Belakangan ini, kebiasaan mengecek khodam di internet tengah tren di kalangan anak muda, terutama generasi Z. Jauh sebelum itu, kepercayaan soal zodiak sudah menjadi lumrah di masyarakat. Zodiak—yang terbagi dalam 12 bagian mewakili 12 rasi bintang yang dikenal dengan simbol-simbol mitologi hewan—merupakan sebuah konsep astrologi di mana benda-benda langit dipercaya sebagai sesuatu yang memengaruhi perilaku dan kepribadian manusia. Masing-masing zodiak punya kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Menurut survei yang dilakukan YouGov pada 2022, seperempat warga Amerika Serikat (27%)—termasuk 37% orang dewasa di bawah 30 tahun—memercayai astrologi.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Oliver Wyman Forum pada September 2020 dari data di Amerika Serikat dan Inggris ditemukan, sebanyak 83% generasi Z percaya astrologi. Mereka menyatakan, astrologi telah membantu kehidupannya lebih baik, serta bisa memahami diri sendiri dan orang lain.
Seorang dosen senior bidang arkeologi, sejarah, dan antropologi dari University of Wales Trinity Saint David, Nicholas Campion pernah menyebarkan kuesioner dari tahun 1998 hingga 2012 untuk mengetahui berapa banyak orang yang percaya astrologi. Dikutip dari The Conversation, dalam salah satu kelompok yang disurvei—yang sebagian besar terdiri dari siswa laki-laki berusia 18 hingga 21 tahun, Campion menemukan 70% membaca kolom horoskop sebulan sekali. Lalu, 98% mengetahui tanda astrologi mereka, 45% berpendapat tanda itu menggambarkan kepribadiannya, 25% mengatakan bisa membuat perkiraan yang akurat, dan 20% berpendapat astrologi memengaruhi kehidupan di bumi.
Dilansir dari Verywell Mind, kepercayaan orang terhadap astrologi terkait dengan mekanisme antisipasi karena membantu orang memahami berbagai hal saat hidup terasa rumit.
“Sejarah menunjukkan, orang-orang lebih tertarik pada astrologi selama masa-masa penuh gejolak, dengan ketertarikan yang meningkat selama depresi ekonomi tahun 1930-an serta di Jerman pada masa Perang Dunia II,” tulis Verywell Mind.
“Baru-baru ini, astrologi berkembang pesat setelah pandemi.”
Alasan lainnya, astrologi menarik bagi mereka yang merasakan ada kendali eksternal, seseorang yang mencari validasi atas identitas dirinya, serta mereka yang tidak toleran terhadap ambiguitas.
Walau zodiak sangat populer, akan tetapi menurut tiga psikolog dari Lund University, Swedia, terdiri dari Ida Andersson, Julia Persson, dan Petri Kajonius dalam penelitian yang diterbitkan jurnal Personality and Individual Differences (2022) orang yang meyakini ramalan kuno dari zaman Romawi itu cenderung kurang cerdas dan narsistik.
Para peneliti mengumpulkan data dari 264 peserta yang diperoleh lewat survei daring anonim, yang dibagikan di media sosial. Sebanyak 87% di antaranya perempuan, dengan rentang usia 25 hingga 34 tahun.
Mereka mengategorikan lima faktor ciri kepribadianm yakni keterbukaan, kesadaran atau kehati-hatian, ekstraversi, keramahan, dan neurotisme. Keterbukaan dikaitkan secara positif dengan kepercayaan pada hal-hal paranormal dan apophenia. Kehati-hatian merupakan ciri kepribadian yang paling sedikit hubungannya dengan keyakinan pseudosains.
Ekstraversi telah terbukti berhubungan dengan kepercayaan pada hal-hal paranormal. Sedangkan keramahan berkorelasi positif dan negatif dengan kepercayaan dalam teori konspirasi. Terakhir neurotisisme berhubungan positif dengan kepercayaan paranormal.
“Ada tambahan yang disebut ‘sifat gelap’. Salah satu sifat gelap, relevan dalam kaitannya dengan kepercayaan terhadap astrologi, yaitu narsisme karena perspektif yang berfokus pada diri sendiri,” kata para peneliti.
“Secara umum, kecerdasan dianggap berhubungan negatif dengan penerimaan pesudosains dan kepercayaan paranormal, serta apophenia.”
Psikolog dan neuropsikolog Arash Emamzadeh dalam Psychology Today menulis, para peneliti menyatakan hubungan positif antara kepribadian narsistik dan kepercayaan pada astrologi disebabkan pandangan dunia egois yang menyatukan mereka.
Selain itu, aspek budaya generasi milenial—dan kemungkinan generasi Z—menekankan keunikan individu yang mengarah pada pandangan dunia yang lebih egosentris. “Dengan demikian, berhubungan dengan sifat narsistik,” ujar Emamzadeh.
“Prediksi astrologi dan horoskop cenderung dibingkai secara positif, hal ini memperkuat perasaan muluk dan mungkin lebih menarik bagi orang narsis.”
Menurut Emamzadeh, orang narsis juga cenderung berasumsi keliru bahwa kepercayaan terhadap astrologi didukung bukti ilmiah. Di sisi lain, orang yang percaya astrologi cenderung memiliki kecerdasan yang rendah karena kepercayaan pada hal-hal supranatural sering kali dikaitkan dengan kurangnya pemikiran kritis.
“Misalnya saja, orang-orang yang religius mungkin berasumsi ada hubungan sebab-akibat supernatural dalam peristiwa, dan karena rendahnya kecerdasan serta kemampuan kognitif, mereka gagal menyesuaikan pemikiran mereka ketika dihadapkan dengan bukti empiris yang bertentangan,” tutur Emamzadeh.