Paradoks pernikahan usia dini dan angka perceraian yang tinggi
Tanpa persiapan berarti, Siti (18 tahun) mengalami persalinan dini atau prematur di usia kandungan 8 bulan. Dirinya bahkan tak sempat meninggalkan tempat tidur dan mengalami pecah ketuban dan rasa mulas luar biasa. Selang beberapa jam kemudian, di pertengahan malam, bayinya lahir tanpa bantuan tenaga medis.
Di kamar kos berukuran 3 kali 3 meter, Siti hanya ditemani sang suami, Regi (24). Keterbatasan biaya dan ketidaktahuan membuat mereka hanya berdiam menunggu bayi lahir di kamar yang berada di sekitar pasar Ciputat, Tangerang Selatan itu.
“Bayinya lahir langsung nangis, saya bingung lalu panggil bapak saya di pasar. Bapak sampai di kamar terus saya jemput ibu saya yang kerja,” kata Regi saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (28/6) lalu.
Selepas ayah dan ibunya berkumpul, Regi bergegas menggendong sang istri ke klinik bidan terdekat. Di sanalah dia baru mengetahui, bayi laki-laki yang sangat mungil itu hanya seberat satu kilogram. Sang bayi lahir bersama dengan plasentanya. Siti pun mengalami pendarahan dan telah mendapat perawatan dari sang bidan.
Regi memang belum mapan. Bagaimana tidak, meski sudah menikah Juli tahun lalu lelaki berperawakan kurus ini memang belum berpenghasilan. Boro-boro menerima gaji bulanan sebagai pekerja tetap, pekerjaan serabutan pun ia tak punya. Tak heran, kehamilan sang istri tidak diperiksa secara rutin.
Ditambah lagi kesehatan istrinya juga terus menurun selama hamil. Ia bahkan mengalami mual terus menerus dan susah menelan makanan. “Si ibu bayi memang tidak sehat, jadi bayi pun lahir prematur karena sudah tidak nyaman di dalam perut,” jelas bidan Aat yang menangani post-partum Siti di Klinik Bidan Marlina, Ciputat, Tangsel kepada Alinea.id, Kamis (29/6).
Aat menceritakan dirinya meminta keluarga mencari ruangan NICU (neonatal intensive care unit) atau ruang perawatan intensif khusus untuk bayi baru lahir dengan berat rendah. “Tapi keluarga menolak karena tidak punya BPJS (Kesehatan) dan tidak punya biaya. Biaya perawatan Rp1 juta saja mereka kesulitan,” kisah bidan senior ini.
Beruntung, meski tidak dirawat di klinik, Siti dan sang bayi akhirnya bisa mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangsel. Bayi yang belum mendapat nama ini akhirnya bisa segera mendapat perawatan NICU. Pasalnya, kelahiran prematur membuatnya belum memiliki reflek menyusu dan menelan sehingga membutuhkan asupan nutrisi lewat selang orogastric tube (OGT).
“Kata dokter bayinya sehat, tapi belum bisa nyusu makanya harus dirawat, enggak tahu sampai kapan. Ibunya juga harus dirawat karena ada masalah pernapasan,” kata ayah bayi, Regi.
Lelaki asal Pandeglang, Jawa Barat ini pun menyadari kelahiran buah hatinya ini menambah beban tanggung jawabnya. Saat ini ia masih menggantungkan biaya hidupnya pada orang tua. Dengan lahirnya bayi, maka ia harus mulai mencari kerja untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup keluarga kecilnya.
“Mungkin nanti istri dan anak saya taruh kampung saja kalau udah sehat. Saya harus segera kerja,” tekadnya.
Regi dan Siti menjadi salah satu contoh pasangan pernikahan dini yang masih terjadi di Indonesia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pernikahan dini (early married) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia 19 tahun. Adapun United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi yang dilakukan sebelum usia 18 tahun.
Kasus perkawinan anak di tanah air bahkan sudah masuk kategori yang sangat mengkhawatirkan. Dari data pengadilan agama, tahun 2021 tercatat 65 ribu permohonan dispensasi perkawinan usia anak, dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan. Pengajuan permohonan menikah pada usia anak lebih banyak disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu dan faktor dorongan dari orangtua yang menginginkan anak mereka segera menikah karena sudah memiliki teman dekat/pacaran.
Seperti halnya terjadi pada Regi dan Siti. Menurut Yanti, ibunda Regi, ia terpaksa menikahkan anak sulungnya itu meski sang anak belum berpenghasilan. “Saya takut justru keburu hamil. Eh sekarang hamil pun ternyata bermasalah,” keluhnya saat berbincang dengan Alinea.id.
Kini, nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya, ia harus menanggung biaya hidup anak dan menantu serta anak keduanya yang putus sekolah. Belum lagi kebutuhan bayi prematur yang kini masih dirawat di RSUD Tangsel itu. “Semoga anak saya bisa segera dapat kerja,” harapnya.
Kondisi kedaruratan perkawinan anak di Indonesia, pun mengundang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) segera mengambil tindakan. Bekerjasama dengan PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) Universitas Indonesia, Ikatan PIMTI Perempuan Indonesia serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kementerian ini menyusun Risalah Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak Untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak.
Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA Titi Eko Rahayu mengatakan tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak.
“Amandemen terhadap Undang-Undang Perkawinan di tahun 2019 di mana usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun menjadi upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat. Namun di lapangan, permohonan pengajuan perkawinan masih terus terjadi dan ini sudah sangat mengkhawatirkan,” ungkapnya.
Padahal, anak-anak adalah harapan masa depan untuk membangun Indonesia. Sementara saat menikah dini, maka peluang masa depan itu pun bisa pupus. “Ini tanggung jawab bersama karena isu perkawinan anak rumit dan sifatnya multisektoral,” ujarnya.
Dari kacamata psikologi, pernikahan dini memiliki beberapa masalah yang dapat merugikan pasangan muda dan perkembangan mental mereka. Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan pernikahan dini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental karena pasutri merasa terbatas dalam pilihan dan merasa kurang puas dengan kehidupan yang terbatas.
“Pandangan bahwa menikah pada usia muda dianggap sebagai hal yang diharapkan dan dianggap sebagai kewajiban sosial atau agama dapat mempengaruhi tingginya angka pernikahan dini,” sebutnya.
Menurut para psikolog (Wulandari & Santoso, 2021), tambahnya, pasangan muda yang menikah pada usia dini mungkin menghadapi rendahnya dukungan sosial, baik dari keluarga, teman sebaya, atau masyarakat. Dus, sebagian masyarakat masih memandang pernikahan sebagai tanda kedewasaan dan kewajaran bagi perempuan untuk menikah pada usia yang lebih muda.
Padahal, pada usia dini belum ada kesiapan baik dari fisik maupun psikologis pada pasangan suami istri. Nantinya, hal ini akan memberikan dampak yang signifikan pada perkembangan mental pasangan suami istri. “Mereka mungkin belum memiliki pemahaman yang memadai tentang diri mereka sendiri, kebutuhan emosional, dan bagaimana mengelola emosi yang kompleks dalam hubungan pernikahan,” ungkapnya yang sudah berkecimpung di dunia psikologi selama 21 tahun lebih ini.
Dalam banyak kasus, pernikahan dini juga memperbesar risiko masalah kesehatan mental dan menimbulkan tantangan yang kompleks bagi pasangan muda (Prayoga & Kumaladewi, 2017). Belum lagi ketergantungan finansial yang tinggi pada orang tua seperti pada kisah Regi dan Siti, dapat menyebabkan rasa ketidakberdayaan dan meningkatkan risiko stres dan depresi.
“Pasangan muda mungkin tidak memiliki keterampilan komunikasi dan penyelesaian konflik yang baik, yang dapat menyebabkan peningkatan risiko konflik dan kekerasan dalam hubungan mereka,” bebernya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Research Fellow Monash University Danusha Jayawardana juga mengungkap praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.
Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, di mana 30% di antaranya menikah pada usia 18 tahun. Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi.
“Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing women' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia,” kata Danusha.
Dia menilai pernikahan usia dini seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri. “Dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini,” ungkapnya.
Angka perceraian naik
Tak hanya angka pernikahan dini yang mengalami peningkatan. Perceraian keluarga di Indonesia juga mengalami kenaikan di masa pandemi. Kondisi paradoks ini terjadi ditandai dengan data laporan Statistik Indonesia 2023. Tercatat kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022 atau meningkat 15% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus.
Bahkan, kasus perceraian pada tahun 2022 menjadi yang tertinggi dalam enam tahun terakhir. Mayoritas kasus perceraian yang terjadi pada 2022 merupakan cerai gugat, yang berarti gugatan perceraian diajukan oleh pihak istri. Jumlahnya sebanyak 338.358 kasus atau sebanyak 75,21% dari total kasus perceraian yang terjadi.
Selain itu, sebanyak 127.986 kasus atau 24,79% perceraian terjadi karena adanya cerai talak atau permohonan cerai oleh pihak suami yang kemudian diputuskan oleh pengadilan. Data ini menunjukkan lebih dari setengah kasus perceraian yang terjadi diajukan oleh pihak istri.
Adapun faktor penyebab utama perceraian yang terjadi pada tahun 2022 ialah perselisihan dan pertengkaran sebanyak 284.169 kasus atau setara dengan 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian. Penyebab lainnya dilatarbelakangi alasan permasalahan ekonomi, salah satu pihak meninggalkan, poligami, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Tekanan finansial yang tinggi, pertengkaran, atau kesulitan dalam mengelola keuangan keluarga dapat menyebabkan stres dan ketegangan, yang berdampak negatif pada hubungan perkawinan,” kata psikolog Kasandra Putranto.
Menurutnya, pendidikan perkawinan yang terbatas atau minimnya akses terhadap sumber daya dan dukungan perkawinan dapat menyebabkan pasangan tidak siap secara emosional atau kurangnya pengetahuan tentang bagaimana membangun hubungan yang sehat.
“Tingginya angka perceraian tidak secara langsung menunjukkan bahwa banyak pasangan ‘‘menyerah‘‘ untuk berjuang membangun keluarga secara bersama. Tetapi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks, termasuk perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan individu yang beragam,” bebernya.
Ketidakcocokan dan ketidakharmonisan dan konflik yang tidak terselesaikan dengan baik dalam pernikahan dapat menjadi faktor pemicu perceraian. Mengutip Amato & Previti, 2003, perceraian seringkali merupakan keputusan yang kompleks dan sulit yang melibatkan pertimbangan berbagai faktor dan kondisi unik dalam setiap hubungan.
Kasus perselingkuhan yang viral
“Perasaan sayang itu pernah ada dan sungguh-sungguh ada, saya menyesal karena tidak tegas dan jujur serta berani mengungkapkan kenapa rasa itu bisa sampai hilang. Saya menyesal tidak menyelesaikan dengan benar dan malah melarikan diri dan mencari kenyamanan di luar,” ujar Virgoun, musisi yang belakangan viral karena kasus perselingkuhan yang dibeberkan istrinya, Inara rusli.
Menanggapi hal ini, seorang penulis muslim Kalis Mardiasih menilai menikah hanya bisa dilakukan manusia dewasa yang siap agar ketika ada masalah, tidak diselesaikan dengan lari dari masalah menuju ke kesenangan buat diri sendiri.
“Tapi siap menghadapi masalah bersama meski prosesnya rumit bahkan menyakitkan, demi mendapatkan solusi terbaik bersama,” ujar aktivis pemerhati masalah gender ini dalam akun Instagramnya @kalis.mardiasih.
Selain Virgoun yang tengah menjalani sidang perceraian, deretan selebritas lain pun pernah diterpa isu perselingkuhan dan berujung pada perceraian. Sebut saja Ayus Sabyan, Ahmad Dhani, Tora Sudiro, dan yang terbaru Rendy Kjaernett harus menyelesaikan biduk rumah tangga di meja hijau.
Tak hanya selebritas tentunya, video-video viral soal penggerebekan aksi perselingkuhan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perebutan hak asuh anak di tengah masyarakat seringkali menyeruak di linimasa media sosial. Tak hanya berujung pada perceraian, pasangan suami istri yang mengalami dinamika hubungan tersebut bisa saja tetap memilih bersama.
Pada postingan lain, Kalis menyoroti beragam cerita kala korban KDRT maupun perselingkuhan sulit untuk meninggalkan pasangan abusifnya. Pertama, kata dia, korban takut karena terkondisikan untuk berada dalam kontrol pelaku sehingga jika korban meninggalkan pelaku bisa jadi posisinya tidak aman.
Kedua, korban salah menaruh harapan pada pelaku di mana ia berpikir bahwa perilaku tersebut hanya satu kali dan pelaku memiliki waktu untuk memperbaiki diri. “Sebab pelaku telah meminta maaf, berperilaku manis berkali lipat dari hari biasa dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,” sebutnya.
Ketiga, perasaan bersalah jika pelaku mengalami hal-hal tidak menyenangkan jika tidak bersama korban di masa depan. Keempat, faktor ketergantungan ekonomi yang membuatnya sulit lepas dari pelaku apalagi terkait pendidikan anak-anak maupun tempat tinggal yang semua bergantung pada pelaku. Terakhir adalah ketergantungan emosional pada pelaku.
Menurutnya, dominasi kontrol pelaku terhadap korban telah menghilangkan misi hidup dan keputusan atas dirinya sejak lama, digantikan oleh kontrol dan arahan pelaku. “Situasi tersebut membuat korban tidak lagi bisa membayangkan cara hidup mandiri, tidak lagi berpikir tentang hak-hak yang ia miliki,” tambahnya.
Adapun Kasandra menilai hilangnya kesakralan dalam pernikahan dapat berasal dari berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi oleh pasangan, termasuk ketidakpuasan emosional, komunikasi yang buruk, ketidakseimbangan kebutuhan, perubahan dalam dinamika hubungan, dan lain sebagainya.
“Ketidakpuasan emosional dapat menjadi pendorong untuk mencari kepuasan emosional di luar pernikahan. Jika salah satu pasangan merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, seseorang mungkin mencari kepuasan di luar pernikahan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan yang terabaikan,” ungkapnya.
Apalagi, kesempatan untuk berselingkuh, berupa interaksi dengan orang lain di luar pernikahan yang lebih intim atau frekuensi perjalanan yang tinggi, juga dapat meningkatkan risiko perselingkuhan (Allen,dkk, 2015).