close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi narsistik dalam politik./Foto beligte/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi narsistik dalam politik./Foto beligte/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 21 Desember 2023 16:00

Orang-orang narsistik dalam politik

Riset yang dilakukan Zoltan Fazekas dan Peter K. Hatemi menemukan korelasi antara narsistik dan partisipasi politik.
swipe

Di masa kampanye Pemilu 2024—bahkan beberapa bulan sebelumnya—area publik jadi ajang narsistik politisi dan calon anggota legislatif (caleg). Foto-foto berbagai gaya mereka terpampang lewat reklame, spanduk, poster, dan baliho berbagai ukuran di pinggiran jalan yang strategis, bahkan hingga gang-gang kecil. Itu belum termasuk iklan di televisi, media sosial, atau video di YouTube. Sedikit slogan terpampang, yang paling dominan justru wajah-wajah dengan berbagai ekspresi.

Menurut Psychology Today, narsistik ditandai dengan rasa mementingkan diri sendiri yang berlebihan, kurangnya empati terhadap orang lain, kekaguman yang berlebihan terhadap diri sendiri, serta keyakinan bahwa ia unik dan pantas mendapat perlakuan khusus.

Narsistik dan politik

Riset yang dilakukan Zoltan Fazekas dari Copenhagen Business School dan Peter K. Hatemi dari The Pennsylvania State University berjudul “Narcissism in Political Participation” di Personality and Social Psychology Bulletin (Juni, 2020) menemukan korelasi antara narsistik dan partisipasi politik. Mereka menyimpulkan, semakin narsis seseorang, semakin mungkin mereka menjadi politisi, menandatangani petisi, menyumbangkan uang, dan menjadi kontestan dalam pemilihan paruh waktu—pemilu di Amerika Serikat untuk memilih anggota kongres, parlemen negara bagian, dan beberapa gubernur.

“Bagi saya dan rekan saya, Zoltan Fazekas, sulit untuk mengabaikan narsistik yang meluap-luap pada pemimpin terpilih kita dan hasil keputusan mereka. Dan tampaknya, narsistik publik yang lebih tinggi memiliki peran dalam instabilitas demokrasi kita yang semakin meningkat,” kata Peter K. Hatemi kepada PsyPost.

Hatemi dan Fazekas meneliti data dari dua survei di Amerika Serikat dan Denmark, masing-masing 500 dan 2.450 peserta. Sedangkan survei berbasis web di Amerika Serikat menggunakan 2.280 peserta.

Seluruh survei menilai narsistik dan delapan jenis partisipasi politik, antara lain menandatangani petisi, melakukan boikot atau membeli produk untuk alasan politik, berpartisipasi dalam demonstrasi, menghadiri pertemuan politik, menghubungi politisi, mendonasikan uang, menghubungi media, dan berpartisipasi dalam forum politik serta kelompok diskusi.

Para peneliti tak menemukan hubungan antara narsistik dan pemilu presiden. Namun, dalam bentuk partisipasi lainnya, termasuk pemilu paruh waktu, mereka yang punya kepribadian lebih narsis cenderung melaporkan lebih banyak keterlibatan politik.

Disebut PsyPost, beberapa bagian dari narsistik juga ditemukan berhubungan secara diferensial dengan partisipasi politik. Rasa otoritas dan superioritas atas orang lain terkait dengan peningkatan partisipasi, sedangkan kemandirian berhubungan dengan penurunan partisipasi.

“Individu yang percaya diri dan percaya mereka lebih baik daripada orang lain, lebih aktif dalam proses politik,” kata para peneliti.

Apakah orang narsis baik menjadi pemimpin? Charles A. O’Reilly dan Jeffrey Pfeffer dari Stanford University dalam riset mereka “Organizational Power and Politics: The Narcissist’s Advantage?” di Personality and Individual Differences (November, 2021) menyebut, orang narsis lebih cenderung menggunakan taktik politik yang lebih negatif dan kontra-normatif, termasuk melanggar norma-norma sosial, menyembunyikan informasi penting dari orang lain, dan meremehkan calon pesaing.

Penulis buku Paradoxical Strategies in Psychotherapy and The Vision of Melville and Conrad sekaligus doktor dalam bidang sastra Inggris dan psikologi, Leon F. Seltzer menulis di Psychology Today, sebelum memenangkan sebuah jabatan, individu narsis sudah cenderung punya pikiran ia lebih berhak menang.

Ironisnya, meski mereka berpegang pada nilai-nilai etika yang teguh, politisi ini dianggap memiliki “relativitas moral”. Sebab, kata Seltzer, apa yang mereka anggap sebagai tak bermoral bagi orang lain, dapat diterima bagi diri mereka sendiri.

“Setelah mereka mendapatkan jabatan, mereka mungkin merasa bertanggung jawab hanya pada diri sendiri—bebas untuk bermain dalam permainan kekuatan kompetitif mereka dengan impunitas,” tulis Seltzer.

“Hasrat besar narsistik-politik terhadap pujian, pujian, dan pujian juga terpuaskan.”

Lebih lanjut, Seltzer menulis, mereka mengharapkan diperlakukan sebagai yang superior dan menuntut untuk dihormati. “Jabatan hampir menjamin kebutuhan ego ini akan dipenuhi dengan cukup,” tulis Seltzer.

Segala hasrat yang begitu besar ini, menurut Seltzer, membantu menjelaskan mengapa begitu banyak dari mereka menjadi politisi karier, sehingga mempertahankan kondisi seperti itu selama mungkin.

“Dalam kasus seperti itu, alasan utama tetap menjadi petahana bukanlah untuk memenuhi aspirasi idealisme apa pun. Ini untuk menjamin harga diri mereka, yang terlalu berlebihan,” kata Seltzer.

Seltzer mengemukakan, nyaris seperti lelucon bahwa janji-janji manis yang mereka buat saat kampanye hanya sedikit yang ditepati setelah menjabat. Kampanye hanya mengukur seberapa baik mereka dapat mengecoh publik, bukan seberapa baik mereka akan memenuhi tanggung jawab begitu dinyatakan menang.

“Tidaklah kebetulan bahwa berbohong patologis secara tradisional dianggap sebagai ciri narsistik,” ujar Seltzer.

“Hal ini hampir bisa diintuisikan dalam hal pemahaman tentang kecenderungan narsistik terkait sombong, megah, meremehkan orang lain, eksploitatif secara interpersonal, kompetitif, sangat peka terhadap kritik, terobsesi dengan penampilan, dan memanipulasi kesan orang lain terhadap mereka.”

Sebaliknya, kata dia, kejujuran atau ketulusan tak menggambarkan mereka. Meski demikian, Seltzer mengatakan, mungkin saja narsistik adalah prasyarat yang tak disengaja untuk menjadi seorang politisi sukses. Sebab, terpilihnya mereka memang tampaknya memerlukan ambisi yang terkait erat dengan dorongan narsistik.

Berhubungan dengan itu, sosiolog dari University of Washington, Pepper Schwartz—dikutip Seltzer—mengatakan, Anda harus memilki keinginan dan kemampuan untuk mempromosikan diri sendiri tanpa henti sebagai seorang politisi.

Akan tetapi, celakanya, keinginan itu tak punya titik akhir. Nafsu mereka yang tak terpuaskan untuk kekayaan, pengakuan, pujian, pengaruh, dan kekuasaan berakhir sebagai parodi. Namun yang paling tragis, sebut Seltzer, ketika mereka berhasil naik ke kekuasaan, seluruh kondisi “penyakit hidup” mereka juga menginfeksi kita.

“Karena dengan mempersembahkan hidup mereka hampir secara ekslusif untuk tujuan egois, yang tak terpikirkan atau ditinggalkan adalah kebutuhan komunitas yang lebih besar di sekitar mereka,” tulis Seltzer.

“Tak terelakkan, kita semua menderita dari penipuan yang sepenuhnya melibatkan mereka.”


 

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan