Nyanyian Akar Rumput, hadirkan kembali Wiji Thukul dalam gambar
Lampau sudah pencetus pekikan semangat massa aksi itu lenyap. Kehadirannya, hingga kini sekadar melalui warisan yang berbentuk kata-kata.
Hampir 22 tahun lamanya, sosok pria kurus berambut ikal itu diwakili oleh kalimat, Hanya Ada Satu Kata: Lawan!
Dua dekade lebih Wiji Thukul hilang takberkabar. Kini, film dokumenter mencoba menghadirkannya kembali dalam bentuk gambar hidup.
Film itu mengambil puisi yang pernah ditulisnya sebagai judul: Nyanyian Akar Rumput.
Aktivis 1998 Nezar Patria, berharap film dokumenter tersebut dapat menyebarkan semangat dikalangan anak muda untuk menaruh perhatian pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
"Dan yang paling penting adalah apa pun yang terjadi dengan kasus ini (penghilangan paksa), terungkap atau tidak terungkap, kami tidak ingin kasus ini terulang lagi," tutur Pria yang pernah diculik pada 13 Maret 1998 itu.
Jauh yang dikira, di balik keseriusan isu yang dibahas, setidaknya ada satu, dua, bahkan lebih dari lima kali celetukan yang membikin gelak tawa.
Dengan begitu, kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta Pusat dengan dominasi cat berwarna kuning, hitam, dan putih itu tampak cair. Beberapa staf masih duduk di tempat kerjanya masing-masing saat acara berlangsung.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang memberikan kursinya kepada Nezar, menyempatkan berdiri di belakang bar kecil yang dirancang khusus untuk membuat kopi.
Peracik film, Yuda Kurniawan, mengakui telah menyimpan hasrat besar untuk membuat film tentang Wiji Thukul sejak lama.
Hanya saja, ia ingin menyuguhkan cerita yang lebih kekinian. Film dikemas secara pop lantaran segmen yang dituju ialah anak-anak muda.
Yuda menuturkan Nyanyian Akar Rumput adalah film bernuansa musikal. Walakin, gambar hidup itu turut mengingatkan penonton bahwa ada kasus pelanggaran HAM berat yang masih jauh dari pelupuk mata penuntasan kasusnya.
"Setidaknya (setelah nonton film) orang jadi tahu, Ada orang bernama Wiji Thukul yang dihilangkan. Salah satu dari 13 aktivis yang dihilangkan saat Reformasi. Kita menolak lupa. Penghilangan paksa adalah salah satu pelanggaran HAM berat," tegas Yuda.
Dokumenter yang digarap selama empat tahun sejak 2014 sampai 2018 itu, diakui olehnya tidak memiliki kendala berarti. Bahkan, selama proses produksi film, personel Merah Bercerita—nama kelompok musik Fajar Merah putra Wiji Thukul, sangat asik.
"Mungkin umurnya enggak terlalu jauh. Jadi santai, prosesnya juga enggak terlalu terburu-buru," kelakar pria kelahiran 8 Oktober 1982 itu.
Lampau sudah pencetus pekikan semangat massa aksi itu lenyap. Kehadirannya, hingga kini sekadar melalui warisan yang berbentuk kata-kata.
Hampir 22 tahun lamanya, sosok pria kurus berambut ikal itu diwakili oleh kalimat, Hanya Ada Satu Kata: Lawan!
Dua dekade lebih Wiji Thukul hilang takberkabar. Kini, film dokumenter mencoba menghadirkannya kembali dalam bentuk gambar hidup.
Film itu mengambil puisi yang pernah ditulisnya sebagai judul: Nyanyian Akar Rumput.
Aktivis 1998 Nezar Patria, berharap film dokumenter tersebut dapat menyebarkan semangat dikalangan anak muda untuk menaruh perhatian pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
"Dan yang paling penting adalah apa pun yang terjadi dengan kasus ini (penghilangan paksa), terungkap atau tidak terungkap, kami tidak ingin kasus ini terulang lagi," tutur Pria yang pernah diculik pada 13 Maret 1998 itu.
Jauh yang dikira, di balik keseriusan isu yang dibahas, setidaknya ada satu, dua, bahkan lebih dari lima kali celetukan yang membikin gelak tawa.
Dengan begitu, kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta Pusat dengan dominasi cat berwarna kuning, hitam, dan putih itu tampak cair. Beberapa staf masih duduk di tempat kerjanya masing-masing saat acara berlangsung.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang memberikan kursinya kepada Nezar, menyempatkan berdiri di belakang bar kecil yang dirancang khusus untuk membuat kopi.
Peracik film, Yuda Kurniawan, mengakui telah menyimpan hasrat besar untuk membuat film tentang Wiji Thukul sejak lama.
Hanya saja, ia ingin menyuguhkan cerita yang lebih kekinian. Film dikemas secara pop lantaran segmen yang dituju ialah anak-anak muda.
Yuda menuturkan Nyanyian Akar Rumput adalah film bernuansa musikal. Walakin, gambar hidup itu turut mengingatkan penonton bahwa ada kasus pelanggaran HAM berat yang masih jauh dari pelupuk mata penuntasan kasusnya.
"Setidaknya (setelah nonton film) orang jadi tahu, Ada orang bernama Wiji Thukul yang dihilangkan. Salah satu dari 13 aktivis yang dihilangkan saat Reformasi. Kita menolak lupa. Penghilangan paksa adalah salah satu pelanggaran HAM berat," tegas Yuda.
Dokumenter yang digarap selama empat tahun sejak 2014 sampai 2018 itu, diakui olehnya tidak memiliki kendala berarti. Bahkan, selama proses produksi film, personel Merah Bercerita—nama kelompok musik Fajar Merah putra Wiji Thukul, sangat asik.
"Mungkin umurnya enggak terlalu jauh. Jadi santai, prosesnya juga enggak terlalu terburu-buru," kelakar pria kelahiran 8 Oktober 1982 itu.
Sementara anak Wiji Thukul, Fajar Merah, duduk tepat di bawah karikatur bapaknya. Ia menuturkan awal mula proses ia bersedia terlibat di film Nyanyian Akar Rumput.
Yuda mulanya menawarkan pembuatan film dokumenter perjalanan Merah Bercerita. Tanpa dinyana-nyana, alur cerita berangangsur-angsur masuk kepada sosok penyair itu lagi.
Takpelak, semakin membuatnya tidak mempunyai kesempatan untuk enghilangkan bayangan pria yang santer tersiar lenyap sejak 27 Juli 1998 dari dirinya.
"Akhirnya mungkin saya semakin tidak punya kesempatan untuk menghilangkan saya dari gambaran Wiji Thukul," kata dia
Kemunculan film itu, semakin menguatkan pandangan orang terkait dirinya yang memiliki hubungan dengan sang penyair.
Diakui olehnya, ia ingin "menghilangkan" Wiji Thukul karena sendari kecil tidak mengenalnya.
Dengan gamblang, Fajar mengatakan tidak suka disamakan dengan bapaknya karena pada dasarnya mereka adalah dua orang yang berbeda.
Dari sayup-sayup kabar yang dia dengar, bapaknya adalah orang yang gesit dan ceplas-ceplos. Sementara ia, memiliki sifat berkebalikan dari bapaknya.
Terlepas dari itu, pria kelahiran 23 Desember 1993 itu, tidak menampik ingin mengenal dan melepas rindu kepada Wiji Thukul. Melalui film Nyanyian Akar Rumput, diakuinya sedikit bisa membayar kerinduan.
"Bedanya, mungkin saya ada teman-teman yang memang sudah punya, maksudnya orang tuanya sudah meninggal dia bisa ke makam, lah aku ke mana? Ya udah di rumah saja," ujar dia.
Setali tiga uang, Yuda menyebut keterlibatan Fajar bersama grup musiknya karena memang berbicara tentang proses kreatif mereka dalam bermusik.
Hal itu, kata dia, karena dalam film dokumenter yang digarapnya juga merekam perjalanan Merah Bercerita dari panggung ke panggung, termasuk proses rekaman pertama.
Manusia memang acapkali luput, namun yang terlupa itu tetap dicatat sejarah—tertulis atau tidak sekalipun.
Nahasnya, saat ini banyak catatan sejarah tertulis yang hanya mencatat tindak tanduk "orang-orang besar" saja. Termasuk merekam ucapan Joko Widodo, pada 9 Juni 2014. Saat itu, mantan Wali Kota Solo berstatus sebagai calon presiden.
Kala itu, tak dipungkiri nama Jokowi melejit. Ia dielu-elukan rakyat banyak, termasuk korban dan aktivis HAM.
Berlatar belakang sipil, lebih kurang enam tahun yang lalu dia digadang-gadang dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
Bukan tanpa sebab, harapan itu disematkan ke pundak Jokowi karena kompetitornya, Prabowo Subianto dianggap tak bisa diharapkan.
Gayung bersambut, saat itu pejabat yang akrab dengan blusukan menegaskan sikapnya terkait penghilangan paksa kepada Wiji Thukul.
Ia mengatakan, apa pun kondisinya, seniman yang dekat dengan rakyat kecil itu harus ditemukan. "Harus ditemukan. Harus jelas. Bisa ketemu hidup atau meninggal," begitu Jokowi berujar kepada jurnalis di Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 9 Juni 2014.
Janji Jokowi itulah yang diutarakan Usman Hamid. Takpelak, memori yang terbatas ini kembali ke masa-masa itu.
Bersinggungan dengan karya Yuda, ia menilai dokumenter tersebut merupakan pengingat sekaligus penagih serangkaian kata yang pernah ke luar dari mulut Jokowi.
"Jadi saya kira karya Yuda ini menjadi pengingat janji itu dan penanggih janji," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.
Sore semakin mendekat tatkala secara lamat-lamat, seruan panggilan sembahyang bagi yang melaksanakan di waktu petang berkumandang di kejauhan.
Di dalam ruangan, perangai Usman yang serius membikin suasana tampak luput dengan gurauan di awal acara.
Seluruh peserta yang berkisar 20 orang dengan saksama menaruh perhatian pada tiap-tiap kata yang ke luar dari mulutnya.
Diucapkan dari posisi duduk hadirin, Usman mengatakan peluncuran film yang tayang di bioskop pada 16 Januari 2020 dianggap tepat baginya.
Sebab, belum lama ini Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD memberikan pernyataan berkali-kali mengenai niat pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Wacana itu deras bergulir pada November hingga Desember 2019. Melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pemerintah berencana melakukan penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalur nonyudisial atau di luar proses pengadilan.
Tetapi, Usman khawatir agenda itu tidak terealisasi lantaran berkaca pada kasus Talangsari, Lampung yang terjadi pada 1989.
Pada proses penyelesaiannya kasus itu, pemerintah sekadar melakukan deklarasi damai, tandatangan, islah, lalu korban diberikan sejumlah uang dan diberangkatkan ke tanah suci. Tetapi, penyelesaian itu tak menyeret dalangnya.
"Kalau itu yang dilakukan saya khawatir penyelesaian nonyudisial malah menggelapkan permasalah," katanya.
Sejenak ia berhenti sebelum meneruskan pendapatnya yang belum tandas, "Kalau itu digelapkan, maka tidak akan banyak manfaatnya bagi korban, tidak akan mampu membahagiakan korban, tidak akan mampu menjawab tuntutan korban selama dua puluh tahun."
Untuk itu, ujar Usman, Presiden Jokowi perlu diingatkan kembali penyelesaian nonyudisial harus dengan kerangka yang pernah di sampaikan wakil rakyat pada 2009.
Saat itu, DPR memberikan empat rekomendasi untuk penyelesaian kejahatan kemanusiaan. Pertama, merekomendasikan presiden untuk membentuk oengadilan HAM Ad-hoc.
Kedua, merekomendasikan presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang.
Ketiga, merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.
"Lalu yang terakhir adalah merumuskan kebijakan baru untuk mencegah agar peristiwa ini tidak terulang lagi di masa depan. Dengan cara apa? Meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghilangan Orang Secara Paksa," ucapnya.
Usai pernyataan Usman, tak lama berselang Fajar dengan keahliannya memetik gitar.
Senandungnya memecah ruangan kantor. Hadirin, amat menikmati lagu yang dilantunkan olehnya.
Lagu-lagu itu, tidak lain adalah musikalisasi puisi yang ditulis oleh seorang yang dicintai ibunya, Siti Dyah Sujirah atau yang akrab disapa Spion.
Film Nyanyian Akar Rumput resmi tayang pada 16 Januari 2020. Dokumenter tersebut baru bisa dinikmati dinikmati di 10 kota, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Palembang, Makassar, Medan, Bandung dan Purwokerto.
Sebagai informasi, film besutan Yuda Kurniawan ini telah memenangkan 16 penghargaan.
Beberapa di antaranya Piala Citra dengan kategori dokumenter panjang terbaik Festival Film Indonesia 2018, NETPAC Award Jogja, NETPAC Asian Film festival 2018, World Premier & Competition Busan Internasional Film Festival 2018 dan lain-lain.