Sangat sederhana perangainya. Pria yang identik dengan rambut ikal dan kurus itu asyik mencari nada dari gitarnya. Bermodal dua gawai, ia merekam nada-nada tersebut guna mencegah kesalahan awam manusia: Lupa.
Ia duduk di sofa yang sudah termakan usia. Di belakangnya tampak mesin jahit dan tumpukan bahan kain. Pemandangan itu adalah suatu yang lumrah, mengingat ibunya memiliki usaha menjahit yang diberi nama Nganthi Merah. Kediamannya berada di Kampung Kalangan, Jagalan, Solo, Jawa Tengah.
Di sudut ruangan itu, buku-buku tertata rapi. Di antaranya adalah buku yang masih berkaitan dengan bapaknya. Juga novel Ibunda karya Maxim Gorky—penulis asal Soviet, terapit di buku-buku yang ditata secara vertikal.
Pada dindingnya dihiasi beberapa foto, termasuk lukisan atau gambar yang ukurannya lebih menonjol dari potret yang ada di dinding itu. Gambar dalam bingkai foto itu, tak lain adalah potret bapaknya yang dinyatakan hilang pada 27 Juli 1998.
Semua itu tiada lain adalah aktivitas Fajar Merah di awal film dokumenter Nyanyian Akar Rumput yang disutradarai Yuda Kurniawan. Gambar hidup itu berkisah tentang Merah, anak kedua dari pasangan Wiji Thukul dan Siti Dyah Sujirah.
Dokumenter yang digarap dari 2014 sampai 2018 itu mengisahkan perjalanan Merah bersama grup musiknya yang diberi nama Merah Bercerita. Selain putra Wiji yang mengisi vokal dan gitar, tiga personil lainnya adalah Gandhiasta Andarajati pada gitar, Yanuar Arifin mengisi nada bass dan Lintang Bumi sebagai penabuh drum.
Jalan cerita
Secara garis besar, Nyanyian Akar Rumput adalah dokumenter yang menunjukkan perjalanan bermusik Merah Bercerita. Kendati demikian, film itu seakan-akan menunjukkan bahwa musik adalah media untuk berdamai bagi Merah terhadap Wiji.
Bukan tanpa sebab, di usia yang belum lebih dari lima tahun, Merah dipaksa kehilangan perhatian dari bapaknya. Hal itu, yang pada mulanya membuat dia enggan dikaitkan dengan Wiji.
Di lain sisi, absennya Wiji dalam tumbuh kembangnya Merah, membuat Wahyu Susilo—adik Wiji, secara tidak langsung dianggap Merah sebagai orang yang menggantikan peran bapaknya. Hal itu, belakangan diakui oleh Wahyu dalam dokumenter tersebut dengan alasan yang bisa dicari tahu sendiri dengan menonton filmnya.
Nyanyian Akar Rumput juga tak serta-merta menampilkan perjalanan bermusik Merah Bercerita. Dalam perkembangannya, penonton diajak kembali mengenal Wiji, salah satu dari 13 aktivis yang hilang pada 1997-1998 dari sudut pandang keluarga. Semua aktivis itu, sampai saat ini belum ditemukan.
Kelebihan
Sebagai dokumenter, Nyanyian Akar Rumput terbilang gambar hidup yang 'mewah'. Hal itu bukan tanpa sebab, dalam film tersebut terdapat rekaman-rekaman video yang bisa dikatakan tidak pernah tayang sebelumnya.
Sebagai peracik film, Yuda, agaknya ingin membawa dan menyentuh perasaan penonton ke sisi lain dari kehidupan keluarga Wiji melalui rekaman-rekaman video tersebut.
Di lain hal, melalui rekaman yang belum pernah tayang sebelumnya, turut menunjukkan sisi emosinal ketika penyair yang lekat dengan rakyat yang termarjinalkan itu dianugerahi Yap Thiam Hien Award pada 2002.
Kelebihan lain dari dokumenter itu adalah keberhasilan dalam menunjukkan bagaimana jalannya roda kehidupan keluarga Wiji tanpa dibuat-buat.
Pada bagian itu, menyebabkan penonton bisa merasa lebih dekat dengan keluarga seniman yang salah satu karya monumentalnya berjudul Penyair, ditulis lebih kurang 10 tahun sebelum dinyatakan hilang.
Kekurangan
Film yang mengangkat perjalanan musik Merah Bercerita ini belum terlalu mendalam menelisik kehidupan personel lain, selain Fajar Merah. Bila dilihat sebagai grup musik, putra Wiji itu masih terlalu menonjol dalam dokumenter tersebut.
Terkait menyuguhkan pandangan keluarga dalam mengenal sosok Wiji, sang sutradara memang berhasil. Akan tetapi, Nyanyian Akar Rumput belum berhasil menampilkan pandangan 'keluarga' Wiji lainnya yang berasal dari kelompok teater atau Jaringan Kerja Kesenian Rakyat—sebuah organisasi di mana Wiji pernah bergabung di dalamnya.
Walau demikian, secara umum dokumenter tersebut berhasil membuat penonton lebih dekat dengan keluarga Wiji. Di lain hal, 'konflik batin' dalam Nyanyian Akar Rumput antara Merah dengan bapaknya merupakan satu adegan menguras perasaan, yang selama ini barangkali belum banyak diketahui publik.
Bila dinilai dengan rating satu sampai lima, dokumenter ini layak diberi angka empat. Tetapi, film baru bisa dinikmati di 10 kota, antara lain Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Palembang, Makassar, Medan, Bandung dan Purwokerto.
Bagi yang ada di Jakarta, film hanya bisa disaksikan di satu bioskop saja yang tersedia di Plaza yang letaknya di kawasan Senayan, Jakarta Selatan.