close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi remaja./Foto Surprising_SnapShots/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi remaja./Foto Surprising_SnapShots/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Riset
Jumat, 15 November 2024 06:30

Pandemi menyebabkan pubertas dini meningkat?

Para peneliti menguji paparan sinar LED ke tubuh tikus untuk melihat gejala pubertas yang lebih awal.
swipe

Pandemi Covid-19 yang lalu menyebabkan banyak masalah kesehatan. Salah satu yang paling membingungkan adalah meningkatnya jumlah anak yang mengalami pubertas prekoks idiopatik—pubertas yang terjadi lebih awal dari biasanya.

Pubertas merupakan proses perkembangan fisik dan mental yang dialami anak-anak saat mereka mencapai kematangan seksual dan mampu bereproduksi. Awal masa pubertas seseorang biasanya terjadi antara usia 8 dan 13 tahun untuk anak perempuan, serta usia 9 dan 14 tahun untuk anak laki-laki.

Pubertas dini bisa menyebabkan kegagalan mencapai tinggi badan maksimal karena pertumbuhannya terhenti terlalu cepat, serta masalah psikologis dan sosial, seperti kecemasan karena dianggap berbeda dari teman sebayanya.

Science Alert menyebut, lebih dari satu penelitian menemukan lonjakan jumlah kondisi langka ini, yang menyoroti hubungan potensial antara virus dan pemicu pubertas awal.

Para peneliti dari Gazi University dan Ankara City Hospital, Turki menerbitkan dua hasil riset secara terpisah pada 2023, di Journal of Clinical Research in Pediatric Endocrinology (JCRPE) dan jurnal Frontiers in Endocrinology terkait masalah ini.

Menurut para peneliti, pubertas dini pada masa pandemi tidak ada hubungannya sama sekali dengan infeksi virus. Namun, waktu yang dihabiskan dengan menggulir perangkat pintar selama karantina berjam-jam, kemungkinan besar menjadi penyebabnya.

Para peneliti memaparkan tikus jantan dan betina yang belum dewasa ke cahaya dari layar light emitting diode (LED). Mereka menemukan, tikus yang terpapar cahaya LED untuk waktu yang lebih lama menunjukkan tanda-tanda kedewasaan lebih cepat daripada yang lain.

“Paparan cahaya biru yang cukup untuk mengubah kadar melatonin juga mengubah kadar hormon reproduksi, dan menyebabkan pubertas lebih awal pada tikus. Selain itu, semakin lama paparan, semakin cepat pula pubertas dimulai,” ujar ahli endokrinologi di University Gazi yang juga penulis utama penelitian, Aylin Kilinc Ugurlu, seperti dikutip dari Science Alert.

Meski hasilnya belum dapat memastikan secara pasti mengapa lebih banyak anak di seluruh dunia mengalami pubertas dini, ini merupakan temuan yang harus ditanggapi serius. “Karena kita menjadi semakin bergantung pada teknologi digital yang dipersonalisasi,” tulis Science Alert.

Menurut Science Alert, alasan di balik lonjakan hormon dini juga merupakan misteri. Selain bentuk kanker atau gangguan sistem saraf lainnya, sebagian besar bersifat idiopatik alias tak ada penyebab yang jelas. Jadi, ketika jumlah anak perempuan yang melaporkan ciri-ciri pubertas dini idiopatik di Turki melonjak dari 25 pada April 2019 menjadi 58 pada Maret 2020, para peneliti menduga berbagai hal, mulai dari makanan berkalori tinggi hingga ketakutan terhadap pandemi.

“Salah satu kemungkinan yang menarik adalah peningkatan tajam dalam penggunaan perangkat pintar. Atau lebih tepatnya, peningkatan signifikan dalam waktu yang dihabiskan untuk terpapar cahaya biru yang dipancarkan dari ponsel dan tablet setiap hari,” tulis Science Alert.

Namun, bukan berarti faktor lain tak memainkan peran penting. Biologi pubertas sangat kompleks, sehingga memberi banyak ruang bagi berbagai macam pengaruh untuk membentuk garis waktu masa remaja pada manusia.

“Karena ini adalah penelitian pada tikus, kami tidak yakin apakah temuan ini akan berlaku juga pada anak-anak, tetapi data ini menunjukkan paparan cahaya biru dapat dianggap sebagai faktor risiko pubertas dini,” kata Ugurlu, dalam Science Alert.

Di sisi lain, menurut Euronews, sejak awal 2000-an dari Denmark hingga Italia, anak-anak di Eropa mengalami pubertas lebih awal. Ada beberapa hasil penelitian terkait faktor-faktor yang berpotensi memicu pubertas dini di Eropa.

Pertama, kegemukan. Menurut Euronews, para peneliti yakin gizi dan obesitas dapat menyebabkan pubertas lebih awal karena lemak berlebih dikaitkan dengan peningkatan kadar leptin—hormon yang memberi sinyal bahwa tubuh siap memasuki pubertas.

Kedua, paparan bahan kimia yang dipercaya menganggu endokrin, yang ditemukan dalam makanan sehari-hari. Ketiga, faktor gaya hidup yang tidak banyak bergerak dan penggunaan telepon selama masa pandemi. Terakhir, faktor stres karena keluarga.

“Anak-anak dari keluarga tanpa ayah misalnya, melaporkan tingkat pubertas dini yang lebih tinggi,” tulis Euronews.

“Faktor keluarga lainnya juga mungkin berperan. Anak tunggal cenderung memasuki masa pubertas lebih awal daripada anak dengan saudara kandung, menurut sebuah studi yang melibatkan 10.700 orang dari Aarhus University di Denmark.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan