Olimpiade 1920: Kebangkitan dunia dari perang dan flu Spanyol
Atlet cabang olahraga menembak asal Inggris Amber Hill menelan rasa kecewa setelah dinyatakan tak bisa bertolak ke Tokyo, Jepang untuk bertanding di ajang Olimpiade 2020 karena terkonfirmasi positif Covid-19 pada Kamis (22/7). Ia menumpahkan rasa sedihnya itu di akun Instagram pribadinya.
“Hancur adalah satu-satunya perasaan untuk menggambarkan apa yang aku rasakan saat ini,” kata Hill di unggahan foto lima cincin simbol Olimpiade berwarna hitam, dengan latar suasana negeri Jepang klasik.
Penembak berusia 23 tahun itu merupakan peringkat nomor satu dunia cabang olahraga menembak nomor skeet putri. Ia digadang-gadang akan merebut medali di Jepang kalau saja bisa bertanding.
“Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan persiapan selama lima tahun untuk sebuah momen terbesar dalam hidup Anda terenggut. Saya berlatih lebih keras daripada sebelumnya,” kata dia seperti dikutip dari Independent, Selasa (27/7).
Hill adalah satu dari beberapa atlet yang tak bisa ikut turnamen sebelum bertanding karena dinyatakan positif Covid-19. Hal serupa juga menimpa beberapa atlet, yang bahkan sudah tiba di Jepang.
Hasil tes Covid-19 atlet tenis meja asal Republik Ceko, Pavel Sirucek, dikutip dari Antara, Rabu (21/7) terkonfirmasi positif dan baru diumumkan hanya beberapa menit sebelum dilakukan undian cabang tenis meja.
Selain itu, ada atlet taekwondo asal Chili Fernanda Aguirre yang dinyatakan positif setibanya di Jepang, setelah penerbangan dari kamp pelatihan di Uzbekistan. Lalu ada atlet voli pantai asal Austria Ondrej Perusic, atlet skeatboard Belanda Candy Jacobs, serta pesepakbola Afrika Selatan Thabiso Monyane dan Kamohelo Mahlatsi.
Di tengah kekhawatiran penambahan kasus Covid-19, Olimpiade di Tokyo, yang sejatinya berlangsung pada 2020 diundur penyelenggaraannya ke tahun ini. Pesta olahraga terbesar di dunia itu dibuka pada 23 Juli dan akan berakhir pada 8 Agustus 2021.
Olimpiade digelar dengan protokol kesehatan yang ketat. Para atlet dites setiap hari. Mereka pun diwajibkan tetap menjaga jarak dan mengenakan masker saat tak bertanding.
Situasi krisis kesehatan setidaknya mengingatkan kondisi serupa dalam even olahraga terbesar di dunia itu 100 tahun silam. Pada 1920, Belgia menjadi tuan rumah Olimpiade usai dua peristiwa paling mematikan dalam sejarah manusia: Perang Dunia I dan pandemi flu Spanyol.
Terseok usai perang
Kota yang dipilih sebagai tuan rumah Olimpiade VII pada 1920 adalah Antwerpen, Belgia. Sebelumnya, pesta olahraga terbesar di dunia itu batal digelar di Berlin, Jerman pada 1916 karena Perang Dunia I.
Perang yang dipicu pembunuhan pemimpin Austria-Hongaria, yakni Archduke Franz Ferdinand pada 28 Juni 1914 itu melibatkan Austria-Hongaria, Jerman, Rusia, Prancis, dan Inggris. Belgia sebenarnya negara netral. Namun, pada awal Agustus 1914 diinvasi pasukan Jerman, yang berusaha masuk ke Prancis.
Usai perang berakhir pada November 1918, Presiden International Olympic Committee (IOC) Pierre de Coubertin memutuskan Olimpiade VII diadakan di Antwerpen, Belgia.
Dikutip dari situs web Nippon Foundation, pada 14 Agustus 1920 Olimpiade dibuka di Stadion Olimpiade yang baru selesai. Sebanyak 2.607 atlet dari 29 negara berpartisipasi.
Menurut James Ellingworth dalam artikel “Planning for Olympics in a pandemic has echoes of 1920 games” di The Associated Press edisi 27 Juli 2020, Olimpiade 1920 merupakan momen perdamaian dan pemulihan dari Perang Dunia I.
Bendera lima cincin yang merupakan simbol Olimpiade dikibarkan pertama kalinya dalam upacara pembuka. Roland Renson, sejarawan olahraga Belgia kepada The Associated Press mengatakan, merpati sebagai simbol perdamaian dilepaskan. Sumpah Olimpiade diucapkan pertama kalinya oleh atlet anggar Belgia, Victor Boin.
Meski mengusung pesan perdamaian, pada kenyataannya Olimpiade 1920 masih belum bisa lepas dari masalah dendam perang. Pengajar sejarah olahraga dan Eropa modern, Macquarie University, Australia, Keith Rathbone dalam tulisannya “Sardines for breakfast, hypothermia rescues: the story of the cash-strapped, post-pandemic 1920 Olympics” di The Conversation edisi 8 Juli 2021 menulis, Komite Olimpiade Belgia menolak untuk mengundang atlet dari negara-negara Blok Sentral, seperti Jerman, Austria-Hongaria, Bulgaria, dan Kekaisaran Ottoman.
Namun, tetap mengizinkan Inggris dan Prancis, yang menjadi rival Jerman dan sekutunya. Uni Soviet yang baru dibentuk juga tak dapat undangan.
Persiapan hanya setahun membuat Belgia kelimpungan. Negara yang pernah dijajah Belanda itu juga menghadapi krisis ekonomi, setelah luluh lantak karena perang.
Rathbone menulis, Stadion Olimpiade baru saja selesai dibangun saat pertandingan dimulai. Lintasannya belum selesai dan kejuaraan dilakukan dalam kondisi berlumpur. Belgia pun tak membangun kolam khusus untuk atlet renang, melainkan hanya bingkai kayu di jalur air atau kanal yang sudah ada sebelumnya.
Makanan untuk para atlet pun tak layak. Mereka hanya diberi roti gulung, kopi, dan satu sarden kecil untuk sarapan. “Mereka terpaksa membeli makanan sendiri,” tulis Rathbone.
Asrama atlet pun serupa barak militer. Mereka tidur tanpa kasur di ruangan yang menampung 10-15 orang. Penyelenggara sebenarnya menaruh harapan pada kedatangan fan dari para atlet yang berkompetisi. Namun, harapan itu sirna.
“Banyak penduduk setempat tak mampu membeli tiket dengan harga tinggi,” tulis Rathbone.
Di Olimpiade 1920, kata Ellingworth, banyak atlet veteran perang yang bertanding. Begitu pula munculnya atlet generasi baru.
Sebab, dalam Perang Dunia I, ada banyak atlet gugur karena terlibat pertempuran. Situs web Sport Reference mencatat, setidaknya 144 atlet yang pernah ikut Olimpiade terbunuh dalam perang.
Setelah pandemi reda
Bayang-bayang pandemi flu Spanyol menghinggapi penyelenggaraan Olimpiade 1920. Sejak Februari 1918 hingga April 1920 lebih dari sepertiga populasi dunia terinfeksi flu Spanyol. Diperkirakan 20 juta hingga 50 juta orang meninggal dunia.
Akan tetapi, menurut penulis senior dari NBC News Corky Siemaszko dalam tulisannya “Template for Tokyo Olympics set a century ago in Belgium, after the Spanish Flu” di NBC News edisi 13 Juli 2021, Olimpiade di Belgia tetap berlangsung meski belum ada vaksin untuk melawan flu Spanyol dan virus itu sangat berbahaya bagi orang yang lebih muda.
“Masker dan jaga jarak sosial digunakan sebagai intervensi nonfarmasi utama pada 1918,” kata profesor sejarah dari Ohio State University Jim Harris kepada Siemaszko.
Sejarawan Roland Renson, seperti dikutip Ellingworth, tak menemukan dampak langsung dari pandemi terhadap persiapan Olimpiade. Meski kata Rathbone, kekhawatiran munculnya kembali flu Spanyol tetap mengintai selama kompetisi. Surat kabar di masa itu masih melaporkan desas-desus tentang wabah baru di minggu-minggu menjelang pembukaan Olimpiade.
Kenyataannya, setelah Olimpiade digelar, jarang terlihat kerumunan di Kota Antwerpen yang jadi arena kompetisi. Penyebabnya, tulis Siemaszko, biaya tiket yang relatif tinggi dan kurangnya minat penonton datang ke stadion.
“Buktinya, Olimpiade 1920 merugi dan membuat Komite Olimpiade Belgia bangkrut,” tulis Siemaszko.
Atlet renang dan menyelam asal Amerika Serikat yang baru berusia 14 tahun, Aileen Riggin, menjadi salah seorang penyintas flu Spanyol yang sukses di Olimpiade 1920. Ia menyabet medali emas dalam nomor loncatan tiga meter putri.
Riggin beruntung bisa sembuh dari flu Spanyol. Sebab, penyakit menular yang menyerang pernapasan itu sudah merenggut nyawa atlet-atlet lain yang pernah mengecap manisnya bertanding di Olimpiade.
Menurut catatan Olympedia, ada tujuh atlet Olimpiade yang meninggal karena flu Spanyol, antara lain pelari maraton asal Kanada John Peter Caffery, petinju asal Inggris Johnny Condon, pelari asal Inggris Frederick William Harmer, pedayung asal Norwegia Emil Irgens, atlet anggar asal Amerika Serikat Marc Winthrop Larimer, atlet atletik serba bisa Amerika Serikat kelahiran Irlandia Martin Sheridan, serta pelari jarak jauh asal Belanda Ary Carel Hugo Vosbergen.
Rata-rata mereka adalah alumni Olimpiade 1908 di London, Inggris dan 1912 di Stockholm, Swedia. Marc Larimer adalah lulusan Akademi Angkatan Laut Amerika Serikat. Selama Perang Dunia I, ia menjabat sebagai perwira di kapal USS Cummings. Ia meninggal di atas kapal di Teluk Guantanamo, Kuba pada 6 Februari 1919 karena flu Spanyol.
Dari nama-nama atlet yang mati karena flu Spanyol, Martin Sheridan termasuk yang paling berprestasi dan disegani. Ia berhasil mengumpulkan sembilan medali dalam Olimpiade 1904, 1906, dan 1908, dari cabang atletik yang berbeda-beda.
Olympedia mencatat, ia mendapatkan medali emas dari cabang lempar cakram di Olimpiade 1904, 1906, dan 1908. Di Olimpiade 1906 ia menyabet medali emas pula dalam cabang tolak peluru dan cakram gaya Yunani pada 1908. Tiga medali perak ia sumbangkan dari lompat tinggi, lompat jauh, dan lempar batu pada 1906. Sedangkan medali perunggu ia peroleh dari lompat jauh pada 1908.
Sheridan pensiun sebagai atlet pada 1911. Ia kemudian dipekerjakan Departemen Kepolisian New York dan pernah menjadi pengawal pribadi Gubernur New York. Ia meninggal karena pneumonia usai terinfeksi flu Spanyol pada 27 Maret 1918, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-37.
Dalam Olimpiade 1920, Amerika Serikat keluar sebagai juara dengan raihan 41 medali emas, 27 perak, dan 27 perunggu. Swedia ada di urutan kedua dengan 19 medali emas, 20 perak, dan 25 perunggu.
Terlepas dari segala kekurangan dan kesulitan, Olimpiade di Antwerpen, Belgia 1920 dianggap sukses membangkitkan dunia dari keterpurukan perang dan flu Spanyol. Sebuah hal yang kini diperlihatkan dalam Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang, di mana dunia tengah melawan pandemi Covid-19.