Pandemi menghantam bioskop, menumbuhkan tontonan online
Siang itu, Kustanto baru saja selesai menonton film The Swordsman di bioskop CGV Transmart Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Warga Sunter, Jakarta Utara tersebut mengaku lebih senang menonton film di bioskop ketimbang melalui layanan menonton secara daring.
“Saya jarang menonton lewat platform online,” kata Kustanto saat ditemui reporter Alinea.id, Selasa (10/11).
Ia juga tak begitu khawatir terhadap potensi penularan SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 di bioskop.
Jaringan CGV Cinemas—perusahaan bioskop multipleks asal Korea Selatan---sudah membuka layar mereka di Jakarta sejak Rabu (21/10). Selain CGV Transmart Cempaka Putih, CGV juga membuka kembali bioskop mereka di Grand Indonesia, Green Pramuka Mall, dan AEON Mall JGC.
Di samping CGV Cinemas, Cinepolis—jaringan bioskop asal Meksiko—juga membuka bioskop di Plaza Semanggi, Pluit Village, Gadjah Mada Plaza, Tamini Square, dan Cibubur Junction.
Bioskop buka, pelaku perfilman sepi job
Pengelola bioskop menerapkan aturan protokol kesehatan yang ketat, seperti mengecek suhu tubuh penonton, mewajibkan penonton menulis identitas, tak diizinkan membawa makanan dan minuman ke dalam ruangan bioskop, serta membuat jarak kursi penonton.
Awalnya, diberi jarak dua kursi penonton. Namun, sejak awal November, jarak hanya satu kursi atau 50% kapasitas penonton—setelah sebelumnya hanya 25%. Supervisor CGV Cinemas Transmart Cempaka Putih, Hendra mengatakan, kebijakan tersebut diterapkan usai mengajukan permohonan kepada Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Jakarta.
“Jadi sekarang berjarak hanya selisih satu bangku yang kosong,” kata Hendra saat ditemui di CGV Transmart Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (10/11).
Penerapan protokol kesehatan di area bioskop, kata Public Relations Manager CGV Cinemas Hariman Chalid, disusun sesuai anjuran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Disparekraf DKI Jakarta.
“Tren penonton naik seiring berjalannya waktu,” katanya ketika dihubungi, Selasa (10/11).
Sejak ditutup sementara pada Maret hingga Oktober, diakui Hariman, CGV merugi. Di masa normal, sekali pemutaran film di satu studio hasil penjualan tiketnya sekitar Rp3.500.000 hingga Rp5.000.000. Satu studio biasanya memutar delapan hingga 12 film.
Film-film yang diputar di CGV bukan rilis terbaru dan berasal dari luar negeri. Misalnya, Deliver us from Evil, Friend Zone, Guns Akimbo, dan Train to Busan Presents Peninsula. Film-film Indonesia hingga kini belum diputar. Di tengah kesulitan, CGV bersiasat memutar film-film yang populer.
“Kami masih memantau seperti apa jumlah dan karakter penonton yang datang. Kalau ada pertumbuhan positif dari penonton dan respons di media sosial, bisa saja film Indonesia diputar, tapi belum dulu,” katanya.
Pandemi diakui pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kadisparekraf) DKI Jakarta Gumilar Ekalaya ikut membuat usaha bioskop terpuruk. Maka, bersama 13 usaha di sektor pariwisata lainnya, bioskop diizinkan dibuka kembali melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Nomor 259 Tahun 2020, yang diterbitkan pada 12 Oktober 2020.
“Pembukaan kembali bioskop ini harus memperhatikan betul penerapan protokol kesehatan secara ketat,” katanya saat dihubungi, Selasa (10/11).
Gumilar mengingatkan, pengelola bioskop secara aktif mengawasi penerapan protokol kesehatan dan keselamatan penonton. Pengelola bioskop dianjurkan pula membentuk tim kecil, semacam satgas penanganan Covid-19, untuk mendukung pemantauan berkala oleh tim Disparekraf DKI Jakarta.
Berbeda dengan CGV dan Cinepolis, jaringan Cinema XXI belum membuka layar mereka di Jakarta. Head of Corporate Communication & Brand Management Cinema XXI, Dewinta Hutagaol, belum bisa memberikan penjelasan mengenai kapan bioskop mereka dibuka kembali.
Bukan hanya bisnis bioskop yang terimbas pandemi Covid-19. Pelaku perfilman pun ikut meringis. Aktor dan produser film Teuku Rifnu Wikana merasakannya. Pengambilan gambar film Jelangkung 3 yang melibatkan dirinya, terpaksa dihentikan pada pertengahan Maret.
“Padahal waktu syuting tersisa tinggal tiga hari lagi,” ucap Rifnu ketika dihubungi, Senin (9/11).
Belakangan ia bisa bernapas lega, usai mendapat tawaran bermain film lagi dari beberapa rumah produksi, yang bekerja sama dengan perusahaan menonton film daring atau over the top (OTT). Tawaran itu berupa film pendek dan film bersambung alias series.
“Tentu saja, tawaran produksi OTT itu menguntungkan. Bila produksi tidak ada, mau dapat penghasilan dari mana?” ujar pelaku perfilman lainnya, Ruth Marini saat dihubungi, Selasa (10/11).
Pada Juli lalu, aktris yang pernah bermain di film Wiro Sableng dan Ratu Ilmu Hitam itu terlibat dalam film series Sementara, Selamanya, yang bekerja sama dengan platform menonton daring.
Wahana baru menonton film
Bersama beberapa produser lainnya, Rifnu bersepakat membentuk sebuah perusahaan penyedia konten, PT Kurnia Alam Semesta. Ia menggandeng Badan Perfilman Indonesia (BPI) dan Telkom untuk bekerja sama mengembangkan layanan menonton daring berbayar, dinamakan Indihome Cinema. Layanan tersebut mengincar penggemar film Indonesia. Penonton hanya membayar Rp20.000, bisa menonton tiga film pendek dan satu film panjang.
“Di masa pandemi ini, apakah mereka (pengelola bioskop konvensional) mau menayangkan film Indonesia? Sepertinya kok enggak pede, ya,” tuturnya.
“Padahal banyak penonton yang sudah menunggu karya film Indonesia.”
Bagi sutradara Jason Iskandar, kehadiran layanan menonton daring turut mendorong pola produksi film kolaboratif dengan sutradara lainnya. Kehadiran OTT menjadi alternatif karya filmnya diterima publik.
Tak hanya menjadi saluran yang menawarkan tontonan beragam, kata dia, OTT juga bisa memperpanjang usia film untuk dinikmati publik. Namun, ia mengakui, orang Indonesia belum terbiasa mengakses film secara daring.
“Karena model bisnis industri film kita masih menggunakan bioskop konvensional sebagai yang utama,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (11/11).
Sutradara Yosep Anggi Noen menilai, layanan daring dan bioskop konvensional merupakan dua ruang menonton film yang bisa saling melengkapi. Sejauh ini, dalam pandangan Anggi, keberadaan layanan menonton daring menentukan pilihan jenis dan kualitas gambar dari film yang akan dibuat.
“Setiap medium penayangan film punya karakter dan otomatis akan mempengaruhi teknis kreativitas dalam produksinya,” kata Anggi saat dihubungi, Selasa (10/11).
Pandemi justru membuat tontonan daring bertumbuh. Keuntungan pun didapat Netflix—penyedia layanan media streaming digital yang berpusat di Los Gatos, California, Amerika Serikat.
“Kami akan terus menghadirkan layanan konten film terbaik,” kata Communication Manager Netflix Indonesia, Kooswardini Wulandari saat dihubungi, Rabu (11/11).
“Beberapa film Indonesia terbaru di Netflix kami tambahkan untuk memperkaya pilihan tontonan.”
Dibandingkan bioskop konvensional, Kooswardini menjelaskan, kelebihan Netflix adalah penonton bisa menentukan pilihan ragam film. “Layanannya berbasis pada permintaan konsumen,” tuturnya.
Akan tetapi, mantan Kepala Sinematek Indonesia sekaligus sutradara Adisoerya Abdi mengatakan, platform menonton daring masih belum dapat diunggulkan menjadi saluran berkarya film komersial. Maraknya para pembuat film memproduksi karya yang ditayangkan di platform daring, sekadar menutupi kebutuhan jangka pendek selama pandemi.
“Jikapun ada produser mengedarkan filmnya melalui OTT, itu dilakukan dengan pertimbangan harga, yang penting tidak merugi,” kata Adisoerya ketika dihubungi, Rabu (11/11).
Sementara, penayangan film di medium digital, perlu memperhitungkan potensi pasar dengan melihat perkembangan jumlah penonton, setelah bioskop konvensional buka.
“Operasional bioskop konvensional masih belum berjalan normal. Minat penonton untuk ke bioskop juga masih belum jelas,” ujarnya.
Ia melihat, kebanyakan produser dan sutradara Indonesia memproyeksikan waktu tayang film mereka di gedung bioskop selepas Juli 2021. Di sisi lain, layanan menonton daring perlahan menggerus minat penonton untuk pergi ke bioskop.
Selain pandemi, pertimbangannya biaya berlangganan relatif lebih murah. Penggemar film pun bisa mengakses tontonannya dalam jumlah lebih banyak di beragam medium.
“Menonton jadi bisa di mana saja,” katanya.
Beberapa gedung bioskop yang sudah kembali buka, diragukan anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sekaligus pengamat budaya populer Hikmat Darmawan, bakal cepat menarik minat penonton dalam jumlah besar. Sedikit-banyak, penerapan protokol kesehatan di bioskop mengurangi kenyamanan orang menikmati film.
Di samping itu, pengurangan kapasitas penonton di setiap studio malah dapat memaksa pengelola bioskop memperpanjang masa pemutaran sebuah judul film. Dampaknya, bisa mengganggu mekanisme jadwal putar setiap film.
Hikmat menilai, kehadiran layanan menonton baru sebagai skema bisnis alternatif sangat dibutuhkan. Skema bisnis tersebut diperkirakan dapat dijalankan selama dua atau tiga tahun ke depan.
“Selama masih belum ada vaksin, pilihan menonton di bioskop konvensional itu belum rasional,” ujar Hikmat saat dihubungi, Rabu (11/11).
Selain itu, mengubah perilaku menonton publik akan jauh lebih mudah ketimbang mengubah model bisnis pemutaran film. Hikmat memandang, infrastruktur bisnis perfilman Indonesia masih bergantung pada sistem penayangan konvensional di bioskop. Kebiasaan kebanyakan orang untuk datang dan membeli karcis menonton merupakan hal yang masih menjadi perhitungan utama dalam menentukan keberhasilan sebuah film.
“Maka skema baru bisnis ekshibisi film, seperti melalui layanan OTT, tidak akan menihilkan kedudukan bioskop konvensional,” ujarnya.