Nostalgia rasa ngeri dalam komik siksa neraka
Setiap insan yang beragama niscaya percaya ada kehidupan setelah kematian. Di alam baka, manusia akan menerima ganjaran atas segala perilakunya di dunia. Bila amalnya baik, ia akan masuk surga. Jika buruk, neraka tempatnya.
Maka, neraka menjadi momok yang menakutkan bagi mereka yang percaya. Selain diingatkan melalui ceramah agama, neraka pun menjadi tema “menyeramkan” sebuah komik. Anak-anak yang tumbuh pada dekade 1970-an hingga 1990-an tentu tak asing dengan komik siksa neraka.
Belum lagi membuka, membaca, dan melihat isinya, sampulnya saja sudah bikin bulu kuduk merinding. Ditampilkan aneka kengerian, seperti orang disetrika, terbakar di api yang berkobar, dipotong lidahnya dengan gunting, dan sebagainya.
Biasanya, di sampul belakang komik tertulis nasihat. Misalnya, komik Siksa Neraka karya MB Rahimsyah dan Irsyabul Anam.
“Adik-adik pembaca inilah selintas gambaran tentang neraka, kita harus berhati-hati dalam menempuh hidup di dunia ini. Tuhan Maha Pengampun, tetapi kita tidak boleh sembarangan berbuat dosa karena setitik kejahatan yang kita lakukan pasti akan diperhitungkan, demikian pula setitik kebaikan nanti juga akan mendapat pahala, siapa saja yang beriman, bertakwa, dan berama saleh, berbakti kepada kedua orang tuanya maka nantinya dia akan masuk surga. Apabila kita terlanjur berbuat dosa maka segeralah bertobat, agar mendapat ampunan Allah dan terhindar dari siksa neraka.”
Dari narasinya, terlihat memang target pembacanya adalah anak-anak. Salah seorang pembaca komik bertema siksa neraka adalah Bodi Kurniawan. Ia bukan anak-anak yang tumbuh di kota besar. Bodi tinggal di Kabupaten Bungo, Jambi. Pada 1990-an, ketika ia masih anak-anak, Bodi kerap membeli komik siksa Neraka yang dijajakan penjual mainan di depan sekolahnya.
"Saat itu, saya belum paham apa itu komik. Tapi senang saja baca cerita azab-azab yang ditimpa pada orang-orang yang zalim seperti cerita komik itu," kata Bodi saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (10/6).
Meski tak berdomisili di kota besar, menurut Bodi, akses untuk membeli komik ini cukup mudah. Selain bisa ditemukan di lapak penjual mainan anak-anak di depan sekolahnya, di pasar tradisional juga ada yang menjual. Harganya pun terjangkau.
“Seingat saya sekitar Rp 400 waktu itu. Mungkin sekitar tahun 1996 atau 1997,” ucap Budi.
Walau sudah berlangsung cukup lama, tampaknya memori Bodi masih menangkap ragam adegan ngeri siksaan neraka di dalam komik itu.
“Ada gambar wanita yang dipotong lidahnya dengan gunting, ada juga memotong tangannya sendiri dengan gergaji,” ujar Bodi.
Penerbit rumahan, distribusi masif
Pembuat komik bertema siksaan neraka, di antaranya MB Rahimsyah dan Irsyabul Anam. Meski begitu, ada banyak versi komik yang menjual siksa neraka, dan dibuat komikus lain. Kolektor dan pemerhati komik Indonesia Iwan Gunawan mengatakan, banyak pula komik saat itu yang tak mencantumkan nama pembuatnya.
“Maka, sulit juga mengatakan siapa yang produktif,” kata Iwan yang mulai mengoleksi komik sejak 1993, ketika dihubungi, Senin (10/6).
Aneka judulnya juga bermacam-macam. Ada seri Siksa Neraka, Penghuni Neraka Jahanam, Siksa Bagi Para Pelacur, Pedihnya Siksa Neraka, dan lain-lain. Penerbitnya pun beragam, di antaranya Pustaka Agung Harapan di Surabaya dan Sandro Jaya di Jakarta.
Menurut pakar komik dan pengamat budaya pop Hikmat Darmawan, mayoritas komik siksa neraka diterbitkan penerbit sekelas industri rumahan. Akibatnya, sangat sulit menemukan catatan resmi yang bisa mengukur jumlah edisi yang terjual.
Akan tetapi, dari penerbit semacam ini, Hikmat mengatakan, distribusinya menjadi masif dan menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Biaya yang dikeluarkan untuk mendistribusikannya juga sangat murah.
Komik-komik itu, sepengetahuan Hikmat, tak hanya terbit di kota besar seperti Jakarta. Kota kecil sekalipun juga ikut menerbitkan komik bergaya serupa. Tak heran, Bodi Kurniawan yang tinggal di Kabupaten Bungo, Jambi juga bisa menikmati pedihnya gambar-gambar fiktif neraka.
“Industri rumahan mereka dimodali oleh agen yang menyuplai ke lapak-lapak. Tapi industri rumahan itu sudah tidak dapat dilacak lagi, karena sudah direproduksi berulang kali. Kelemahannya, kita tidak pernah tahu omsetnya berapa, konsumsinya bagaimana. Tidak ada catatan tersebar ke mana saja,” kata Hikmat saat dihubungi, Senin (10/6).
Di sisi lain, Iwan Gunawan berpendapat, komik itu sempat melambung di era 1970-1980-an. Kata Iwan, komik bertema pedihnya azab para pendosa ini juga bisa menghidupkan usaha penerbitan pada 1980.
“Saya pernah wawancara Ibu Erlina salah satu pemilik penerbit di Bandung. Dia mengatakan, komik neraka ini salah satu yang mendukung usaha penerbitannya. Sekitar tahun 1980-an itu paling laris,” kata Iwan.
Setiap insan yang beragama niscaya percaya ada kehidupan setelah kematian. Di alam baka, manusia akan menerima ganjaran atas segala perilakunya di dunia. Bila amalnya baik, ia akan masuk surga. Jika buruk, neraka tempatnya.
Maka, neraka menjadi momok yang menakutkan bagi mereka yang percaya. Selain diingatkan melalui ceramah agama, neraka pun menjadi tema “menyeramkan” sebuah komik. Anak-anak yang tumbuh pada dekade 1970-an hingga 1990-an tentu tak asing dengan komik siksa neraka.
Belum lagi membuka, membaca, dan melihat isinya, sampulnya saja sudah bikin bulu kuduk merinding. Ditampilkan aneka kengerian, seperti orang disetrika, terbakar di api yang berkobar, dipotong lidahnya dengan gunting, dan sebagainya.
Biasanya, di sampul belakang komik tertulis nasihat. Misalnya, komik Siksa Neraka karya MB Rahimsyah dan Irsyabul Anam.
“Adik-adik pembaca inilah selintas gambaran tentang neraka, kita harus berhati-hati dalam menempuh hidup di dunia ini. Tuhan Maha Pengampun, tetapi kita tidak boleh sembarangan berbuat dosa karena setitik kejahatan yang kita lakukan pasti akan diperhitungkan, demikian pula setitik kebaikan nanti juga akan mendapat pahala, siapa saja yang beriman, bertakwa, dan berama saleh, berbakti kepada kedua orang tuanya maka nantinya dia akan masuk surga. Apabila kita terlanjur berbuat dosa maka segeralah bertobat, agar mendapat ampunan Allah dan terhindar dari siksa neraka.”
Dari narasinya, terlihat memang target pembacanya adalah anak-anak. Salah seorang pembaca komik bertema siksa neraka adalah Bodi Kurniawan. Ia bukan anak-anak yang tumbuh di kota besar. Bodi tinggal di Kabupaten Bungo, Jambi. Pada 1990-an, ketika ia masih anak-anak, Bodi kerap membeli komik siksa Neraka yang dijajakan penjual mainan di depan sekolahnya.
"Saat itu, saya belum paham apa itu komik. Tapi senang saja baca cerita azab-azab yang ditimpa pada orang-orang yang zalim seperti cerita komik itu," kata Bodi saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (10/6).
Meski tak berdomisili di kota besar, menurut Bodi, akses untuk membeli komik ini cukup mudah. Selain bisa ditemukan di lapak penjual mainan anak-anak di depan sekolahnya, di pasar tradisional juga ada yang menjual. Harganya pun terjangkau.
“Seingat saya sekitar Rp 400 waktu itu. Mungkin sekitar tahun 1996 atau 1997,” ucap Budi.
Walau sudah berlangsung cukup lama, tampaknya memori Bodi masih menangkap ragam adegan ngeri siksaan neraka di dalam komik itu.
“Ada gambar wanita yang dipotong lidahnya dengan gunting, ada juga memotong tangannya sendiri dengan gergaji,” ujar Bodi.
Penerbit rumahan, distribusi masif
Pembuat komik bertema siksaan neraka, di antaranya MB Rahimsyah dan Irsyabul Anam. Meski begitu, ada banyak versi komik yang menjual siksa neraka, dan dibuat komikus lain. Kolektor dan pemerhati komik Indonesia Iwan Gunawan mengatakan, banyak pula komik saat itu yang tak mencantumkan nama pembuatnya.
“Maka, sulit juga mengatakan siapa yang produktif,” kata Iwan yang mulai mengoleksi komik sejak 1993, ketika dihubungi, Senin (10/6).
Aneka judulnya juga bermacam-macam. Ada seri Siksa Neraka, Penghuni Neraka Jahanam, Siksa Bagi Para Pelacur, Pedihnya Siksa Neraka, dan lain-lain. Penerbitnya pun beragam, di antaranya Pustaka Agung Harapan di Surabaya dan Sandro Jaya di Jakarta.
Menurut pakar komik dan pengamat budaya pop Hikmat Darmawan, mayoritas komik siksa neraka diterbitkan penerbit sekelas industri rumahan. Akibatnya, sangat sulit menemukan catatan resmi yang bisa mengukur jumlah edisi yang terjual.
Akan tetapi, dari penerbit semacam ini, Hikmat mengatakan, distribusinya menjadi masif dan menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Biaya yang dikeluarkan untuk mendistribusikannya juga sangat murah.
Komik-komik itu, sepengetahuan Hikmat, tak hanya terbit di kota besar seperti Jakarta. Kota kecil sekalipun juga ikut menerbitkan komik bergaya serupa. Tak heran, Bodi Kurniawan yang tinggal di Kabupaten Bungo, Jambi juga bisa menikmati pedihnya gambar-gambar fiktif neraka.
“Industri rumahan mereka dimodali oleh agen yang menyuplai ke lapak-lapak. Tapi industri rumahan itu sudah tidak dapat dilacak lagi, karena sudah direproduksi berulang kali. Kelemahannya, kita tidak pernah tahu omsetnya berapa, konsumsinya bagaimana. Tidak ada catatan tersebar ke mana saja,” kata Hikmat saat dihubungi, Senin (10/6).
Di sisi lain, Iwan Gunawan berpendapat, komik itu sempat melambung di era 1970-1980-an. Kata Iwan, komik bertema pedihnya azab para pendosa ini juga bisa menghidupkan usaha penerbitan pada 1980.
“Saya pernah wawancara Ibu Erlina salah satu pemilik penerbit di Bandung. Dia mengatakan, komik neraka ini salah satu yang mendukung usaha penerbitannya. Sekitar tahun 1980-an itu paling laris,” kata Iwan.
Inspirasi cerita
Iwan Gunawan menuturkan, ada gaya visual yang memberikan daya tarik sekaligus ketakutan, sehingga komik genre agama laris manis di pasaran. Mulanya, kata dia, komik bergenre agama visualnya tak sevulgar komik yang terbit pada 1980-an.
Pada 1950-an, sebut Iwan, gambarnya tak mengeskploitasi bentuk penyiksaan. Melainkan membuat cerita yang sangat santun untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan, yang dibalut dengan bungkus agama.
Lantas, gaya gambar dan konten cerita berubah pada 1980-an. Bentuk-bentuk penyiksaan ditonjolkan sebagai identitas komik siksa neraka.
“Satu sisi sangat menakutkan pembaca. Anak kecil akan mendapat gambaran yang menakutkan. Berdasarkan ungkapan imajinasi, orang merangkai menjadi cerita untuk kemudian divisualkan dalam bentuk komik. Itu terus menerus diproduksi karena laku,” ujar Iwan.
Sementara itu, Hikmat Darmawan membeberkan dasar teologis yang menjadi rujukan pembuatan komik siksa neraka. Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta tersebut mengatakan, konten komik dinukil dari kitab Durratun Nashihin.
“Kesahihan cerita dalam kitab tersebut banyak diperdebatkan, sebab banyak hadis yang dirujuk memiliki sanad yang sangat lemah,” ucap Hikmat.
Imajinasi pelukis maupun penulis cerita dalam komik tersebut, menurut Hikmat, tidak tunggal. Ia menduga, ada pengaruh mitologi dalam kepercayaan lain, yang mewarnai cerita-cerita komik siksa neraka.
Misalnya, kata dia, cerita soal lapisan neraka dan bentuk siksaan bagi manusia yang durhaka yang bisa ditemukan dalam mitologi China. Komikus Indonesia, menurutnya, juga dipengaruhi komikus Tionghoa yang banyak ditemukan pada awal 1950-an. Sayangnya, belum ada hipotesis yang kukuh mendukung asumsi ini.
Selain itu, pada periode yang sama, di Amerika Serikat juga tengah masif komik yang menampilkan gambar-gambar sadis. “Ada faktor EC Comics di Amerika era 1950 itu sampai juga ke Indonesia,” kata dia.
Tak lagi digandrungi
Komik yang dikoleksi Iwan Gunawan umumnya ia dapat di Jakarta dan Bandung. Iwan hanya mengoleksi sekitar 10 edisi komik siksa neraka. Sebab, peredaran komik itu tak sebanyak komik lain, seperti komik karya Tatang S.
Menurut Iwan, masa kejayaan komik siksa neraka tak bertahan lama. Sejak 1990-an hingga 2000-an, merosot total. Sepanjang dua dekade terakhir, penerbitan dengan tema baru tidak terlihat.
Iwan sendiri mengaku kesulitan berburu komik siksa neraka yang terbit pada 1970-an, dan publikasi sebelumnya. Saat ini, yang banyak beredar di pasaran merupakan hasil produksi ulang dari edisi-edisi yang pernah terbit pada 1970-an.
Dihubungi secara terpisah, komikus Yudis Sutanto menilai, terjadi perubahan drastis kecenderungan penikmat komik pada generasi milenial. Generasi yang tumbuh seiring perkembangan teknologi internet ini, kata Yudis, lebih menggemari genre drama ketimbang genre agama, yang menampilkan sesuatu yang menyeramkan.
Meski begitu, komikus 101 Hantu Nusantara (2010) ini tak menampik, bisa saja komik siksa neraka kembali diterima dalam industri komik Indonesia, jika saja dikemas dengan gambar yang lebih baik dan alur cerita menarik.
"Pernah sih kepikiran mau bikin ulang, tapi ya harus ada izin dari kreatornya atau penerbitnya dulu. Cuma mungkin penerbitnya sekarang sudah enggak ada," katanya.
Sementara itu, Hikmat menolak bila komik siksa neraka dinilai sebagai komik yang paling digandrungi di masanya. Menurutnya, penggemarnya tak lebih dari sekadar ingin mengenang visual dari ancaman siksa-siksa di neraka.
“Komik surga negara itu fokus pada porno penyiksaan (torture porn). Itulah yang membuat dikenang banyak orang. Rata-rata yang dikenang rasa takut. Apakah itu mengubah perilaku. Mungkin iya, tapi pendekatan traumatik itu. Secara psikologi, perkembangannya tidak sehat juga,” ujarnya.