close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemain Timnas U-23 Indonesia Egy Maulana Vikri (tengah) melayani swafoto dari warga usai melaksanakan Salat Jumat di Badung, Bali, Jumat (15/3). /Antara Foto.
icon caption
Pemain Timnas U-23 Indonesia Egy Maulana Vikri (tengah) melayani swafoto dari warga usai melaksanakan Salat Jumat di Badung, Bali, Jumat (15/3). /Antara Foto.
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 15 Maret 2019 19:37

Parasosial, hubungan ilusif dengan idola

Horton dan Wohl mendefinisikan parasosial sebagai hubungan dekat dengan tokoh media saat menonton acara televisi.
swipe

Terkadang kita menyaksikan seorang teman atau kerabat yang tergila-gila dengan aktor yang berlaga di layar kaca, terkesima suara penyanyi yang mengalun melalui radio, dan mengikuti aktivitas media sosial publik figur.

Saking ngefan dengan sang idola, sejumlah orang rela merogoh kocek untuk membeli pernak-pernik, karya, bahkan pergi menonton idolanya tersebut. Tak peduli berapa uang yang dikeluarkan.

Siti Nadhiroh termasuk salah seorang penyuka personel boy band K-pop Big Bang, Kwon Ji-yong alias G-Dragon. Ia mengidolakan G-Dragon sejak penyanyi itu merilis album mini pertama On of a Kind pada 2012.

“Saya suka karena dia keren banget, selain ganteng dan juga pintar nari. Setelah itu baru kemudian nyari-nyari info apapun tentangnya,” tutur Siti saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (14/3).

Siti mengaku, mengetahui apapun tentang kehidupan pribadi idolanya itu, mulai aktivitas yang biasa dilakukan setelah bangun tidur, kegiatan di waktu senggang, pakaian yang sering dikenakan, dan warna favorit sang idola.

“Dia itu kalau bangun tidur pasti minum susu sapi putih untuk sarapan. Kalau lagi kosong, dia selalu ngajak anjing kesayangannya dia jalan-jalan di taman. Warna kesukaannya kuning,” ujarnya.

Selain itu, Siti tahu makanan favorit G-Dragon. “Makanan favoritnya susyi. Dia juga senang mengenakan pakaian perempuan yang dikombinasikan dengan pakaian pria,” tuturnya.

Saking menyukai idolanya itu, ia pernah berharap G-Dragon mendatanginya di mimpi saat tidur. “Tapi sayangnya enggak pernah kesampaian sih,” katanya.

Ia selalu senang menulis ulang lirik-lirik lagu yang diciptakan G-Dragon, memantau aktivitas terbaru sang idola lewat Youtube, dan merasa tidak senang dengan orang-orang yang suka mengungkit masalah terkait idolanya.

Bukan sekadar penggemar

Para penggemar grup musik Noah dari Makassar dan Manado bertemu personel Noah. /instagram.com/noah_site

Gayle S. Stever dalam artikelnya “Parasocial and Social Interaction with Celebrities: Classification of Media Fans” yang dipublikasikan di Jurnal Psychology Theories Methods and Applications (2009) menulis, seseorang bisa mencintai atau menggemari idolanya berdasarkan perasaan, seperti “selebritas idola mirip dengannya”, “ia ingin seperti selebritas”, “keterikatan secara romantis”, dan “menganggap idola adalah pahlawan suci.”

Gayle menulis, beberapa penggemar merasa terselamatkan hidupnya oleh sang idola melalui lirik-lirik lagu yang diciptakan, seperti yang ia temui dalam sampel penggemar Michael Jackson dan Bruce Springsteen.

Dia melanjutkan, ada pula seseorang yang merasa lebih punya rasa aman menjalin hubungan ilusif dengan idolanya, dibanding dengan manusia nyata di sekitarnya.

“Hal ini dikarenakan ia mengangap bahwa sang idola tidak mungkin menyakiti dirinya seperti yang dapat dilakukan oleh keluarga atau tetangganya,” tulis Gayle.

Kecintaan dan hubungan emosional yang terjadi antara penggemar dan idola dikenal sebagai interaksi parasosial. Hubungan Siti dengan G-Dragon memiliki kecenderungan tersebut.

Istilah parasosial diperkenalkan sosiolog asal University of Chicago Donald Horton dan Richard Wohl pada 1950-an. Pada 1956, mereka menerbitkan artikel “Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a distance” di Jurnal Psychiatry.

Horton dan Wohl mendefinisikan parasosial sebagai hubungan dekat dengan tokoh media saat menonton acara televisi atau mendengarkan siaran radio.

Lalu, mereka menjelaskan, hubungan tersebut tercipta seolah-olah berlandaskan sebuah kesepakatan implisit antara tokoh media atau selebritas dengan pemirsa televisi.

Pemirsa televisi akan menganggap, interaksi itu adalah sebuah hubungan dengan pertemuan langsung, bukan hubungan lewat perantara.

Interaksi parasosial dimungkinkan terjadi seiring perkembangan zaman lewat media, seperti televisi dan radio. Kini, ditambah lagi media sosial.

Maltby, Giles, Barber, dan McCutcheon dalam tulisannya “Intense Personal Celebrity Worship and Body Image: Evidence of a Link Among Female Adolescents” yang dipublikasikan Journal of Health Psychology (2005) membagi interaksi parasosial menjadi tiga tingkatan.

Pertama, social entertainment, yakni penggemar mengagumi selebritas karena aspek hiburan yang dibawanya. Kedua, intense personal feeling, yakni penggemar menganggap punya kedekatan emosional dengan idolanya.

Ketiga, mild patology, yaitu penggemar rela melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan idolanya, bahkan menabrak norma dan hukum yang berlaku.

Terkadang kita menyaksikan seorang teman atau kerabat yang tergila-gila dengan aktor yang berlaga di layar kaca, terkesima suara penyanyi yang mengalun melalui radio, dan mengikuti aktivitas media sosial publik figur.

Saking ngefan dengan sang idola, sejumlah orang rela merogoh kocek untuk membeli pernak-pernik, karya, bahkan pergi menonton idolanya tersebut. Tak peduli berapa uang yang dikeluarkan.

Siti Nadhiroh termasuk salah seorang penyuka personel boy band K-pop Big Bang, Kwon Ji-yong alias G-Dragon. Ia mengidolakan G-Dragon sejak penyanyi itu merilis album mini pertama On of a Kind pada 2012.

“Saya suka karena dia keren banget, selain ganteng dan juga pintar nari. Setelah itu baru kemudian nyari-nyari info apapun tentangnya,” tutur Siti saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (14/3).

Siti mengaku, mengetahui apapun tentang kehidupan pribadi idolanya itu, mulai aktivitas yang biasa dilakukan setelah bangun tidur, kegiatan di waktu senggang, pakaian yang sering dikenakan, dan warna favorit sang idola.

“Dia itu kalau bangun tidur pasti minum susu sapi putih untuk sarapan. Kalau lagi kosong, dia selalu ngajak anjing kesayangannya dia jalan-jalan di taman. Warna kesukaannya kuning,” ujarnya.

Selain itu, Siti tahu makanan favorit G-Dragon. “Makanan favoritnya susyi. Dia juga senang mengenakan pakaian perempuan yang dikombinasikan dengan pakaian pria,” tuturnya.

Saking menyukai idolanya itu, ia pernah berharap G-Dragon mendatanginya di mimpi saat tidur. “Tapi sayangnya enggak pernah kesampaian sih,” katanya.

Ia selalu senang menulis ulang lirik-lirik lagu yang diciptakan G-Dragon, memantau aktivitas terbaru sang idola lewat Youtube, dan merasa tidak senang dengan orang-orang yang suka mengungkit masalah terkait idolanya.

Bukan sekadar penggemar

Para penggemar grup musik Noah dari Makassar dan Manado bertemu personel Noah. /instagram.com/noah_site

Gayle S. Stever dalam artikelnya “Parasocial and Social Interaction with Celebrities: Classification of Media Fans” yang dipublikasikan di Jurnal Psychology Theories Methods and Applications (2009) menulis, seseorang bisa mencintai atau menggemari idolanya berdasarkan perasaan, seperti “selebritas idola mirip dengannya”, “ia ingin seperti selebritas”, “keterikatan secara romantis”, dan “menganggap idola adalah pahlawan suci.”

Gayle menulis, beberapa penggemar merasa terselamatkan hidupnya oleh sang idola melalui lirik-lirik lagu yang diciptakan, seperti yang ia temui dalam sampel penggemar Michael Jackson dan Bruce Springsteen.

Dia melanjutkan, ada pula seseorang yang merasa lebih punya rasa aman menjalin hubungan ilusif dengan idolanya, dibanding dengan manusia nyata di sekitarnya.

“Hal ini dikarenakan ia mengangap bahwa sang idola tidak mungkin menyakiti dirinya seperti yang dapat dilakukan oleh keluarga atau tetangganya,” tulis Gayle.

Kecintaan dan hubungan emosional yang terjadi antara penggemar dan idola dikenal sebagai interaksi parasosial. Hubungan Siti dengan G-Dragon memiliki kecenderungan tersebut.

Istilah parasosial diperkenalkan sosiolog asal University of Chicago Donald Horton dan Richard Wohl pada 1950-an. Pada 1956, mereka menerbitkan artikel “Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a distance” di Jurnal Psychiatry.

Horton dan Wohl mendefinisikan parasosial sebagai hubungan dekat dengan tokoh media saat menonton acara televisi atau mendengarkan siaran radio.

Lalu, mereka menjelaskan, hubungan tersebut tercipta seolah-olah berlandaskan sebuah kesepakatan implisit antara tokoh media atau selebritas dengan pemirsa televisi.

Pemirsa televisi akan menganggap, interaksi itu adalah sebuah hubungan dengan pertemuan langsung, bukan hubungan lewat perantara.

Interaksi parasosial dimungkinkan terjadi seiring perkembangan zaman lewat media, seperti televisi dan radio. Kini, ditambah lagi media sosial.

Maltby, Giles, Barber, dan McCutcheon dalam tulisannya “Intense Personal Celebrity Worship and Body Image: Evidence of a Link Among Female Adolescents” yang dipublikasikan Journal of Health Psychology (2005) membagi interaksi parasosial menjadi tiga tingkatan.

Pertama, social entertainment, yakni penggemar mengagumi selebritas karena aspek hiburan yang dibawanya. Kedua, intense personal feeling, yakni penggemar menganggap punya kedekatan emosional dengan idolanya.

Ketiga, mild patology, yaitu penggemar rela melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan idolanya, bahkan menabrak norma dan hukum yang berlaku.

Interaksi dengan idola

Menurut Dimas Aldi Saifuddin dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, cara paling mudah mengenali seseorang itu parasosial adalah melihat interaksi yang dilakukannya dengan sang idola.

Bersama Achmad Mujab Masykur, Dimas pernah meneliti tentang parasosial. Hasil risetnya itu berjudul Interaksi Parasosial (Sebuah Studi Kualitatis Deskriptif pada Penggemar JKT48) (2014).

“Paling gampang kalau kita ngefan sama orang kita ikuti kesehariannya, paling dengan mengikuti Instagram-nya, setiap gosip tentangnya, dan komunitasnya. Namun, dia (idola) tidak tahu apa-apa tentang kita,” katanya saat dihubungi, Jumat (15/3).

Sementara, dosen psikologi Universitas Tarumanegara Sandi Kartasasmita mengatakan parasosial lazimnya terjadi pada individu yang kurang memiliki hubungan sosial yang baik dengan individu lain, memiliki harga diri yang rendah, dan jarang atau sulit keluar rumah.

“Intensitas yang tinggi dengan media, baik itu televisi dan yang lainnya, membentuk hubungan imajiner dengan tokoh di media yang ia lihat sehari-hari,” katanya saat dihubungi, Jumat (15/3).

Ia juga mengatakan, individu dengan tingkat pendidikan yang lebih baik cenderung lebih minim mengalami parasosial daripada individu dengan pendidikan lebih rendah. Selain itu, jika dilihat dari proporsional gender, perempuan lebih banyak mengalami gejala ini dibandingkan dengan laki-laki.

Bisa berdampak buruk

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Yey, sosmedku dilike dan difollow artis! Article on https://goo.gl/NMaJc3 #ketemuartis #parasosial #mintafoto #medsos

Sebuah kiriman dibagikan oleh Joseph Marijanto (@josephmarijanto) pada

Untuk mengenali seseorang apakah mengalami parasosial atau tidak, menurut Sandi, perlu dilakukan tes terfokus. Sandi mengatakan, bisa jadi Siti yang mengidolakan G-Dragon hanya fan biasa.

“Namun untuk tahapan awal, biasanya si penggemar sering berkomentar ketika menonton idolanya,” tuturnya.

Bagi Sandi, fan hanya orang yang sekadar menyukai idolanya dan ingin dekat. Sedangkan parasosial merupakan tingkatan lanjut, di mana individu merasa dekat dan seakan-akan bisa berbicara dengan idolanya.

Sementara menurut Dimas Aldi Saifuddin, fan adalah bagian dari interaksi parasosial. Ia mengatakan, kasus Siti termasuk ke dalam interaksi parasosial, yang masuk kategori intense parasocial feeling. Dimas menyimpulkan, dalam tahap ini, seseorang masih tergolong normal.

Dimas mengatakan, parasosial bisa berdampak buruk, ketika individu tak lagi memiliki hubungan sosial dengan sekitarnya. Dan, seolah-olah merasa tidak lagi membutuhkan orang lain di kehidupannya.

“Jadi dia menganggap itu sebagai hubungan sosial utamanya, seolah-olah dia tidak membutuhkan orang lain. Itu yang berbahaya,” ucapnya.

Hal serupa juga disampaikan Sandi. Seseorang dengan gejala parasosial tidak berbahaya, selama tidak mengganggu kehidupan sosialnya.

“Namun, bila kehidupan nyata, hubungan dengan keluarga, kerabat, tetangga menjadi jauh maka bisa jadi berbahaya,” tuturnya.

Di sisi lain, psikolog Kasandra Putranto menuturkan, seseorang yang mengalami kondisi parasosial akut memiliki dampak buruk bagi kesehatan si penggemar. Ia bisa mengalami insomnia.

“Kerjaannya mantengin tayangan artis terus,” katanya saat dihubungi, Kamis (14/3).

Untuk kasus ekstrem, orang dengan gejala parasosial, menurut Dimas Aldi, dicontohkan dengan penggemar yang sampai menguntit idolanya ke rumahnya dan rela melanggar norma hukum yang berlaku.

“Beberapa contoh kasus ada di Korea (penggemar K-pop) di mana rumahnya dimasuki penggemar atau seperti penembakan John Lennon yang dilakukan oleh fannya itu. Nah, ini mungkin baru kelainan mental,” katanya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan