Sudah diketahui, nyamuk bisa menemukan kita dari karbon dioksida dan zat kimia lainnya, yang dilepaskan lewat bau badan dan napas. Penelitian terbaru menunjukkan, ada hal lain yang menjadikan nyamuk dapat mendeteksi kita. Dalam riset para peneliti University of California di jurnal Nature (Agustus, 2024) ditemukan bahwa nyamuk ternyata menggunakan penginderaan inframerah pada antena mereka untuk melacak mangsanya.
Penelitian ini difokuskan pada spesies nyamuk Aedes aegypti, yang bisa menyebar virus, seperti Zika, demam kuning, dan demam berdarah. Dikutip dari Science Alert, para peneliti mengadakan uji coba dengan memasukkan masing-masing 80 nyamuk betina berusia 1-3 minggu ke dalam dua zona berbeda, dengan berbagai inang tiruan dengan kombinasi generator termoelektrik, karbon dioksida napas manusia, dan bau manusia. Lalu merekam dengan video berdurasi lima menit untuk mengamati perilaku nyamuk dalam mencari inang.
Hasilnya, setiap isyarat, seperti karbon dioksida, bau, atau inframerah gagal menarik minat nyamuk. Namun, rasa haus nyamuk terhadap darah meningkat dua kali lipat ketika disodorkan karbon dioksida dan bau ditambah inframerah.
“Setiap isyarat tunggal tidak merangsang aktivitas pencarian inang. Hanya dalam konteks isyarat lain, seperti peningkatan karbon dioksida dan bau manusia, radiasi inframerah membuat perbedaan,” ujar salah seorang peneliti, Craig Montell, dikutip dari Science Alert.
Dengan kata lain, penelitian itu menunjukkan, nyamuk menggunakan deteksi inframerah, bersama dengan isyarat lain yang telah kita ketahui, seperti napas dan bau badan, untuk mencari inangnya.
Para peneliti menduga, deteksi inframerah bisa memberikan bantuan yang dapat diandalkan bagi serangga itu dalam menemukan makanan. Sebab, penglihatan nyamuk tidak terlalu bagus dan bau tak bisa diandalkan jika cuaca berangin atau inangnya tengah bergerak.
ZME Science menulis, nyamuk menggunakan metode radiasi inframerah, yang merupakan bagian dari spektrum cahaya dan dapat menempuh jarak yang lebih jauh daripada panas yang dibawa udara.
“Yang paling mengejutkan saya tentang penelitian ini adalah seberapa kuat isyarat radiasi inframerah,” kata salah seorang peneliti Nicolas A. DeBeaubien, dikutip dari ZME Science.
Para peneliti, dilansir dari Earth, punya hipotesis bahwa panas tubuh kita yang menghasilkan radiasi inframerah, dapat mengenai neuron tertentu pada nyamuk dan mengaktifkannya. Hal ini akan memungkinkan nyamuk mendeteksi radiasi secara tak langsung.
Radiasi inframerah pada kulit terjadi karena paparan sinar matahari. Secara kasat mata, radiasi inframerah tak bisa dilihat. Cuma bisa dirasakan dari energi panas yang ditimbulkan.
Matahari sendiri memancarkan sekitar 50% dari total energi dalam bentuk inframerah. Radiasi ini bisa diserap gas dan uap air pada atmosfer bumi, sebagian juga dapat dipantulkan awan ke luar atmosfer.
Para peneliti mengidentifikasi, ujung antena nyamuk memiliki struktur khusus yang mampu mendetekasi radiasi inframerah, mengandung neuron penginderaan panas. Struktur ini memungkinkan nyamuk merasakan radiasi inframerah terarah. Protein yang peka terhadap suhu, yang dikenal sebagai transient receptor potential ankyrin 1 (TRPA1), membantu mereka mendeteksi radiasi ini, yang secara efektif memperluas jangkauan mereka hingga sekitar 75 sentimeter.
Dalam jarak sekitar 10 sentimeter, tulis Earth, nyamuk bisa mendeteksi panas yang terpancar dari kulit kita. Mereka juga dapat merasakan suhu kulit kita saat hinggap. Temuan penelitian ini dapat membantu meningkatkan metode pengendalian populasi nyamuk. Misalnya, penggunaan termal radiasi inframerah dari sumber di sekitar suhu kulit, bisa membuat perangkap nyamuk lebih efektif.
“Temuan ini juga membantu menjelaskan mengapa pakaian longgar sangat baik dalam mencegah gigitan nyamuk,” tulis Earth.
“Pakaian longgar tidak hanya menghalangi nyamuk mencapai kulit kita, tetapi juga memungkinkan radiasi inframerah menghilang di antara kulit dan pakaian, sehingga nyamuk lebih sulit mendeteksinya.”