close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi obat-obatan./Foto Pexels.com
icon caption
Ilustrasi obat-obatan./Foto Pexels.com
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 22 Desember 2024 12:18

Obat-obatan tak boleh kena PPN 12%

Kenaikan harga obat bakal membebani kelompok masyarakat yang rentan miskin.
swipe

Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% per 1 Januari 2025 dikhawatirkan akan berdampak pada produk-produk farmasi, terutama obat-obatan. Selama ini, obatan-obatan yang diperoleh di luar pemberian jasa kesehatan di rumah sakit, klinik, atau puskesmas masuk dalam kategori barang kena pajak (BKP). 

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan belum ada daftar resmi barang-barang dan jasa apa saja yang tak bakal kena PPN baru. Namun, ia memastikan jasa kesehatan termasuk salah satu produk yang tetap tak dikenai pajak, serupa dengan jasa pendidikan dan barang kebutuhan pokok yang nonpremium. 

Adapun barang kategori mewah yang bakal kena PPN 12% semisal beras premium, buah-buahan premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan medis premium atau VIP, dan listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3500 hingga 6600 VA. 

"Kami akan menyisir untuk kelompok harga barang dan jasa yang masuk kategori barang dan jasa premium tersebut,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12). 

Direktur Kalbe Farma Kartika Setiabudy mengaku masih menunggu kepastian dari pemerintah terkait status obat-obatan yang kena pajak. Sejauh ini, ia berniat untuk mempertahankan agar harga obat-obatan yang dijual tak naik. 

"Obat belum mengarah ke sana (kenaikan). Obat yang pada umumnya generik saat ini pun harganya sudah terjangkau," ujar Kartika seperti dikutip dari Bisnis. 

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022 Pasal 11 ayat (1) menegaskan layanan medis termasuk dalam golongan negative list atau barang yang dikecualikan dari pajak. Pemberian obat-obatan yang termasuk bagian dari layanan medis juga bebas dari rumah sakit. 

Namun, obat-obatan yang dibeli di apotik dan obat "warung" tetap kena PPN. Dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.52/2000, obat-obatan yang akan dikenakan pajak adalah obat-obatan yang diberikan bagi pasien rawat jalan.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) Cissy Rachiana Sudjana Prawira Kartasasmita tidak sepakat bila produk farmasi dan alat kesehatan dikenakan kena PPN 12%. Menurut dia, harga obat-obatan sudah terlampau mahal dan tak bisa dijangkau sebagian besar masyarakat. 

"Itu mengakibatkan pelayanan kesehatan tidak bisa dijangkau banyak orang mau CT scan MRI, dan lain-lain mahal. Obat-obatan dan vaksin yang belum bisa dibuat di sini mahal. Kapan rakyat bisa menikmati? Kalau tas Dior, Chanel, Hermes boleh dipajak sampai 100% karena itu bukan kebutuhan utama," kata Cissy kepada Alinea.id, Sabtu (21/12) 

Pengenaan PPN terhadap obat-obatan dan alat farmasi, kata Cissy potensial membebani pasien-pasien yang pengobatannya tak ditanggung BPJS. Selain pasien berduit, menurut Cissy, ada pula pasien yang terpaksa berobat di luar BPJS lantaran jenis penyakit yang mereka derita tak di-cover oleh BPJS.

"Vaksin saja sebetulnya baru sebagian masuk program. Bukan karena tidak perlu, tapi memang belum mampu masuk program gratis. Orang tua ingin anaknya sehat dan dia terpaksa bayar mahal untuk vaksin yang memang belum bisa dibuat dalam negeri. Kalau tidak dipajak, harga terjangkau dan banyak orang bisa baya. Banyak anak lebih terproteksi Ini salah satu contohnya. Pertanyaannya, apa vaksin masuk barang mewah?" kata Cissy. 

Senada, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai rencana menaikan PPN 12% akan berdampak pada kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi. Pasalnya, produk farmasi atau obat-obatan yang selama ini beredar di Indonesia kebanyakan bahan bakunya masih impor.

"Begitu pula dengan alat-alat kesehatan. Tentu ketika mereka (perusahaan farmasi) mengimpor dan membeli obat kena PPN 12 persen, logika pasarnya, biaya pajak itu dibebankan pada konsumen," kata Timboel kepada Alinea.id, Sabtu (21/12).

Pihak rumah sakit, kata Timboel, bakal berada dalam posisi terjepit karena paket BPJS yang diberikan tidak naik, namun harga obat yang harus diberikan pasien BPJS Kesehatan naik. Potensi kerugian yang bakal muncul karena kenaikan PPN itu harus diantisipasi.

Dengan begitu, pelayanan terhadap pasien bisa tetap prima sebagaimana mandat Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasal 22 ayat 1 beleid itu mengamanatkan pelayanan jaminan kesehatan nasional (JKN) harus preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif.

"Nah, ini yang menurut saya akan menjadi persoalan ketika nanti pelayanan diberikan... Kalau ada peningkatan biaya, terus  mereka menyediakan obat-obatan sendiri karena tidak diberi sedikit oleh rumah sakit, amanat UU seperti yang ada di Pasal 22 itu akan tercederai karena tidak diberikan lebih lengkap," kata Timboel. 

Timboel menilai kebijakan kenaikan PPN 12% sebaiknya tidak menyasar obat-obatan, alat kesehatan, dan produk-produk farmasi. Apalagi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan dan Perpres 82 Tahun 2018 melarang rumah sakit atau fasilitas kesehatan meminta tambahan biaya kepada pasien JKN.

"Sebaiknya (tidak kena PPN) untuk menghindari buruknya pelayanan JKN yang akhirnya (pengobatan) tidak maksimal kepada pasien. Kalau obat yang berbiaya mahal dan pembiayaan BPJS akan berkurang, maka pasien akan disuruh beli sendiri. Itu kan artinya pasien akan keluar biaya sendiri," jelas Timboel. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan