Nimas Sabella bisa bernapas lega usai penerornya selama ini, Adi Pradita ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi pada Jumat (17/5). Nimas mengaku, diteror dan dikuntit selama 10 tahun oleh Adi. Adi berkali-kali mengajaknya menikah, menganggunya melalui panggilan telepon, dan membuat tulisan khayalannya terhadap Nimas di media sosial.
Di akun media sosial X, Nimas mengisahkan awal mula diteror Adi. Ketika mereka sama-sama bersekolah di sebuah SMP di Surabaya, Jawa Timur, Nimas pernah memberikanya uang Rp5.000 karena merasa iba Adi tidak membawa uang jajan ke sekolah. Dari sini, Adi mulai baper.
Setelah diselidiki, motif Adi ke Nimas demi mencari perhatian. Tujuannya, agar Nimas mau menikah dengan Adi. Pihak kepolisian menyebut, Adi juga mengancam teman dekat dan pacar Nimas. Adi juga diduga menyebar foto asusila secara digital kepada Nimas.
Atas tindakannya, Adi dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan Undang-Undang Pornografi. Ia terancam hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
“Sangat disayangkan,” kata psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan kepada Alinea.id, Rabu (22/5).
“Menurut saya, kasus seperti ini karena kurang perhatian dari orang sekitar, sehingga dia bisa memiliki waktu lain untuk terobsesi akan suatu hal atau orang.”
Sani menyebut, perilaku tersebut merupakan salah satu ciri dari obsesi kompulsif.”Ada orang yang terobsesi dengan suatu hal dan berulang-ulang yang melakukan tingkah laku sesuai yang diobsesikan tadi,” kata Sani.
Ia menjelaskan, perilaku ini sebagai seseorang yang sangat terobsesi dengan orang lain. Hal ini, kata dia, bisa juga lantaran pelaku menyukai korban. Obsesi ini, menurut Sani, berbahaya kalau sudah terepresentasikan dalam perilaku yang agresif.
“Bisa agresif verbal atau agresif fisik yang diimplementasikan kepada orang (korban) tersebut,” ujar Sani.
“Yang akhirnya (pelaku) bisa menyerang orang (korban) itu melalui fisik atau media sosial karena dia (pelaku) berharap untuk mendapatkan perhatian atau atensi dari korban.”
Perilaku Adi bisa diduga pula sebagai erotomania, yang merupakan kondisi kesehatan mental langka ketika seseorang merasa orang lain sangat mencintainya. Healthline menyebut, keterikatan untuk dicintai oleh orang lain itu dianggap delusi karena tidak didasarkan pada kenyataan. Gejala utamanya adalah keyakinan yang salah bahwa seseorang sangat mencintainya atau obsesif.
“Dalam kebanyakan kasus, orang tersebut bahkan belum pernah bertemu dengan orang yang membuat mereka terpesona. Beberapa orang dengan sindrom ini mungkin percaya bahwa orang asing yang baru mereka temui jatuh cinta pada mereka,” tulis Healthline.
Sani melanjutkan, kondisi obsesi ini menyasar juga terhadap selebritas atau publik figur yang dilakukan fan. Dampak yang dirasakan korban, kata Sani, seperti perasaan tidak nyaman dan ketakutan karena selalu ada orang yang terus memantau serta reaksi yang tidak bertanggung jawab.
“Korban jug abisa terkena trauma yang bisa berlangsung lama. Bisa juga menyakiti atau bahkan membunuh,” tutur Sani.
Perilaku obsesi itu, kata Sani, dimulai dari perasaan suka atau ketertarikan pada seseorang. Maka, agar terhindar dari perilaku tersebut, ia menyarankan, sebaiknya menyukai seseorang dengan sewajarnya.
“Dengan usaha yang wajar dan yang penting tidak mengganggu orang tersebut. Karena kalau sudah berlebihan juga bisa mengganggu dan membuat orang lain tidak nyaman,” kata Sani.
Ia mengatakan, seseorang yang kemungkinan mengidap perilaku tersebut perlu memperbaiki support system. Lalu, ditemani orang terdekat yang bisa dipercaya. Kemudian, mencari ketertarikan atau hobi yang bisa ditekuni, sehingga dapat mengurangi tingkat obsesinya.
“Pada intinya, orang seperti ini, minimal kan lah symtoms-symtoms (gejala-gejala) dia, sehingga tidak memakan korban lagi,” ucap Sani.
Terlepas dari itu, Sani mengingatkan, hukuman yang sudah ditetapkan kepada pelaku harus dijalankan. Ia pun menekankan, jangan terlalu fokus dengan penyakit kejiwaannya. Sebab, jika pelaku terbukti dengan penyakit kejiwaannya, hukumannya bakal lepas.
“Jadi memang ia (pelaku) harus diperiksa dengan matang mengenai masalah perilaku dan masalah mental karena orang seperti ini berbahaya juga kalau dibiarkan dan tidak direhabilitasi,” tutur Sani.