Nomofobia: Seakan dunia kiamat tanpa ponsel
Di tengah perkembangan pesat dunia digital, kita tak bisa lepas dari perangkat elektronik yang kerap dibawa setiap hari: ponsel pintar. Selain berkomunikasi, ponsel pintar juga bisa dimanfaatkan untuk banyak kebutuhan, mulai dari menjelajah internet, memutar musik, menonton video, memotret, merekam suara dan video, bermain gim, berbelanja online, bank digital, dan sebagainya.
Tak heran, dengan segala manfaat tersebut, pengguna ponsel pintar terus naik dari tahun ke tahun. Merujuk laporan BankMyCell, hingga November 2023 jumlah pengguna ponsel pintar di seluruh dunia mencapai 6,92 miliar—setara 85,74% dari populasi dunia.
Sedangkan menurut laporan GSMA bertajuk “State of Mobile Internet Connectivity Report 2023”, pada akhir 2022 jumlah orang di seluruh dunia yang menggunakan internet sululer meningkat menjadi 4,6 miliar—setara 57% dari populasi global.
Di sisi lain, data Newzoo menyebut, Indonesia merupakan negara peringkat ke-4 dengan pengguna ponsel pintar terbesar di dunia. Jumlah penggunanya mencapai 192,15 miliar—setara 69,7% dari populasi. Indonesia hanya kalah dari China (910,04 miliar), India (647,53 miliar), dan Amerika Serikat (249,29 miliar).
Dengan begitu banyaknya kegunaan ponsel pintar di genggaman tangan, tak jarang kita merasa cemas kala tak dapat menyalakannya karena kehabisan baterai, merasa khawatir ketika ponsel pintar kita hilang, atau panik saat tak ada sinyal. Bila merasakan segala hal tadi, barangkali kita punya gejala nomofobia.
Nomofobia: Gejala dan penanganannya
Riset perusahaan akuntansi terbesar di dunia, Deloitte menemukan, sekitar 20% dari kita selalu memeriksa ponsel lebih dari 50 kali setiap hari. Itu setara dengan memeriksa ponsel setiap 20 menit sekali di jam-jam terjaga.
Menurut para peneliti dari Monash University, antara lain Fareed Kaviani, Brady Robards, Kristie L. Young, dan Sjaan Koppel dalam riset mereka di International Journal of Environmental Research and Public Health (September, 2020) nomofobia adalah akronim dari no mobile phone phobia. Istilah ini merupakan jenis fobia baru, yang merujuk pada ketidaknyamanan, kegelisahan, atau kecemasan yang disebabkan kehilangan akses dengan ponsel pintar.
“Singkatnya, ketakutan kehilangan telepon genggam memiliki hubungan dengan ciri psikometrik yang dapat menyebabkan masalah perilaku,” tulis Kaviani dkk.
“Lebih dari 42 penelitian yang fokus pada nomofobia menemukan, kondisi ini ada secara global.”
Sederhananya, nomofobia adalah kecanduan kita kepada ponsel pintar. Spesialis rehabilitasi psikososial, pendidik psikologi, dan penulis buku The Everything Psychology Book, Kendra Cherry dalam Verywell Mind menyebut, nomofobia belum diakui secara resmi sebagai gangguan mental oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5-TR).
Cherry menulis, istilah nomofobia pertama kali dikemukakan dalam sebuah riset yang dilakukan Kantor Pos Inggris pada 2008. Penelitian itu menggunakan sampel lebih dari 2.100 orang dewasa. Temuannya, 53% peserta mengalami nomofobia.
“Kondisi ini ditandai dengan perasaan kecemasan ketika orang kehilangan ponsel mereka, kehabisan baterai, atau tidak ada layanan seluler,” tulis Cherry.
“Penelitian tersebut mengungkapkan, ketakutan ini dapat begitu kuat, sehingga banyak orang tidak pernah mematikan ponsel mereka, bahkan di malam hari.”
Cherry mengatakan, meski nomofobia bukanlah diagnosis klinis, tetapi ada beberapa tanda yang umum dapat diidentifikasi terkait dengan fobia ini, antara lain tak kuasa mematikan ponsel, selalu memeriksa ponsel, mengisi daya saat baterai hampir penuh terisi, membawa ponsel ke mana pun bahkan ke kamar mandi, berulang kali memastikan membawa ponsel, takut kehilangan sinyal atau jaringan internet, khawatir tentang hal-hal negatif yang terjadi, stres karena terputus dari kehadiran online seseorang, serta cemas melewatkan kegiatan yang direncanakan di perangkat seluler.
“Selain gejala emosional dan kognitif, seseorang juga dapat mengalami gejala fisik, seperti bernapas lebih cepat, denyut jantung meningkat, berkeringat lebih banyak, dan mungkin gemetar,” ujar Cherry.
“Mereka juga mungkin mulai merasa lemah atau pusing. Dalam kasus yang parah, gejala ketakutan ini dapat berkembang menjadi serangan panik.”
Kaviani dkk, dalam riset mereka tentang nomofobia di Australia menemukan, ada korelasi yang kuat antara nomofobia dan tiga faktor penggunaan ponsel pintar yang bermasalah, seperti ketergantungan, serta penggunaan di area terlarang dan membahayakan.
“Hampir semua responden kami melaporkan beberapa bentuk nomofobia,” tulis para peneliti.
“37,3% punya tingkat (nomofobia) ringan, 48,7% punya tingkat sedang, dan 13,2% melaporkan tingkat yang parah.”
Kaviani dkk menulis, sejumlah perilaku yang bermasalah dapat muncul dari penggunaan ponsel. Pengguna ponsel bisa menjadi ketergantungan, sehingga tak bisa mematikan telepon, merasa kehilangan tanpanya, merasa tak dapat hidup tanpanya, atau mungkin tak dapat menahan keinginan menggunakan telepon.
“Penggunaan fungsi tertentu pada ponsel di area terlarang atau dilarang, seperti perpustakaan, bioskop, atau pesawat terbang,” tulis Kaviani dkk.
Kaviani dkk menyebut, seseorang dengan usia yang lebih muda dan lebih banyak waktu senggang menggunakan ponsel per hari secara signifikan meningkatkan masalah ketergantungan, serta penggunaan di area terlarang dan berbahaya. Penelitian lain juga menyinggung terkait usia muda dengan nomofobia.
Misalnya, dikutip dari Verywell Mind, National Institute on Drug Abuse for Teens yang menyebut, kecemasan terhadap akses pada ponsel lebih umum terjadi pada remaja dan dewasa muda. Riset Sei Yon Sohn, Philippa Rees, Bethany Wildridge, Nicola J. Kalk, dan Ben Carter dari King’s College London di BMC Psychiatry (November, 2019) pun menemukan, remaja paling terpengaruh nomofobia.
Penelitian Yon Sohn dkk menunjukkan, satu dari empat remaja memiliki masalah dalam penggunaan ponsel pintar. “Suatu pola yang mencerminkan adiksi perilaku,” tulis para peneliti. Menurut mereka, ada hubungan yang konsisten antara masalah penggunaan ponsel dengan gejala kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, stres, dan pola tidur yang buruk.
Atas dasar kecenderungan tersebut, Cherry menyimpulkan, penyebabnya kelompok usia muda sebagian besar adalah generasi digital. Mereka lahir dan dibesarkan di era teknologi digital.
“Mereka memiliki pengalaman dini dengan komputer, internet, dan ponsel—perangkat ini sering menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari,” kata Cherry, seperti dikutip dari Verywell Mind.
Terlepas dari itu, psikolog klinis Michele Leno dan Blair Steel, dikutip dari CNBC, menyarankan beberapa cara untuk melepaskan diri dari ponsel, antara lain bersantai tanpa ponsel selama waktu senggang, niatkan tak menggunakan ponsel selama satu jam pada waktu tertentu, tinggalkan ponsel di rumah atau matikan ketika pergi, dan pakai jam tangan untuk mengecek waktu alih-alih bergantung pada ponsel.
Lalu, gunakan kalender untuk menjadwalkan acara penting, cari hobi baru yang menghabiskan waktu tanpa ponsel, pelajari soal nomofobia untuk mengetahui tanda-tandanya, buang pikiran negatif soal tak punya ponsel, mediasi atau latihan pernapasan untuk mengatasi kecemasan.
“Dan cari bantuan psikolog dalam kasus yang parah,” kata Leno dan Steel kepada CNBC.