Orang-orang Yahudi di Indonesia, antara ada dan tiada
Jurnalis Monique Riejkers baru menyadari ia punya darah keturunan Yahudi dari neneknya pada 2012. Usai kunjungannya ke Israel untuk ziarah ke Gereja Makam Kudus di Yerusalem, Israel, perempuan keturunan Belanda ini dapat informasi silsilah keluarganya yang berdarah Yahudi.
Neneknya buka mulut, setelah lama informasi keturunan keluarganya ditutup rapat-rapat. Neneknya mengatakan, ayahnya (kakek buyut Monique) merupakan seorang Yahudi.
“Oma sengaja menyimpan informasi itu, karena dibilangin sama saudaranya untuk tidak membicarakan hal ini di Indonesia,” kata Monique saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (21/3).
Kisah keluarganya itu kemudian memicu minatnya untuk meneliti lebih dalam menyoal akar budaya Bangsa Yahudi. Ia pun penasaran, mengapa gelombang anti-Yahudi di Indonesia sangat terasa, dan apa yang menyebabkannya.
“Saya kemudian mencari tahu soal Israel dan Yahudi, membaca hal-hal yang terkait dengan ini, mengunjungi Museum Holocaust Auschwitz (kamp konsentrasi Auschwitz, tempat pembantaian orang Yahudi oleh Nazi Jerman) di Polandia, dan menemui komunitas Yahudi Indonesia,” katanya.
Sementara itu, orang keturunan Yahudi di Indonesia lainnya, Elisheva Wiriaatmadja mengatakan, mayoritas keluarganya adalah Muslim. Buyut dari pihak ayahnya merupakan keturunan Yahudi, yang menikah dengan seorang kiai dari Cirebon.
Sedangkan pihak ibunya, berasal dari keturunan Yahudi Yaman. Sebelum menganut kepercayaan nenek moyangnya, Elisheva adalah seorang Nasrani.
Kapan mereka datang?
Peneliti sejarah Yahudi di Indonesia, Romi Zarman mengatakan, tak ada angka pasti berapa jumlah orang Yahudi yang bermukim di Indonesia. Penulis buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) (2018) ini mengatakan, orang-orang Yahudi di Indonesia hanya berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil.
Romi mengatakan, berdasarkan data yang dimilikinya, orang Yahudi datang pertama kali pada abad ke-10. Ia singgah di Kerajaan Sriwijaya, dalam misi perdagangan menuju Tiongkok.
“Namanya Ishaq Yahuda, seorang saudagar Yahudi-Arab,” kata Romi saat dihubungi, Kamis (21/3).
Romi menuturkan, kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia pun tercatat di abad ke-13. Ketika itu, seorang Yahudi-Mesir datang ke Barus, Tapanuli Tengah. Kemudian, pada abad ke-17, seiring dengan misi dagang bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara, orang-orang Yahudi pun ikut serta, tetapi berperan sebagai penerjemah.
“Yahudi yang datang bersama dengan Eropa ini adalah Yahudi Sefardim (orang Yahudi yang berasal dari Iberia, sebuah semenanjung di ujung barat daya Eropa), Bangsa Yahudi yang masih memiliki keahlian Bahasa Ibrani, satu rumpun dengan Bahasa Arab. Waktu itu, di Nusantara bahasa internasionalnya (untuk pedagang) adalah Bahasa Arab,” tuturnya.
Ia menjelaskan, keberadaan orang-orang Yahudi di Nusantara murni hanya berdagang. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang Belanda dan Portugis, yang juga mengemban misi untuk menyebarkan agama.
Awal kedatangan orang-orang Yahudi di Nusantara, mereka bermukim di pesisir Sumatera, membentang dari Aceh hingga Padang dan Lampung. Beberapa orang bahkan pernah menerbitkan surat kabar.
“Surat kabar yang diterbitkan orang-orang Yahudi bernama Eretz Israel, terbit di Padang dari 1926 hinga 1928,” ucap Romi.
Ada penolakan
Monique Rijkers sadar, dirinya hidup di tengah mayoritas Muslim dan gelombang anti-Yahudi. Namun, keadaan ini tak membuatnya surut dalam mengangkat wacana Yahudi, yang selama ini salah kaprah.
Pada 2013, jurnalis di salah satu stasiun televisi swasta ini membuat liputan khusus tentang komunitas Yahudi di Indonesia. Program acara itu berjudul “Berdarah Yahudi, Bernapas Indonesia.”
Bukannya mendapatkan pujian, tayangan ini justru menuai kontroversi dan memicu gelombang protes kelompok tertentu. Program acaranya dilaporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
“Mereka mengganggap tayangan kami mengganggu ketertiban. Setelah lolos dari KPI, mereka melapor ke Kemenko Polhukam. Tetapi, belakangan diketahui protesnya karena di sana ada video mereka yang lagi demo 2009 itu,” tuturnya.
Sebagai informasi, pada 2009 terjadi demonstrasi besar-besaran anti-Israel, usai agresi Israel ke Jalur Gaza, Palestina. Demonstrasi ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di beberapa negara mayoritas Muslim.
Padahal, menurut Monique, program acara itu adalah usaha untuk meluruskan pandangan masyarakat terhadap Yahudi, yang banyak dipersepsikan negatif.
Elisheva Wiriaatmadja juga merasakan sentimen anti-Yahudi yang besar pada April 2016. Saat itu, di salah satu hotel di Jakarta, komunitas Yahudi sedang melaksanakan perayaan Passover.
Lantas, terjadi kegaduhan dan penolakan dari sejumlah kelompok. Padahal, acara itu tak hanya dihadiri orang-orang Yahudi di Indonesia, tetapi juga dihadiri Wakil Sekretaris Negara Amerika Serikat Antony Blinken dan beberapa ulama.
“Itu sebenarnya hanya makan malam biasa, tetapi mungkin banyak yang berpikir ‘kok muslim datang ke perayaan Yahudi, musyrik tuh!’ kan gitu,” kata Elisheva yang sedang berada di Singapura untuk merayakan Purim, saat dihubungi, Kamis (21/3).
Sejak kehebohan itu, ia dan komunitas Yahudi di Indonesia tak lagi merayakan Passover di Indonesia. Selain masih belum diterimanya keberadaan mereka oleh sebagian masyarakat, banyak hal yang menurutnya susah untuk dilakukan di Indonesia.
“Kita kan juga punya aturan untuk makanan, kita sebutnya Koshere. Itu kayak makanan halal bagi Muslim,” katanya.
Koshere, kata Elisheva, adalah jenis makanan yang boleh dimakan dan tidak oleh penganut Yudaisme. Serupa makanan halal menurut Muslim, tata cara penyembelihan hewannya pun harus sesuai dengan tata cara agama Yudaisme.
Jurnalis Monique Riejkers baru menyadari ia punya darah keturunan Yahudi dari neneknya pada 2012. Usai kunjungannya ke Israel untuk ziarah ke Gereja Makam Kudus di Yerusalem, Israel, perempuan keturunan Belanda ini dapat informasi silsilah keluarganya yang berdarah Yahudi.
Neneknya buka mulut, setelah lama informasi keturunan keluarganya ditutup rapat-rapat. Neneknya mengatakan, ayahnya (kakek buyut Monique) merupakan seorang Yahudi.
“Oma sengaja menyimpan informasi itu, karena dibilangin sama saudaranya untuk tidak membicarakan hal ini di Indonesia,” kata Monique saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (21/3).
Kisah keluarganya itu kemudian memicu minatnya untuk meneliti lebih dalam menyoal akar budaya Bangsa Yahudi. Ia pun penasaran, mengapa gelombang anti-Yahudi di Indonesia sangat terasa, dan apa yang menyebabkannya.
“Saya kemudian mencari tahu soal Israel dan Yahudi, membaca hal-hal yang terkait dengan ini, mengunjungi Museum Holocaust Auschwitz (kamp konsentrasi Auschwitz, tempat pembantaian orang Yahudi oleh Nazi Jerman) di Polandia, dan menemui komunitas Yahudi Indonesia,” katanya.
Sementara itu, orang keturunan Yahudi di Indonesia lainnya, Elisheva Wiriaatmadja mengatakan, mayoritas keluarganya adalah Muslim. Buyut dari pihak ayahnya merupakan keturunan Yahudi, yang menikah dengan seorang kiai dari Cirebon.
Sedangkan pihak ibunya, berasal dari keturunan Yahudi Yaman. Sebelum menganut kepercayaan nenek moyangnya, Elisheva adalah seorang Nasrani.
Kapan mereka datang?
Peneliti sejarah Yahudi di Indonesia, Romi Zarman mengatakan, tak ada angka pasti berapa jumlah orang Yahudi yang bermukim di Indonesia. Penulis buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) (2018) ini mengatakan, orang-orang Yahudi di Indonesia hanya berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil.
Romi mengatakan, berdasarkan data yang dimilikinya, orang Yahudi datang pertama kali pada abad ke-10. Ia singgah di Kerajaan Sriwijaya, dalam misi perdagangan menuju Tiongkok.
“Namanya Ishaq Yahuda, seorang saudagar Yahudi-Arab,” kata Romi saat dihubungi, Kamis (21/3).
Romi menuturkan, kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia pun tercatat di abad ke-13. Ketika itu, seorang Yahudi-Mesir datang ke Barus, Tapanuli Tengah. Kemudian, pada abad ke-17, seiring dengan misi dagang bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara, orang-orang Yahudi pun ikut serta, tetapi berperan sebagai penerjemah.
“Yahudi yang datang bersama dengan Eropa ini adalah Yahudi Sefardim (orang Yahudi yang berasal dari Iberia, sebuah semenanjung di ujung barat daya Eropa), Bangsa Yahudi yang masih memiliki keahlian Bahasa Ibrani, satu rumpun dengan Bahasa Arab. Waktu itu, di Nusantara bahasa internasionalnya (untuk pedagang) adalah Bahasa Arab,” tuturnya.
Ia menjelaskan, keberadaan orang-orang Yahudi di Nusantara murni hanya berdagang. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang Belanda dan Portugis, yang juga mengemban misi untuk menyebarkan agama.
Awal kedatangan orang-orang Yahudi di Nusantara, mereka bermukim di pesisir Sumatera, membentang dari Aceh hingga Padang dan Lampung. Beberapa orang bahkan pernah menerbitkan surat kabar.
“Surat kabar yang diterbitkan orang-orang Yahudi bernama Eretz Israel, terbit di Padang dari 1926 hinga 1928,” ucap Romi.
Ada penolakan
Monique Rijkers sadar, dirinya hidup di tengah mayoritas Muslim dan gelombang anti-Yahudi. Namun, keadaan ini tak membuatnya surut dalam mengangkat wacana Yahudi, yang selama ini salah kaprah.
Pada 2013, jurnalis di salah satu stasiun televisi swasta ini membuat liputan khusus tentang komunitas Yahudi di Indonesia. Program acara itu berjudul “Berdarah Yahudi, Bernapas Indonesia.”
Bukannya mendapatkan pujian, tayangan ini justru menuai kontroversi dan memicu gelombang protes kelompok tertentu. Program acaranya dilaporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
“Mereka mengganggap tayangan kami mengganggu ketertiban. Setelah lolos dari KPI, mereka melapor ke Kemenko Polhukam. Tetapi, belakangan diketahui protesnya karena di sana ada video mereka yang lagi demo 2009 itu,” tuturnya.
Sebagai informasi, pada 2009 terjadi demonstrasi besar-besaran anti-Israel, usai agresi Israel ke Jalur Gaza, Palestina. Demonstrasi ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di beberapa negara mayoritas Muslim.
Padahal, menurut Monique, program acara itu adalah usaha untuk meluruskan pandangan masyarakat terhadap Yahudi, yang banyak dipersepsikan negatif.
Elisheva Wiriaatmadja juga merasakan sentimen anti-Yahudi yang besar pada April 2016. Saat itu, di salah satu hotel di Jakarta, komunitas Yahudi sedang melaksanakan perayaan Passover.
Lantas, terjadi kegaduhan dan penolakan dari sejumlah kelompok. Padahal, acara itu tak hanya dihadiri orang-orang Yahudi di Indonesia, tetapi juga dihadiri Wakil Sekretaris Negara Amerika Serikat Antony Blinken dan beberapa ulama.
“Itu sebenarnya hanya makan malam biasa, tetapi mungkin banyak yang berpikir ‘kok muslim datang ke perayaan Yahudi, musyrik tuh!’ kan gitu,” kata Elisheva yang sedang berada di Singapura untuk merayakan Purim, saat dihubungi, Kamis (21/3).
Sejak kehebohan itu, ia dan komunitas Yahudi di Indonesia tak lagi merayakan Passover di Indonesia. Selain masih belum diterimanya keberadaan mereka oleh sebagian masyarakat, banyak hal yang menurutnya susah untuk dilakukan di Indonesia.
“Kita kan juga punya aturan untuk makanan, kita sebutnya Koshere. Itu kayak makanan halal bagi Muslim,” katanya.
Koshere, kata Elisheva, adalah jenis makanan yang boleh dimakan dan tidak oleh penganut Yudaisme. Serupa makanan halal menurut Muslim, tata cara penyembelihan hewannya pun harus sesuai dengan tata cara agama Yudaisme.
Mengapa dibenci?
Elisheva menyebut, pencampuradukan istilah Yahudi sebagai agama dan etnis, serta zionisme membuat orang-orang terjebak dalam satu stigma tentang Yahudi. Ia maklum dengan resistensi yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, masyarakat Indonesia masih beranggapan orang-orang Yahudi membawa misi menyebarkan agama.
“Yudaisme itu agama tertutup, perayaan keagamaannya pun juga dilakukan secara tertutup, karena kami hanya komunitas kecil. Di Eropa pun begitu,” ujar Elisheva.
Monique Riejkers pun membenarkan bila agama Yudaisme berbeda dengan agama lainnya, yang punya misi menyebarkan ajarannya. “Yudaisme itu agama untuk orang-orang keturunan Yahudi atau Bani Israel saja. Ada juga memang yang bukan keturunan terus menganut Yudaisme, tetapi enggak lazim,” tuturnya.
Di sisi lain, Elisheva melihat, informasi dari tangan ketiga tentang Yahudi, banyak yang menyebabkan bias informasi di tengah masyarakat. Belum lagi masalah hoaks yang kemudian berujung pada teori konspirasi yang tak jelas sumbernya.
Di dalam bukunya, Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) (2018) Romi Zarman melacak bagaimana kebencian terhadap orang Yahudi dan Arab—atau apa yang disebut sebagai antisemitisme—itu bermula. Kebencian itu mulanya dibawa orang-orang Eropa yang ada di Nusantara, yang kemudian diwarisi orang Indonesia usai kemerdekaan.
“Anti-Yahudi di Nusantara dibawa pelaut Prancis ke Hindia Timur abad ke-17, dengan stereotip bunglon (sering bertukar agama) dan pencuri. Sentimen yang sama juga dibawa oleh Inggris ketika berlabuh di Banten pada 1603,” tulis Romi dalam bukunya.
Di dalam bukunya itu, Romi pun menjelaskan, sentimen ini juga berlaku bagi orang Tionghoa di Asia Tenggara, dengan menyebut mereka “Yahudi Timur”. Ia menulis, kebencian Inggris terhadap China dan para saudagarnya itu merupakan buah atas ketidakmampuan Inggris dalam bersaing dagang dengan orang China di Hindia Timur.
Menurut Romi, meningkatnya gelombang anti-Yahudi di Indonesia bisa ditarik dalam beberapa periode. Saat masa pemerintahan Sukarno, sentimen itu cenderung bersih. Namun, semakin meningkat ketika Soeharto berkuasa.
“Hal ini karena di era Sukarno orang mengalami langsung interaksi dengan warga Yahudi. Sementara di era Soeharto, ketika kanal informasi semakin dipersempit dan aktivitas keagamaan dibatasi, orang cenderung menerima informasi soal Yahudi dari pemerintah, dan informasinya bias,” kata Romi.
Rekonstruksi definisi
Di dalam bukunya, Romi menulis, arti kata Yahudi dalam konteks Bahasa Indonesia punya pencampuradukan makna. Dalam istilah Inggris, untuk menyebut Yahudi dengan konteks politik, digunakan istilah Zionism, Judaism untuk agama, dan Jews untuk menyebut orang beretnis Yahudi.
Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, ketiganya dipukul rata dengan menyebut Yahudi. Hal yang kemudian berdampak pada pemahaman orang-orang Indonesia mengenai Yahudi itu sendiri. Satu kata yang punya konotasi negatif.
Untuk menekan sentimen anti-Yahudi dan memberikan definisi yang benderang, pada 2016 Monique membentuk Hadassah of Indonesia, sebuah lembaga yang konsentrasi memberikan pemahaman kepada publik soal Yahudi, dan Israel sebagai sebuah negara dan tempat suci tiga agama, yakni Islam, Nasrani, dan Yahudi.
Menurut Monique, lembaga ini dibentuk bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat Indonesia, agar bisa hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi yang ada di Indonesia.
“Mereka (orang Yahudi) dapat ditemui jejaknya dalam sejarah Bangsa Indonesia, tetapi keberadaannya seperti dihilangkan,” katanya.
Sementara itu, Elisheva Wiriaatmadja sudah terang-terangan mengaku sebagai penganut Yudaisme di berbagai media. Setelah itu, ia mengaku tak mengalami tekanan apapun.
“Mungkin karena saya perempuan ya, jadi orang menganggapnya bukan ancaman, jadi biasa saja. Kalau yang ngaku cowok, mungkin lain cerita,” ujar Elisheva.
Ia menduga, tekanan tak dirasakan karena ia mengurangi interaksi dengan orang-orang di sekitar. Ia menjalankan rutinitasnya secara daring, mulai dari bekerja dan berkomunikasi dengan orang lain.
“Mungkin kalau sering keluar ketemu orang bisa ada yang memprotes, karena muka saya kan sudah nampang di mana-mana,” tuturnya.
Sama seperti Monique, Elisheva pun membentuk Yayasan Eits Chaim Indonesia. Lembaga ini pun bertujuan untuk mengedukasi masyarakat mengenai apa itu Yahudi dan hal-hal terkait dengan itu.
Yayasan ini bergerak secara daring, melalui situs Eitschaim.org. Ia mempublikasikan tulisan dan video, untuk meluruskan persepsi miring terkait Yahudi.
“Lewat website itu saya mencoba menginformasikan kepada khalayak berdasarkan informasi dari orang dalam, dari orang Yahudi yang pernah mengunjungi Israel langsung,” tuturnya.
Walau tak bisa menyebutkan angka pasti, Romi Zarman mengatakan, saat ini di Indonesia banyak kelompok Yahudi. Bukan hanya kelompok yang memegang teguh agama leluhur, tetapi juga kelompok yang sudah mengalami asimilasi agama, sehingga memeluk agama resmi pemerintah.
Romi mengatakan, mereka tersebar di Pulau Jawa, dan beberapa kota di luar Jawa, seperti di Manado dan Padang.