Buku tahunan SMA bisa menjadi kenang-kenangan, mengingat teman-teman sekolah kita dahulu. Namun, ternyata buku tahunan yang berisi foto-foto siswa dapat pula menentukan usia seseorang. Hal itu ditemukan dalam penelitian Connor M. Sheehan dari Arizona State University dan Daniel S. Hamermesh dari University of Texas yang terbit di Social Science & Medicine (Agustus 2024).
Sheehan dan Hamermesh menyimpulkan, orang-orang yang paling tidak menarik di foto buku tahunan SMA cenderung punya umur yang lebih pendek dibandingkan teman-teman mereka yang penampilannya lebih menarik.
Penelitian ini memanfaatkan Studi Longitudinal Wisconsin Longitudinal, sebuah survei terhadap lulusan SMA Wisconsin sejak 1957. Kumpulan data ini mencakup sampel 8.386 orang yang dilacak hingga mereka meninggal dunia atau hingga awal usia 80-an.
Para peneliti menggunakan foto buku tahunan SMA itu untuk mengukur daya tarik wajah, yang dinilai juri independen. Daya tarik setiap responden dinilai pada skala 11 poin oleh enam penilai pria dan enam penilai perempuan, yang dilatih untuk memastikan konsistensi dalam evaluasi mereka. Kemudian membagi individu ke dalam enam kategori berbeda, dinilai dari yang paling menarik hingga yang paling tidak menarik.
Untuk menghubungkan daya tarik dengan usia panjang, para peneliti menggunakan data mortalitas dari National Death Index-plus, yang mencakup kematian hingga 2022. Mereka menggunakan model proporsional Cox—metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas—dan teknik tabel kehidupan untuk menganalisis hubungan antara daya tarik dan risiko kematian. Hampir 43% orang dalam sampel telah meninggal pada akhir periode penelitian.
Menurut PsyPost, model-model ini memungkinkan para peneliti untuk memperhitungkan berbagai variabel, seperti prestasi sekolah menengah, kecerdasan, latar belakang keluarga, penghasilan orang dewasa, serta kesehatan mental dan fisik di usia dewasa pertengahan.
“Dengan memasukkan faktor-faktor ini, para peneliti bertujuan untuk mengisolasi dampak spesifik dari daya tarik terhadap umur panjang,” tulis PsyPost.
Penelitian tersebut menemukan, seseorang yang dinilai paling tidak menarik, yang berada di sextile terbawah atau keenam dari skala daya tarik, memiliki risiko kematian yang jauh lebih tinggi ketimbang mereka yang punya daya tarik rata-rata. Secara khusus, mereka yang berada di sextile terendah menghadapi risiko kematian 16,8% lebih tinggi daripada mereka yang berada di sextile tengah atau keempat dari skala daya tarik.
Menariknya, penelitian ini tidak menemukan perbedaan signifikan dalam risiko kematian antara seseorang yang sangat menarik dan yang punya daya tarik rata-rata. Hal ini menunjukkan, meski seseorang yang tidak menarik dikaitkan dengan usia yang lebih pendek, tetapi menjadi seseorang yang menarik tak memberikan manfaat usia panjang tambahan dibandingkan dengan berpenampilan rata-rata.
“Orang-orang yang dinilai paling tidak menarik berdasarkan foto buku tahunan, mereka memiliki umur yang lebih pendek daripada yang lain,” kata salah seorang peneliti dalam riset itu, Sheehan, kepada PsyPost.
Menurut PsyPost, daya tarik tidak hanya dapat mengindikasikan kesehatan yang mendasarinya, tetapi juga secara sistematis memengaruhi proses stratifikasi sosial penting yang memengaruhi hasil kesehatan. Misalnya, daya tarik fisik yang lebih baik dapat berdampak positif pada proses stratifikasi sosial, seperti mendapatkan pekerjaan, memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan membentuk hubungan sosial yang bermanfaat.
Keuntungan sosial ini, menurut PsyPost, bisa menghasilkan kehidupan yang lebih baik, yang menekankan peran penting persepsi masyarakat tentang kecantikan dalam membentuk kesehatan dan umur panjang.
Dikutip dari Science Alert, faktor-faktor seperti pendidikan dan pendapatan sedikit mengurangi signifikansi perbedaan, dengan kesehatan sebagai variabel yang paling berpengaruh. Hal itu menunjukkan, dalam beberapa kasus, kesehatan yang buruk dan penampilan yang tidak menarik dapat menjadi faktor penyebabnya.
Walau demikian, penelitian ini memiliki keterbatasan karena sampelnya hanya terdiri dari lulusan SMA Wisconsin, yang tak mewakili seluruh populasi di Amerika Serikat. Sampelnya juga sebagian besar adalah orang kulit putih, yang membatasi generalisasi temuan di berbagai kelompok ras dan etnis.
Riset serupa pernah dilakukan peneliti dari Wayne State University, yakni Ernest Abel dan Michael Kruger dalam jurnal Psychological Science (2010). Mereka menganalisa intensitas senyuman 230 foto pemain bisbol yang dipublikasikan di Baseball Register tahun 1952 terhadap usia.
Abel dan Kruger lantas membagi foto-foto itu ke dalam tiga kategori, yakni tidak tersenyum, tersenyum sebagian, dan tersenyum lebar atau Duchenne untuk menangkap nilai positif para pemain bisbol itu.
Selanjutnya, mereka mencocokkan peringkat senyum pemain bisbol itu dengan usianya saat meninggal. Kemudian menelusuri faktor-faktor, seperti berapa lama pemain itu bermain bisbol, apakah mereka mengenyam pendidikan tinggi, serta indeks massa tubuh mereka.
“Hasilnya, pemain bisbol yang tersenyum lebar kepada fotografer hanya memiliki kemungkinan setengah lebih kecil meninggal dalam setahun dibandingkan mereka yang hanya tersenyum sebagian atau tidak tersenyum sama sekali,” tulis Forbes.
“Mereka yang tersenyum setengah hati hidup lebih lama daripada mereka yang tidak tersenyum sama sekali, tetapi tidak lebih lama dari rekan setim mereka yang menyeringai.”