.
Dari pendataan FSBKS Kalimantan Barat, banyak buruh perempuan yang punya beban kerja fisik berat. Contohnya, dalam proses pemupukan, beberapa perempuan mesti mengangkut pupuk dari gudang ke truk. Proses itu berlanjut hingga pengeceran pupuk di lapangan.
“Target kerja berkisar 600 kilogram-700 kilogram per orang. Jika target itu belum selesai hari ini karena cuaca misalnya, diselesaikan keesokan hari dengan ditambah target kerja harian 600 kilogram lagi,” kata Ketua FSBKS Kalimantan Barat, Yublina Oematan, seperti dikutip dari Kompas, Kamis (8/11).
Sedangkan dari sisi fasilitas kerja, FSBKS Kalimantan Barat mencatat, sejumlah perempuan buruh tak dapat alat pelindung diri (APD). Jika ada, APD yang diberikan pun tak sesuai dengan lingkungan kerja, sehingga membuat mereka kepanasan. Kondisi tersebut membuat mereka rentan terpapar bahan kimia pupuk kala bekerja.
Celakanya lagi, tidak ada fasilitas pemeriksaan kesehatan secara berkala. Bila ada, hasil pengecekannya sering kali tidak diberikan. Akhirnya, mereka tak benar-benar mengetahui kondisi kesehatannya.
Menurut Presiden Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat, kondisi buruh perempuan yang tertindas karena tidak mendapat hak serupa pekerja laki-laki, memang jamak terjadi di perkebunan sawit. Kondisi ini terjadi lantaran tidak ada pengawasan yang dilakukan pemerintah, serta tidak berfungsinya serikat pekerja dalam mengadvokasi hak buruh perempuan perkebunan sawit.
“Kurang lebih ada 90% buruh perempuan sawit itu mengalami kondisi yang tidak memenuhi keselamatan kerja. Upah yang tidak layak serta status kerja yang tidak jelas. Kemudian, banyak yang tidak mendapatkan cuti haid dan cuti hamil,” kata Mirah kepada Alinea.id, Minggu (10/11).
“Itu banyak terjadi di sektor industri dan perkebunan sawit yang didominasi oleh pekerja perempuan.”
Mirah mengatakan, pengawas dari dinas ketenagakerjaan di daerah kerap tidak berkutik bila ada laporan ketidakadilan buruh perempuan di perkebunan sawit. Sebab, perkebunan sawit milik perusahaan besar, yang sering kali memiliki relasi dan persekongkolan dengan pemerintah daerah.
Menurut Mirah pengawas dari dinas ketenagakerjaan di daerah kerap tidak berkutik bila ada laporan ketidakadilan buruh perempuan di perkebunan sawit. Sebab, perkebunan sawit milik perusahaan besar yang seringkali memiliki relasi dan persengkokolan dengan pemerintah daerah.
Di sisi lain, jika terjadi pelanggaran, buruh perempuan di perkebunan sawit enggan melapor ke serikat pekerja setempat. Alasannya, khawatir dipecat. Padahal, upah yang tidak layak dan ketidakadilan hak seperti jaminan kesehatan kerja, banyak terjadi.
“Selain itu, banyak perusahaan bermain dengan pemerintah setempat. Akhirnya, hukum tidak ditegakan,” ujar Mirah.
Mirah menilai, dinas ketenagakerjaan di daerah harus serius mengawasi penegakan aturan di perkebunan sawit, terutama dalam melindungi hak pekerja perempuan. Soalnya, yang memiliki kewenangan menindak adalah instansi pemerintah.
“Kementerian Ketenagakerjaan mungkin sudah melakukan ini-itu. Tapi, bagaimana dengan pemda setempat? Kecamatan atau kelurahan itu penting untuk melakukan penegakan hukum,” kata Mirah.
Sementara itu, spesialis buruh dari lembaga Sawit Watch, Zidane menilai, kondisi ketidakadilan yang dialami buruh perempuan di perkebunan sawit terjadi pada mereka yang berstatus pekerja harian lepas, yang hanya ikut membantu pencapaian target suaminya. Maka, hal itu menjadi legitimasi perusahaan untuk tidak memberi hak yang sama pada mereka.
“Sebagai BHL (buruh harian lepas), tentu saja upah mereka di bawah ketentuan UMK (upah minimum kabupaten/kota) karena dibayar berdasarkan berapa hari bekerja dalam satu bulan,” ujar Zidane, Sabtu (9/11).
“Di beberapa perkebunan sawit, ada BHL yang bekerja hanya delapan atau 10 hari dalam satu bulan.”
Zidane mengatakan, ada aturan yang melegalkan hubungan kerja harian lepas, yakni Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Aturan itu, kata Zidane, semestinya dicabut pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah harus benar-benar melakukan monitoring atas kondisi kerja buruh perempuan di perkebunan sawit. Penindakan terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan hak buruh juga harus dilakukan pemerintah.
“Pemerintah harusnya menetapkan kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit yang berisi larangan hubungan kerja BHL dan/atau hubungan kerja tidak permanen, juga memastikan ketersediaan fasilitas untuk buruh perempuan,” tutur Zidane.
“Tidak kalah penting, layanan pemeriksaan kesehatan harus diberikan kepada perempuan buruh sawit. Terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan bahan agro kimia yang terkandung pada pupuk dan penyemprot hama.”